Saya, Mas Iwan, Bu Dara, Sheback, Mas Bow dan Pak Yaser.

Sebenarnya kunjugnan saya ke Rancabuaya ini ada kaitannya dengan pekerjaan saya sebagai seorang nayapraja pajak. Saya diharuskan ke daerah selatan untuk memetakan potensi perpajakan di daerah selatan Garut. Daerah Selatan Garut selama ini memang seolah dianaktirikan, pembangunan tidak berjalan dengan cepat, tampak tidak ada akselerasi percepatan pembangunan. Padahal dari segi potensi ekonomi, kawasan Garut Selatan adalah raksasa yang menunggu dibangunkan.

Potensi ekonomi Garut Selatan sungguh sangat kaya, mulai dari areal perkebunan, landscape yang bisa dijual untuk objek wisata dan bahkan kandungan mineral dalam bumi Garut Selatan yang menggiurkan, tercatat kandungan emas dan bijih besi sudah mengundang investor untuk datang ataupun ditambang secara tradisional dan ilegal.

Pemetaan potensi ekonomi ini perlu mengingat geliat perekonomian Garut Selatan yang tumbuh secara meyakinkan, sehingga di masa yang akan datang baik dari institusi perpajakan tempat saya bekerja bisa memproyeksikan potensi ekonomi sekaligus sebagai prediksi pertumbuhan ekonomi Garut Selatan di masa yang akan datang.

Sayangnya dengan segudang kekayaannya, Garut Selatan ini seolah dianaktirikan. Dengan berbagai macam pengabaian dari ibukota kabupaten yang jarak tempuhnya bisa sampai 4 jam, tak jarang penduduk Garut Selatan menuntut perbaikan dan yang terakhir adalah menuntut untuk membentuk Kabupaten Garut Selatan, terpisah dari induknya Kabupaten Garut. Mengingat ketertinggalan dan kesenjangan pembangunan yang dirasakan di kawasan Garut Selatan. Wujud protes masyarakat selatan adalah kebiasaan masyarakat Pamengpeuk enggan dipanggil orang Garut, mereka lebih senang dan bangga disebut sebagai Orang Pamengpeuk.

Sebenarnya bukan tanpa upaya, pemerintah telah membuat jalur selatan yang membuka jalur sepanjang pesisir selatan semenjak periode orde baru, pembukaan jalur ini untuk membuka isolasi daerah Garut Selatan sekaligus mempercepat distribusi barang yang imbasnya akan mempercepat laju ekonomi di daerah selatan. Pun dengan pembangunan sarana penunjang lainnya, seperti fasilitas umum dan ekonomi seperti layanan perbankan.

Bahkan berdasar bisik-bisik beberapa tokoh di Garut Selatan, pemerintah provinsi sedang merencanakan konsep wisata segitiga Jakarta – Garut – Bandung dengan titik point wisata adalah Kawah Putih – Pengalengan dan Ranca Buaya, prosesnya sedang dimulai dengan pembuatan jalan hotmix. Memang selain melalui Garut, akses menuju Garut Selatan bisa ditempuh dari Bandung melalui poros Bandung – Pengalengan – Talegong – Cisewu – Rancabuaya.

Padahal yang perlu dicatat potensi alam di Garut Selatan ini indah, idiom Tuhan menciptakan tatar Sunda sambil tersenyum benar adanya di Garut Selatan ini. Saya bahkan takjub-takjub sendiri, jika dulu saya ke Garut Selatan saat musim hujan, kini saya menjelajahi kawasan selatan saat kemarau. Panoramanya mirip-mirip di Sumba atau Flores sana.

Di kawasan Pamengpeuk, Caringin, Mekarmukti bahkan ditemui sawah yang berbatasan langsung dengan pantai. Masih ingat iklan stasiun TV Swasta RCTI di era 90-an yang menampilkan panorama laut, pantai kemudian kawasan persawahan dengan ending petani yang tersenyum? konon menurut orang Pamengpeuk, syuting iklan tersebut mengambil lokasi di Pamengpeuk.

Dengan jarak tempuh yang panjang, saya dan tim dari kantor bahkan harus berangkat shubuh dari Garut kota, sebagaiyang paling junior, saya kebagian sebagai sopir pulang – pergi. Jalur menuju selatan ini sebenarnya indah, dengan hamparan kebun teh sejauh mata memandang. Sayangnya jalurnya sempit dan berliku, selepas dari Cikajang sampai Pamengpeuk bahkan dikenal dengan area tikungan seribu. Mungkin karena banyak sekali, sehingga orang berseloroh menyebutnya tikungan seribu.

Kemudian ada kawasan Puncak Batu Numpang sebagai Rest Area, Batu Numpang adalah gunung batu hitam utuh berukuran raksasa yang menonjol di kawasan perbukitan antara Cikajang dan Cisompet. Disini juga berjejer warung ayam goreng yang ramai pengunjung. Dari Batu Numpang barulah memasuki area sepi penduduk yang disebut dengan kawasan Gunung Gelap.

Gunung Gelap sebenarnya adalah kawasan hutan antara Cisompet dan Neglasari, jalurnya berkelak-kelok. Saya sampai harus beberapa kali menahan napas saat berpapasan dengan kendaraan lawan, karena tipisnya jarak antar kendaraan. Disebut Gunung Gelap karena kerapatan pohon-pohon yang tumbuh membuat suasana sangat gelap. Bahkan saat pulang Gunung Gelap ini pekat dengan kabut, di beberapa titik karena saking tingginya lokasinya justru tidak berkabut, tapi berada di atas kabut.

Kendaraan yang saya kendarai saya jalankan pelan sembari menikmati pesisir selatan. Tujuan kami serombongan adalah menuju Rancabuaya untuk memetakan potensi ekonomi dari sektor wisata. Memang, selain kawasan Pamengpeuk, Santolo dan Sayangheulang, kawasan Rancabuaya adalah kawasan primadona wisata pantai di Garut. Sebenarnya ingin juga mampir ke Puncak Guha yang eksotis itu, namun sayang waktu tidak memungkinkan.

Sepanjang jalan yang ditemui adalah kegersangan. Memasuki akhir musim kemarau, daerah selatan sudah meranggas total, di beberapa tempat malah bisa ditemui sisa-sisa kebakaran ilalang karena keringnya cuaca. Ditambah dengan kambing-kambing dan anjing-anjing kurus yang bersliweran di pinggir jalan, maka panorama di Garut Selatan ini menyerupai kawasan Sumba, bahkan Afrika.

Di Rancabuaya, tim sempat mensurvey beberapa hotel. Setelah pekerjaan selesai, maka kami beristirahat sekaligus makan siang, menikmati ikan bakar dan udang segarldari laut. Saya sempat bertemu dengan para pemburu ikan pari, rupanya mereka bukan penduduk Rancabuaya, namun dari Cilacap yang jauh-jauh datang ke Rancabuaya untuk berburu ikan pari. Bagi mereka berburu ikan pari lebih menguntungkan daripada menjadi melayan biaya karena harga ikan pari di pasaran lebih mahal. Yang membedakan para pemburu ikan pari dan nelayan biasa adalah alat berburu ikan parinya, alatnya lebih rumit daripada nelayan biasa.

Kawasan Rancabuaya sendiri terdiri dari beberapa bagian, mulai dari bagian bukit di dekat pintu masuk. Disini dulu ada kompleks penginapan yang pertama kali berdiri, kemudian bagian lepas pantai bagian tengah yang berupa dataran landai dengan karang-karang dangkal, kemudian bagian pasir putih yang juga menjadi tempat sandar nelayan dan kawasan Tempat Pelelangan Ikan, kemudian yang paling eksotis adalah bagian paling ujung, yang berupa landscape perbukitan batu super tinggu dengan batu-batu karang menjulang dari permukaan pantai.

Di pantai bagian ujung inilah saya terduduk sambil terkagum-kagum menikmati panorama yang menghampar di depan mata. Ombak selatan yang keras menerjang karang, langit biru, tebing terjal nan angkuh adalah paduan sempurna untuk menggambarkan keperkasaan panorama Pantai Ranyabuaya. Saya dan teman-teman kantor beristirahat sembari berfoto-foto disini.

Tanpa disadari kami disini sampai tabuh ashar sudah menggema. Saatnya untuk pulang. Menjadi seorang nayapraja pun bisa menikmati pekerjaan yang menyenangkan sekaligus mensyukuri nikmat Tuhan berupa ciptaanNya yang sungguh indah. Ya, beginilah pekerjaan kami sebagai seorang nayapraja pajak. Berkeliling sampai daerah-daerah yang jauh, dan sesungguhnya pemandangan yang indah adalah bonus pekerjaan kami.

Tabik.

nb : Semua foto diambil dengan Canon iXus 230 HS yang menjadi pelengkap tugas saya, dengan fitur HD dan resolusi besar. kamera ini kecil-kecil cabe rawit.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

4 KOMENTAR

  1. Salam buat kugy… #eeaa
    #terperahukertas
    blm kesampaian ke rancabuaya, baru sampe sayangheulang ma santolo saja
    mo balik ke sana mikir jauhnya bikin pantat berkurang 5cm #lebay ;))

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here