IMG_0231

Terkadang hidup memang harus memilih, contohnya adalah hidup mudah namun biasa saja, atau agak susah namun nikmat. Kali ini saya memilih yang kedua karena terkadang kenikmatan itu agak susah didapat. Yang saya maksud kali adalah kenikmatan yang bisa membuat lidah ketagihan dan tidak melupakan rasanya. Kenikmatan kuliner, kenikmatan mencecap rasa makanan yang lain daripada yang lain.

Saya adalah orang yang berpendapat bahwa semakin susah dicari, makanan itu justru makin enak. Semakin mblusuk tempatnya, semakin lezat pula makanannya. Dan tampaknya, pendapat saya cocok dengan trend penikmat kuliner jaman sekarang yang berlomba-lomba mencari makanan lezat sampai ke kampung-kampung.

Yang saya cari ini adalah warung bakmi Mbah Mo yang sudah tersohor seantero Bantul, bahkan Jogja. Konon katanya di Kampung Code, Mbah Mo adalah empu pembuat bakmi yang lezatnya sampai membuat pejabat-pejabat daerah dan orang-orang ibukota sana rela menghamba padanya, menanggalkan embel-embel kekayaaan dan kuasanya untuk tunduk dalam antrian yang panjang untuk menikmati ramuan bakminya.

Ya, lokasi nya memang agak masuk ke dalam, di sebuah kampung di tengah persawahan di Bantul. 30 menit dari Kota Jogjakarta. Saya yang hendak turut menyicipi bakmi godhognya saja harus beberapa kali kesasar sebelum sampai ke lokasi. Bahkan yang lebih membuat saya terheran-heran adalah untuk mencapai lokasinya, saya harus melalui jalanan yang gelap, tanpa lampu penerangan jalan. Namun begitu sampai lokasi, kegelapan tadi berubah menjadi hingar bingar para pelanggan bakmi dan riuh sibuk para peracik bakmi.

Bakmi yang masuk dalam daftar makanan enak di Jogjakarta versi Butet Kartarejasa ini memang sudah tidak dikelola oleh Mbah Mo, namun sudah diteruskan oleh keturunannya, tapi jangan khawatir, rasanya tetap enak karena kekonsistenan olahannya tetap terjaga. Seporsi bakmi godhog sudah saya pesan dan saya harus mengantri sekitar 27 antrian. Maka bekalilah dengan kesabaran berlebih saat ingin membeli bakmi disini. Jika ingin tergesa, lupakanlah. Makanan enak harus didapat dengan sedikit usaha dan kesabaran.

IMG_0237

Mbah Mo mengajarkan bahwa ketelitian dan kesabaran berbuah kesempurnaan. Anda tidak akan menemui pembuat bakmi yang tergesa-gesa menghidangkan mie. Semua mie dibuat dengan takaran bumbu yang pas, diolah secara hati-hati, perlahan-lahan sampai menghasilkan bakmi sempurnya sesuai pesanan. Sikap adiluhung ini merupakan representasi Mbah Mo tentang konsep kualitas mengalahkan kuantitas. Di era dimana kuantitas diagung-agungkan sebagai ukuran keberhasilan, warung Mbah Mo tetap mempertahankan kualitas sebagai jualannya, hal yang sudah langka. Proses yang lumayan lama inilah yang menghasilkan karya yang sempurna dan tiada duanya.

Tangan dingin Mbah Mo terbukti mampu membuat pelanggannya loyal, Bakmi Mbah Mo terkenal lewat promosi dari mulut ke mulut tanpa melalui promosi masif. Lantas apa yang membuatnya tetap dikunjungi ratusan pengunjung setiap malamnya? Ya, tentu saja kesahajaan, kesederhanaan dan proses yang teliti yang membuat bakminya sempurna dan mampu memikat lidah-lidah para pengunjung.

Mbah Mo tidak buka cabang, itu adalah sikap utama untuk menjaga mutu. Jika ingin merasakan,ya harus datang ke Bantul. Barang asli harus didapat di tempat asalnya, dan dijamin kualitasnya. Prinsip ini yang akan terus dijaga. Kekonsistenan ini mendatangkan hasil dengan semakin dikenal. Pengunjung pun tidak duduk di tempat duduk yang nyaman,namun bangku kursi biasa dan bahkan ada beberapa harus lesehan di selasar rumahnya. Semua duduk sama rendah menanti bakmi terhidang.

IMG_0236

Sesaat saya lalu menghubungkan model Mbah Mo dengan falsafah dagang orang Jawa yang masih dianut oleh orang-orang Jawa di pedesaan. Berdagang tidak semata mencari untung, tapi untuk melayani orang lain sehingga terbutuhi kebutuhannya dan mencari keberkahan dalam hidup. Keuntungan itu adalah rezeki yang sudah diatur dan semua sudah ada jalannya masing masing. Itulah mengapa harga makanan di Jawa cenderung murah, ya, karena para pedangan itu berjualan tidak untuk mencari untung namun adalah laku tirakat untuk mencari keberkahan dalam hidup. Bukankah itu yang lebih utama daripada sekedar keuntungan bersifat materi?

Terbukti dengan prinsip yang dipegang Mbah Mo tadi, pengunjung datang silih berganti. Mbah Mo telah memberikan hal  yang bisa dinikmati pengunjung, yaitu Bakminya yang lezat dan membuat pengunjung yang menikmatinya menyunggingkan senyum. Itulah laku tirakat Mbah Mo, dan tentunya Tuhan tak tinggal diam, dia akan melapangkan rejekinya dengan membuat orang-orang terus menyicipi bakminya dan mendapatkan kebahagiaan dari seporsi Bakmi di pelosok Bantul itu. Luar biasa.

Tak terasa pesanan saya sudah datang, saya tak sabar menyicip rasanya yang kabarnya lezat. Rasanya? Saya rasa anda harus mencobanya sendiri, mblusuk dan sowan ke tempat Mbah Mo. Bukan hanya sepiring bakmi hangat nan lezat yang didapat, namun pelajaran hidup dalam kesederhanaan pun akan anda bawa pulang.

Tabik.

IMG_0243

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

8 KOMENTAR

  1. budaya untuk menunggu dalam makanan-makanan tradisional jogja adalah salah satu bentuk filosofi jawa untuk merasakan dulu derita sebelum mencapai kebahagiaan.

    saat dunia mulai ramai dengan propoganda slow food. di jogja, hal ini tetap berakar sejak lama dan terus bertahan.

    ngomong2… saya 5 tahun kuliah di jogja belum pernah ke tempat ini.

  2. lha ini…numpang nostalgia mas chan
    5 tahunan yang lalu saya ikut ngantri, tanpa ada bumbu derita, wong sambi yang-yangan. *malu*

    kembali ke bakmi, soal rasa jangan ditanya, joss gembrobyoss

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here