Pada suatu pagi, aku berada di sebuah pedesaan, di tengah hamparan padi yang ruam-ruam kuning berteman desir angin dan cicit burung kecil di atap hostel murah tempatku menginap. aku lupa, kenapa aku kesini, aku bahkan tak tahu alasanku ke tempat ini, aku bahkan tidak tahu apa yang akan kulakukan disini. entah, yang teringat hanya selebat bayangan beberapa waktu lalu.

“Nona! aku tidak bisa menerima ini semua!”

“Mas! please…..”

Waktu itu tak kulanjutkan ucapanku, demi melihatmu menangis aku pun terdiam, terkepung dalam kecamuk perasaan. Apa yang kurasa hanya ego kelelakianku, aku lelaki punya harga diri.

Siulan bapak-bapak di depan penginapan membuyarkan kepingan kenangan yang sedang kususun.

“Cah bagus ora apik ngalamun kui..kono dolan, nggoleki bocah ayu”

aku tersenyum, muram. suram. bahkan seseorang yang tidak aku kenalpun mengerti bagaimana perasaanku sekarang. Ah, sudahlah mungkin dalam kepahitan aku memerlukan ketenangan, memerlukan penghiburan. Tunggu dulu! penghiburan atau pelarian? ah, sudahlah aku sudah cukup menyesal kemarin. kali ini tak akan kubiarkan hatiku terus digelayuti rasa bersalah.

kuraih kamera berwarna perak itu ke tengah pematang sawah. aku merasa dekat dengan sang dewi sri yang membuat bulir-bulir padi memberikan kebahagiaan para petani yang sedang menyiangi rumput di tepian pematang. ah, kamera perak ini mengingatkanku padamu Nona.

sekilas siang ini siang yang biasa, dengan matahari yang terik. namun yang berbeda adalah aku disini sendiri termangu dalam kesepian. aku mencoba berdamai dengan hati, tapi tak kuasa. hanya namamu yang terus mengais-ngais kenangan yang coba aku kubur dalam-dalam. hanya bisik suaramu yang teringat saat aku mencoba melupakanmu.

aku tergugu, terdiam, berdiri seolah tak punya penopang. Nona, ini bukan salahmu. ini salahku yang tak bisa menjagamu, kegagalanku sebagai lelaki yang masih saja angkuh dengan topeng bernama harga diri. Tidak Nona, bahkan aku sangat begitu ingin tahu kabarmu, tapi bahkan kontakmu pun aku sudah hapus. berharap juga bisa menghapus jejak-jejak dirimu, namun rupanya seperti bekas paku. jejak yang kau tinggalkan sudah menancap dan menjadi sebuah lubang di hatiku Nona.

I want you to know that it doesn’t matter

Where we take this road someone’s gotta go

And I want you to know you couldn’t have loved me better

But I want you to move on so I’m already gone

lirik lagu Kelly Clarkson yang sudah kuputar terus menerus aku putar sejak semalam dari pemutar musik yang kamu berikan padaku tahun lalu Nona. hanya ada satu lagi Nona. lagu perlambang untuk melepasmu, tapi rupanya setiap lagu ini mengalun yang aku rasa hanya kebohongan semata Nona. aku membohongi diriku sendiri Nona.

aku angkut ransel kembali, keluar dari desa yang kata beberapa bule yang aku temui kemarin layaknya firdaus. tidak bagiku, aku tersiksa oleh kesepian, aku tersiksa oleh pertarungan batin setiap malam yang bahkan mengalahkan suara raungan anjing kampung di gelap malam.

aku benar-benar tak tahu harus kemana, aku berharap setiap langkah ini membawaku ke hidup baru. hidup yang lebih ceria, bukan hidup yang muram sekarang.

Aku menatap debur ombak yang ada dibawah sana. Buihnya putih, arus kencang dibelakang angin menerpa tubuhku seolah mendorongku terjun dan melupakan masalah. O tidak, hatiku sekuat tebing karang yang aku pijak sekarang. Entah sudah sekian ribu tahun menantang ombak dan tetap teguh berdiri. aku diam, menatap ke bawah, dan aku berdesis lirih di siang di tebing karang itu

“Nona aku katakan padamu Nona, lewat debur ombak dan angin yang menjadi saksi. kusampaikan perasaanku Nona. Mungkin kamu akan membenciku Nona, tapi aku pikir Nona. Memang inilah yang terbaik bagi kita Nona. Tak perlu memaksa Nona, aku hanya berharap aku tetap teguh untuk berjalan ke depan tanpa perlu menengok ke belakang untuk tahu keadaanmu Nona.

Nona, aku merintih dalam kesakitan-kesakitan hari demi hari. Pun aku tahu kamu begitu. Tapi Nona aku tumbuh dewasa dalam kesakitan – kesakitan ini, aku menjadi seseorang yang lebih menghargai hidup, merevisi kesalahan di episode hidup beberapa waktu lalu.

Demi hati yang tak mampu bohong bahwasanya aku tak tega melihatmu yang rapuh kutinggalkan demikian Nona, tapi ini yang terbaik Nona. percayalah, kalau memang kehendak Tuhan, maka Dia akan sibak tirai yang sekarang sudah kututup. Sudah Nona, lanjutkan hidupmu sekarang. Tanpaku.

Dan jika memang sudah kehendak semesta, kita akan berjumpa lagi, entah kapan.”

Demikian Nona, aku berbalik arah dan melanjutkan hidup.

Sekian tahun sejak aku berdiri di tebing ini, sekian tahun aku kembali disini menatap samudera biru di atas tebing karang ini. Sekian tahun tebing karang ini tetap berdiri. Seperti hatiku yang berhasil aku susun kembali, aku tegakkan dan aku lapisi dengan selaput – selaput asa yang lebih keras. Kelak hatiku akan tegar menerima ombak kehidupan.

Dalam lirih aku sampaikan kata penutup pada siang dengan angin kencang, tebing karang dan debur ombak dibawah sana.

“Nona, aku tidak tahu bagaimana kabarmu lagi. Dan tapi Nona, kamu bisa membaca tulisan-tulisanku Nona. dimanapun itu. aku hadir dalam hidupmu, menghantuimu. Muncul di buku, majalah, koran bahkan tv. Semua memujaku, semua menyebut namaku Nona, ya kecuali kamu, kecuali kamu.

Nona tidak tanpa sengaja aku menghantuimu Nona, aku hanya membalas sekian tahun silam kamu menghantui hidupku Nona, membuat lumpuh perasaanku dan bahkan hampir membunuh masa depanku

Kini kamu bisa lihat aku Nona, lihatlah aku yang sekarang!”

Barangkali lelaki memang harus hidup berkeras hati, harus hidup melawan kesakitan agar semakin kebal, agar semakin kuat.

Fin!

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here