537037_4782437957800_619194755_n

Konon katanya peradaban dimulai dari pinggir sungai. Orang-orang kuno mencari sumber air untuk hidup, lalu hidup berkoloni, membangun keluarga, membangun budaya dan terbentuk sebuah bangsa. Peradaban-peradaban lama nan agung tumbuh dari pinggir sungai, Nil, Eufrat – Tigris, Sungai Kuning dan Indus. Peradaban sungai adalah bentuk peradaban tua yang masih ditemui sampai sekarang, bisa dibilang, peradaban ini adalah awal mula peradaban, sebelum kemudian berkembang menjadi peradaban yang lebih maju lagi.

Di Indonesia pun jejak-jejak peradaban sungai ini masih ada sampai sekarang. Walaupun sebenarnya munculnya peradaban di Indonesia lebih beragam karena banyak juga jejak sejarah yang membuktikan bahwa peradaban di Indonesia muncul dari pantai atau juga dari sisa-sisa kebudayaan sangat kuno, sisa-sisa kebudayaan berburu dan meramu. Beberapa sejarah peradaban besar yang tumbuh dari sisi sungai yang pernah tercatat di Indonesia adalah Tarumanegara yang konon tumbuh di sisi Sungai Citarum, dan atau juga kompleks agung Muaro Jambi yang berkibar di sisi sungai Batanghari.

Di masa sekarang, sisa-sisa peradaban sungai di masa lampau telah berubah menjadi kota-kota besar, Pontianak salah satunya. Pontianak adalah salah satu kota yang denyut nadi utama kotanya adalah sungai, di Pontianak Sungai Kapuas tak sekedar sungai, Kapuas adalah simbol pemberi hidup, masyarakat tumbuh dari sungai, masyarakat bergantung dari sungai. Di masa lalu, Kesultanan Kadriah pun dibangun di pinggir sungai, sekarang masih bisa terlihat Keraton dan Masjid kesultanannya. Letaknya di sisi sungai selain strategis juga memberikan perlindungan alami apabila terjadi serangan.

Maka kota Pontianak pun tumbuh dari sisi sungai. Tak hanya dari Kesultanan Kadriah kemudian penduduk lain Pontianak, yaitu masyarakat Tionghoa juga datang ke Pontianak melalui aliran sungai. Mereka kemudian membangun hidup di sisi Kapuas, Keraton Kesultanan Kadriah ada di pinggir sungai. Sementara jejak kedatangan dan awal mula masyarakat Tionghoa di Pontianak membangun hidup dari sungai masih bisa dilihat sampai sekarang. Ada 2 tempat ibadah tertua, 1 Klenteng dan 1 lagi bangunan pertemuan dengan altar di dalamnya terletak persis di pinggir sungai dan di klentengnya juga terdapat simbol penghormatan untuk dewa air.

Ketika kemudian Pontianak dikuasai Pemerintah Kolonial Hindia – Belanda, pihak pemerintah membangun kota pun berbasis sungai. Ada cerita di masyarakat bahwa dulu di Pontianak dibangun kanal-kanal sebagai penghubung antar area di kota. Penduduk akan saling berkunjung menggunakan perahu kecil. Kanal-kanal itu juga yang disusuri oleh tentara/polisi kolonial yang berpatroli di kota. Sayangnya sekarang kanal-kanal itu lenyap, Pontianak penuh jalan beraspal, yang masih berupa kanal mungkin hanya ada di beberapa bagian di pinggir Kapuas. Mungkin sekarang kanal tersebut sudah berganti rupa menjadi selokan mampet penuh sampah.

Seharusnya peradaban itu menjadi besar, megah dan anggun. Tapi di Indonesia, peradaban sungai telah musnah kegemilangannya berabad-abad yang lalu. Yang tinggal sekarang adalah ironi dari pinggir sungai. Apa yang didengar pertama kali dari pinggir sungai? bantaran sungai? Kumuh, ketidakteraturan, sampah dan berbagai hal negatif lainnya. Apa boleh bilang, di Indonesia area pinggir sungai adalah area yang dipinggirkan, tempat bagi mereka yang tidak mendapatkan ruang yang layak dan tinggal seadanya menyabung nyawa.

72496_4782439437837_1403239498_n
Kapal Bandong

Bandong dan Kisahnya

Sebenarnya Kapuas itu indah sekali, sungainya sangat lebar dengan pemandangan surup mentari yang begitu menawan. Menyusuri Kapuas itu berarti menyusuri denyut nadi Kalimantan Barat. Sungai ini berabad-abad menjadi tempat penghidupan sekaligus sarana penghubung daerah-daerah di Kalimantan Barat. Antar daerah satu dengan daerah lainnya ditempuh dengan kapal, membelah perairan Kapuas yang tak jarang butuh waktu berhari-hari lamanya.

Peradaban sungai muncul perlahan-perlahan, tidak seketika. Tahap pertama adalah manusia mencari sumber air sebagai penghidupan, awalnya masih berburu dan meramu, lama-lama mereka kemudian bertani, berkebun dan terbentuklah peradaban. Sebelum ditemukan sistem transportasi darat, orang-orang saling terhubung dengan sungai. Dan di pinggiran Pontianak, sisa-sisa perkembangan peradaban sungai ini masih ada sampai sekarang serta masih bisa melihat bagaimana jarak ditempuh melalui sungai.

Di sisi sungai bagian pecinan, di depan dermaga kecil yang diseberangnya banyak ruko-ruko tua tak terurus, bersandaralah kapal-kapal kayu, dengan lambung kapal yang sedikit datar namun memiliki ruang yang tinggi, kapal-kapal itu biasanya berbentuk seperti rumah orang-orang Melayu Kalimantan Barat, disandarkan berjajar satu-satu. Orang-orang Pontianak menyebut kapal itu dengan nama Bandong. Bandong ini jalannya pelan sekali di aliran sungai, mengeluarkan suara patah-patah, maklum bentuk kapalnya besar dan muatannya serba banyak, jadi mungkin mirip gajah yang berjalan kepayahan di padang pasir.

Bandong bisa juga disebut rumah di air, tak perlu heran karena biasanya pemilik Bandong juga tinggal di kapal ini. Kapal Bandong adalah alat transportasi yang sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu setia menyusuri Sungai Kapuas. Tujuannya bisa ke Sintang, Melawi, Sanggau, Kapuas Hulu dan pedalaman – pedalaman Kalimantan Barat lainnya. Kapal ini unik, di dalamnya mirip rumah dan memang sengaja didesain mirip rumah, itu sengaja karena kapal ini akan menempuh waktu berhari-hari untuk ke tujuan, dan jadilah penumpang bisa berhari-hari ikut Kapal Bandong, itu artinya ikut Bandong sama saja dengan berumah di Bandong selama beberapa hari.

Bandong memuat apa saja yang penumpang ingin muat. Dahulu sekali, Bandung adalah bagaikan bus antar kota, nyawa penghubung daerah satu dengan yang lain Kalimantan Barat. Tapi lain dulu lain sekarang, sekarang karena jalur darat mulai bagus, orang-orang lebih memilih jalur darat, jika ke Sintang dari Pontianak dengan Bandong butuh 2 hari, dengan bis sekarang hanya butuh waktu semalam saja. Akhirnya lambat laun Bandong tak jadi pilihan dan mulai berkurang, tapi walau begitu tetap ada saja yang menggunakan Bandong, biasanya merekalah yang tinggal di tepian Kapuas.

Kapuas memang sungai yang memanjakan, arusnya tidak deras-deras amat dan landai, bak jalan bebas hambatan kelak-keloknya ada ribuan, jika dilihat dari atas seperti ular raksasa membelah rimba Kalimantan Barat. Dan desain kapal Bandong yang memiliki lunas yang pendek dan badan kapal yang lebar sangat cocok untuk membelah arus Sungai Kapuas yang cukup tenang. Jika orang-orang Sulawesi Selatan boleh bangga dengan Phinisi-nya, maka orang-orang Kalimantan Barat boleh menegakkan dagu dengan Kapal Bandong-nya yang memang adalah kapal khas daerahnya.

734756_4782429517589_883917414_n

Kampung Beting

Ada sebuah kampung di Pontianak yang ketika mendengar namanya saja sudah bikin jeri, kata kawan saya itu “Bronx”-nya Pontianak. Masyarakat Indonesia menyebut “Bronx” sebagai daerah yang rawan kejahatan, ini mungkin terpengaruh dengan film-film Hollywood yang masuk ke Indonesia, rata-rata menggambarkan “Bronx” di Amerika sana sebagai daerah yang penuh kriminalitas, tidak aman dan menyeramkan. Nama kampung itu adalah Kampung Beting, terletak di tepi Kapuas, di dekat kompleks Keraton Kesultanan Kadriah.

Kawasan ini sekarang dipandang negatif, dengan banyak cerita miring di belakangnya. Di tempat ini konon narkoba beredar bebas dan ditambah pula cerita menyeramkan lainnya, seperti kampung tempat bromocorah, penjahat dan lain-lain, dengan cerita-cerita tersebut maka stigma negatif Kampung Beting susah sekali untuk hilang, sudah melekat dalam-dalam di benak orang Ponti.

Saya tidak ingin membahas tentang stigma tadi, tapi ada hal lain dari Kampung Beting yang perlu dicatat. Kampung Beting adalah kampung yang ikut tumbuh bersama dengan tumbuhnya Kesultanan Kadriah. Dikatakan Kesultanan Kadriah berdiri sejak abad ke-18,  Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie, Sultan pertama mendirikan keraton Kesultanan Kadriah setelah menemukan tempat yang tepat dari menyusuri Sungai Kapuas. Ditemukanlah tempat di pertemuan arus Sungai Kapuas dan Sungai Landak, yang sekarang menjadi tempat untuk Keraton Kesultanan Kadriah dan Masjid Jami.

Menurut penutur yang saya temui di Keraton, yang menurut pengakuannya adalah kerabat dekat Hamid Al Kadri II – Sultan Kesultanan Kadriah yang juga pembuat lambang Garuda Pancasila, Kampung Beting dulunya adalah kawasan kerabat kesultanan, tempat ulama dan penyebar agama islam di Pontianak tinggal serta tempat bermukim para pasukan dari kesultanan.

Kampung Beting jika dipahami dengan kisah kesejarahan adalah kampung penyokong tegaknya Kesultanan Kadriah. Waktu kemudian mencatat perkembangan Kampung Beting ini menjadi tempat singgah para pedagang-pedagang yang datang ke Pontianak, jadilah kampung semakin ramai dan semakin padat. Saya tidak tahu sejak kapan stigma negatif ini muncul dan melekat pada Kampung Beting, namun cerita-cerita negatif ini justru menihilkan kisah – kisah sejarah Kampung Beting di masa lalu.

Yang khas dari Kampung Beting adalah jembatan kayu yang menyulur memasuki relung-relung perkampungan. Jembatan ini berfungsi sebagai jalanan kampung, namanya Gertak dan dibuat dari kayu ulin, kayu yang dikatakan kayu besi. Walaupun sebagian gertak sudah diperbagus diganti dengan beton, rumah-rumahnya dibuat mengapung di atas air dengan pondasi kayu. Rumah di Kampung Beting rata-rata memang terbuat dari kayu, beberapa sudah ditembok, tapi hanya sebagian kecil.

Menyisir gertak adalah menyisir nadi Kampung Beting. Kapal-kapal kecil tertambat di bawah pondasi rumah atau diikat sekedarnya di tiang gatak. Anak-anak berlarian di sisi gertak, suara kaki beradu dengan suara kayu, gemeratak aduan kaki dan kayu menjalar dari ujung ke ujung. Tepi sungai adalah tempat hidup dan sungai adalah halaman belakang sekaligus tempat main anak-anak Kampung Beting.

Saya sedikit begidig ketika memasuki area Kampung Beting, terbawa seram cerita-cerita tentang kampung ini membuat saya berpikir satu dua kali untuk menjelajah kampung dan juga saya memang tidak punya banyak waktu. Saya memandang Kampung Beting dengan penuh murung, kampung ini harusnya kampung dengan banyak kisah sejarah menarik di belakangnya, kampung penuh cerita pasang surut Pontianak, seharusnya ini adalah kampung tua dengan sejuta cerita bukan lalu kampung yang penuh dengan cerita menyedihkan.

537350_4782433957700_975722841_nIroni Batu Layang

“Siapkan banyak uang receh di Batu Layang” itu pesan dari orang-orang Keraton Kadriah sebelum saya meninggalkan keraton dan menuju Batu Layang.

Setengah jam kemudian saya sampai di Batu Layang, lokasinya di sebelah utara kota, tak jauh dari Tugu Khatulistiwa, daerahnya sangat sepi dan nyaris tak dikenali bahwa disitulah tempat makam sultan-sultan Kesultanan Kadriah. Tujuan saya adalah berziarah ke makam Sultan Hamid Al Kadrie II, sang perancang lambang Garuda Pancasila.

Tidak seperti bayangan saya bahwa makam raja-raja adalah makam yang megah, makam Batu Layang sangat sederhana, nampak seperti pendopo tua dengan nisan-nisan di luarnya. Nisan di Pontianak berbeda dengan nisan-nisan di Jawa, dibuat dari kayu ulin bukan dari batu. Tampaknya orang-orang Kalimantan memang menghargai tinggi-tinggi kayu ulin, si kayu besi ini dipergunakan untuk apa saja.

Sesungguhnya ini adalah makam bangsawan, tapi kondisinya mengenaskan tampak minim sekali perawatan. Dan disini banyak sekali peminta-minta. Turun dari mobil saya sudah dikerubungi anak-anak kecil sambil menarik-narik celana saya, dengan tatapan memelas dan nada pelan setengah terisak, mereka menengadahkan tangan. Oh, ini rupanya arti pesan tadi, ada banyak pengemis disini.

Saya enggan memberi pengemis-pengemis cilik ini, kasihan sekali, masih kecil sudah dididik menjadi peminta-minta. Segera saya masuk ke kompleks makam, dan menuju makam Sultan Hamid Al Kadrie II. Selayaknya ziarah kubur, saya berdoa sebentar dan kemudian bergegas keluar kompleks makam dan bergegas melanjutkan perjalanan. Saya pilu, tapi mungkin ini memang perasaan pribadi, tidak selayaknya makam seorang bangsawan tampak tidak terawat dan usang.

Pengemis di makam batu layang, tampaknya tak hanya pengemis cilik. Ketika di dalam pun ada beberapa peminta-minta, beberapa mengaku keturunan Sultan, saya tak menanggapi, saya sedih melihatnya, terlintas beberapa kali ketika saya melakukan ziarah ke makam ulama pun sama, selalu banyak peminta-minta. Mungkin makam dan pengemis adalah sepaket, atau ada kaitan antara ziarah dan memberi sedekah yang disimbolkan dengan banyaknya peminta-minta, entahlah, tapi tampaknya ini adalah fenomena sangat umum di Indonesia.

Saya coba bertanya pada kawan tentang fenomena pengemis disini, ada beberapa argumen yang diceritakan oleh kawan saya, biasanya mereka adalah memang keluarga kesultanan tapi kemudian tenggelam arus zaman, mereka yang menyerah lalu kemudian hidup dari iba. Dari yang dulu kaya, jaya dan mendapatkan penghormatan, kemudian menjadi warga biasa-biasa saja, apalagi setelah merdeka, model kesultanan dihapus dan berganti republik, hilanglah sudah model penghormatan kepada keluarga keraton. Bahkan tampuk kekuasaan Kesultanan Kadriah pun sempat vakum setelah Sultan Hamid Al Kadri II, baru pada 2004 kemudian Kesultanan Kadriah memiliki sultan lagi.

Ini ironi, di satu sisi di makam inilah rekam jejak Kesultanan Kadriah tapi di sisi lain ada kisah sedih dibaliknya. Kisah tentang peminta-minta, kisah tentang beberapa keluarga bangsawan yang kehilangan kuasa, kisah tentang betapa bangunan bersejarah ini juga tidak dihargai selayaknya. Saya meninggalkan Batu Layang dengan hati yang gelisah dan meninggalkan banyak pertanyaan.

Peradaban sungai memang memiliki cerita tersendiri, walaupun di Indonesia, peradaban besar diceritakan condong ke agraris. Tapi Sriwijaya, Tarumanegara adalah peradaban yang muncul dan besar di sisi sungai, begitupun beberapa kota besar yang dari sejarahnya tumbuh dari aktivitas sungai. Pontianak sesungguhnya adalah cerita yang muncul dari sungai, Abdurrahman Alkadrie ketika pertama kali menegakkan daulah Kesultanan Kadriah pada tahun 1771 juga datang menyusuri sungai, mendirikan istananya di tepi sungai, lalu muncullah kota Pontianak yang lalu ramai, maka ramailah aliran Kapuas dengan koloni-koloni manusia yang membangun peradabannya masing-masing.

Pontianak adalah cerita tentang sungai, walaupun mengikuti zaman sekarang masyarakat modern kemudian berorientasi ke daratan, seperti kecenderungan peradaban sungai-sungai yang lain yang lalu merapat ke darat. Di banyak daerah lain, peradaban sungai kemudian hanya menceritakan soal kegetiran semata, tentang orang-orang yang terpinggirkan, tentang daerah-daerah kumuh, tentang lahan-lahan tak bertuan untuk gubug-gubug seadanya. Tapi orang-orang cepat lupa bahwa ada sebuah peradaban yang awalnya tumbuh dari tepi sungai, orang lupa, tapi sejarah terus mencatatnya.

Orang-orang cenderung menceritakan kota dengan sedikit bumbu hiperbola. Bagus di hiperbolakan, lalu jika ada pengalaman buruk, kemudian didramatisirkan. Saya mencoba lari dari itu dengan mencoba menyajikan Pontianak apa-adanya. Ketika berangkat ke Pontianak pun saya sudah nasehati kawan saya “buat apa kesana, tidak ada apa-apa”. Seolah Pontianak hanyalah sebuah kota yang membosankan dan yang perlu diingat hanya pisang goreng dan cerita tentang gadis-gadis moleknya.

Dalam kunjungan singkat kesana mungkin hanya ini yang saya dapatkan, sedikit dari apa yang sebenarnya bisa saya ceritakan lagi, seperti kecewanya saya ketika tahu bahwa bangunan katedral besar warisan dari era kolonial sudah dirubuhkan dan diganti bangunan katedral yang begitu modern dan megah, hilanglah sebuah warisan dari masa lalu di Pontianak. Saya belajar banyak dan dijamu dengan banyak hal yang membuka mata, saya diberi buku silsilah keturunan orang-orang Cina di Pontianak, saya mengunjungi Klenteng yang katanya tertua, saya minum kopi, makan durian, makan sup ikan, saya merekam banyak hal dalam waktu sebentar.

Pontianak tidak semuram apa nasehat kawan saya yang katanya tidak ada apa-apa. Pontianak adalah kota yang harus saya kunjungi lagi karena saya belum tamat, baru hanya luarnya saja yang saya selami, belum banyak cerita, belum ada apa-apanya untuk dituliskan. Percayalah, Pontianak adalah salah satu peradaban yang perlu dikunjungi suatu saat.

Tabik.

Post scriptum : Catatan ini tertunda selama setahun. Perjalanan ke Pontianak saya lakukan di awal 2013, beberapa kondisi di catatan ini mungkin sudah berubah.

Referensi :

Karasteristik Pemukiman Tepian Sungai Kampung Beting Pontianak.

Catatan Perjalanan “Pontianak” oleh Umar Fondoli. Tayang di Kompasiana tanggal 22 April 2011.

Kampung Beting, Kampung Negeri Antah Berantah. Blog Endri Priastono tanggal 26 Agustus 2013.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

24 KOMENTAR

  1. Tulisanmu nggak pernah nggak keren Bang Chan. Aku suka detail ceritanya, suka dengan cara Bang Chan menggambarkan kondisi di Pontianak sampai-sampai gue juga meringis terutama bagian pengemis di makam. Terima kasih infonya tentang perancang lambang Garuda. Baru tahu. 🙂

  2. Siang Bang, salam kenal sebelumnya dari salah seorang blogger Pontianak. Btw, tulisannya menarik Bang. Sayang kmrn waktu ke Pontianak ngga sempat bersilaturahim ya. Hehehehhee…

  3. objek2 tersebut sebenarnya potensial untuk dikembangkan sebagai obejk wisata, dan ternyata objek wisata di kota pontianak memang banyak ya mas… saya sendiri sebagai orang pontianak kurang sadar dengan itu, mungkin penghargaan masyarakat dan perhatian pemerintah kurang

  4. Sebenarnya sudah banyak perubahan yang coba diberikan pemerintah dengan program yang beragam. Tapi memang kembali ke pola pikir dan prilaku masyarakatnya sih mas.

    Tapi percayalah, bahwa pasar senggol di beting banyak makanan enak. ??

  5. keren ..sungguh potret sebuah tulisan yang sangat luar biasa dan saya merasakan sendiri betapa indahnya transportasi air dalam kota yanng hidup pada era 1980 sd awal 1990 dan sekarng telah tergantikan dengan batu batu menjulang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here