IMG_5121
Ruang Soekarno

Si Jenderal Kecil dari Corsica, Napoleon Bonaparte konon pernah berseloroh bahwa seseorang bisa dinilai dari cara makan dan hidangan yang dimakannya. Di eranya, jamuan makan adalah kemewahan dan simbol status sosial seseorang. Penataan menu sampai sajian diperhitungkan sampai detail, apalagi Perancis adalah sebuah bangsa yang tak pernah main-main soal kuliner, prinsip orang-orang Perancis adalah menyajikan sajian kuliner yang sekaligus mendatangkan kebahagiaan bagi penikmatnya, bukan hanya soal pemenuhan kebutuhan perut semata. Jadilah jamuan makan tak hanya soal mengenyangkan, tapi soal juga menikmati keindahan dan merasakan kesenangan saat jamuan makan. Budaya jamuan makan yang berkembang di era Napoleon ini kemudian menjadi salah satu akar budaya Table Manner modern. Beberapa warisan jamuan makan era Napoleon seperti penataan meja, alat makan sampai sajian menu beberapa masih terus dilanjutkan sampai sekarang, beberapa lagi disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.

Budaya jamuan makan ini pun turut masuk ke Hindia Belanda. Di era Herman Willem Daendels menjabat sebagai Gubernur Jenderal, Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis sehingga otomatis semua jajahannya pun tunduk di bawah Perancis. Bahkan Daendels sendiri adalah orang pilihan Napoleon yang ditugaskan untuk mempertahankan Jawa dari penaklukkan Inggris, warisannya berupa Jalur Jalan Raya Daendels sebenarnya adalah buah pikirannya sebagai garis lini pertahanan Hindia Belanda di Jawa.

Di era Daendels inilah kemudian pengaruh budaya Perancis kemudian masuk ke Indonesia, termasuk budaya jamuan makan yang berkelas ini. Kelak di era-era sesudahnya, setelah perekonomian Hindia Belanda mulai membaik, budaya makan ini makin menjamur, banyak restoran untuk kaum kelas satu dibangun, beberapa digabung dengan ruang dansa dan pesta, seperti Societeit – societeit, yang menjadi tempat bergaul kaum sosialita di era Hindia Belanda. Jamuan makan memang identik dengan kemewahan, penyajian dan penataannya yang begitu rumit membuatnya demikian. Ada tata krama, aturan dan norma tertentu yang harus ditaati saat jamuan makan malam, itulah yang membuat jamuan makan adalah sesuatu hal yang ekslusif dan bercita rasa tinggi.

Romantisme dan eksotisme jamuan makan a la bangsawan inilah yang kemudian dicari banyak orang. Jamuan makan dipadu dengan tempat yang eksklusif dan tata ruang yang indah membawa pengalaman tersendiri, tak hanya soal ekstase kepuasan lidah akan makanan enak, tapi juga tentang menikmati keindahan menikmati tempat makan yang indah dan eksotis. Dan saya menemukan setitik ruang untuk menikmati romantisme jamuan makan era kolonial ini di Tugu Kunstkring Paleis, sebuah restoran di Menteng yang menempati bangunan era kolonial dan terletak juga di daerah yang kental dengan nuansa kolonialnya. Pada tulisan ini mungkin tidak akan ada bahasan soal makanan, karena saya terpukau pada interior, barang-barang seni yang bertaburan dan sejarahnya, saya akan lebih banyak membahas 2 hal tadi yang mewarnai restoran ini.

IMG_5183

Kunstkring Dari Masa ke Masa

Bangunan Tugu Kunstkring Paleis sangat khas, dengan dua menara kembar dan kolom lengkung pada pintu masuknya. Bentuk bangunannya cukup  memiliki ciri khas dibandingkan dengan bangunan kolonial lainnya yang umumnya terkesan kaku. Diarsiteki Pieter Adriaan Jacobus Moojen, bangunan ini memang memiliki karakteristik khas Moojen yaitu menara semi bulat, seperti bangunan karya Moojen lainnya, Masjid Cut Mutia yang sebelum jadi masjid adalah bangunan kantor N.V. Bouwploeg dan bangunan Nillmij / Nederlandsch-Indische Levensverzekerings en Lijfrente Maatschappij di Weltevreden atau seputaran Gambir sekarang, Nillmij ini adalah perusahaan asuransi pertama di Hindia Belanda yang setelah kemerdekaan Indonesia kemudian dinasionalisasi menjadi Asuransi Jiwasraya.

Bangunan ini kemudian diresmikan pada 1914 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, Alexander Willem Frederik Idenburg dan menjadi rumah bagi Nederlandsch-Indische Kunstkring, organisasi seni dan budaya Hindia Belanda, bangunan inilah yang kemudian menjadi etalase seni di Hindia Belanda awal 1900-an. Dari gedung inilah kemudian dunia seni berkembang dan mendapatkan pengaruh dari luar, karya Picasso tercatat pernah dipamerkan disini dan mengundang decak kagum publik Hindia Belanda.

Jika kita melihat pada bagian balkon Tugu Kunstkring Paleis terdapat tulisan Immigrasie, bangunan ini memang sempat menjadi bangunan Kantor Imigrasi Jakarta Pusat antara tahun 1950 sampai 1993. Namun sebelum itu ada sedikit keping sejarah yang terlupa mengenai fungsi bangunan ini. Bangunan ini menempati fungsi sebagai kodratnya sebagai bangunan pameran seni sampai tahun 1942, di era penjajahan Jepang, bangunan ini sempat tak berfungsi mengingat gaduhnya situasi politik yang membuat orang-orang Belanda hengkang dan membuat Nederlandsch-Indische Kunstkring vakum. Kekosongan fungsi gedung ini kemudian digunakan oleh Madjlis Islam Ala’a Indonesia / MIAI yang kemudian menempati bangunan Kunstkring dan menjadikan markas gerakan islam ini di Indonesia. MIAI berkantor disini hanya sebentar, menurut catatan hanya antara tahun 1942 sampai Jepang hengkang, jadi mungkin inilah yang membuat bahwa bangunan ini sempat jadi markas MIAI sedikit terlewat dari catatan sejarah.

Setelah tak digunakan sebagai Kantor Imigrasi kemudian bangunan ini sempat teronggok, konon kemudian interior dan bagian bangunan ini banyak yang dijarah. Untuk menyelamatkannya kemudian bangunan ini dijadikan bangunan Cagar Budaya, setidaknya bangunan ini memiliki perlindungan dari status tidak jelas dan lebih lagi dari tangan-tangan jahat yang hendak merampok kemolekan bangunan ini. Hingga akhirnya bangunan ini kemudian sempat menjadi polemik beberapa tahun yang lalu ketika dialihfungsikan menjadi Budha Bar. Sempat terkatung-katung beberapa waktu akhirnya bangunan ini menjadi Tugu Kurnstkring Paleis yang sekarang, sebuah restoran beraroma kolonial dan dikelola dibawah manajemen Tugu Hotel, jejaring hotel yang terkenal dengan sentuhan seni pada interiornya.

IMG_5173
Main Dining Area

Ambience Kolonial Yang Kental

Mengunjungi Tugu Kunstkring Paleis berarti harus menyiapkan banyak-banyak stok rasa kagum. Kejutan demi kejutan akan datang dari sejak melangkahkan kaki sampai nanti mengakhiri kunjungan. Kejutan pertama dimulai ketika masuk, pengunjung akan disambut oleh gadis manis berkebaya, sangat mooi indie sekali. Ruangan pertama yang dimasuki adalah semacam selasar pendek untuk menuju ruangan utama. Terdapat ruang tunggu dengan sofa empuk yang sangat nyaman. Sementara di pojok kanan arah masuk terdapat ruangan kecil yang ternyata adalah khusus untuk tempat wine andalan di restoran ini. Sayang kala itu tutup, saya tidak sempat melihat apa – apa saja wine koleksi restoran ini dan melakukan tasting atas wine-wine tersebut. Tempat wine ini dinamai Ban Lam Wine Shop & Tasting Room.

Meninggalkan selasar, kita bisa langsung menemui Main Dining Area, ini adalah ruang makan utama di restoran ini. Saya tak bisa menaksir luasnya, tapi sangat luas, dengan langit-langit tinggi dan pilar atas melengkung. Pada bagian atas terdapat lampu-lampu gantung dan beberapa kipas angin. Sementara nuansa di ruangan ini dibuat temaram, romantis sekali. Pada sisi belakang ruangan ini terdapat lukisan amat besar berukuran 9 x 4 meter yang menjadi daya tarik utama ruangan ini. Lukisan ini dinamai The Fall of Java dan dilukis sendiri oleh Anhar Setjadibrata, sang pemilik jaringan Tugu Hotel. Tema lukisan ini adalah interpretasi dari penangkapan Diponegoro di Magelang yang kemudian menjadikan Mataram sepenuhnya takluk di tangan Belanda dan mengakhiri perang yang begitu lama dan menguras pundi-pundi uang penjajah kolonial. Sebenarnya lukisan ini juga menjadi tanda untuk ruangan ini, Ruang Diponegoro, dinamai sama dengan nama lukisan dan juga wujud hormat Anhar pada perjuangan Diponegoro.

Makin ke dalam saya makin tidak percaya ini restoran, ini lebih seperti namanya Paleis, Istana. Atau jika tidak sepakat dengan istana, ini lebih mirip galeri seni atau bisa jadi museum dengan koleksi-koleksi tak tertandingi. Kejutan berikutnya ada di belakang lukisan besar tadi, rupanya lukisan ini tak hanya pajangan semata namun juga pemisah dengan ruang berikutnya. Ada ruangan nan cantik di belakang lukisan ini yang dinamai Ruang Multatuli, ruangan ini adalah salah satu ruangan VIP dan berkapasitas 12 orang.

IMG_5160
Ruang Multatuli

Multatuli atau Edward Douwes Dekker adalah sosok yang dikenang sebagai pembela bangsa terjajah, tulisannya tentang Lebak membuka tabir kekejaman pemerintahan kolonial yang selama ini disembunyikan. Di ruangan ini terdapat foto hitam putih Douwes Dekker yang digantungkan di salah satu sisi temboknya. Ornamen dan relik-relik di ruangan ini seolah dirancang untuk membangun nuansa di era Multatuli. Ada foto bangsawan jawa berperut gendut yang dipasang pada gebyok kecil, kiranya melambangkan feodalisme pribumi di masa itu yang justru memakan bangkai saudaranya sendiri. Pun lukisan diri berukuran besar pembesar Belanda yang saya duga adalah Albertus Jacobus Duymaer van Twist, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di era Multatuli melambangkan supremasi Belanda di tanah jajahannya, pose lukisan tersebut sangat angkuh dan melambangkan Belanda sebagai penguasa.

Ambience kolonial sangat terasa disini, kursi ukirnya, meja panjangnya sampai foto-foto hitam putih yang ditempel sangat khas kolonial. Mungkin jika ditambah alunan Keroncong Moresco saya akan terbuai dan tidak sadar terbawa ke era 2 abad yang lalu, ke era kolonial, ke era dimana orang-orang Belanda akan dansa-dansi sepanjang malam.

IMG_5172
Suzie Wong Lounge
IMG_5167
Suzie Wong Lounge

Masih di lantai 1, di sisi kiri ruang utama terdapat sebuah lounge yang bercorak merah, lounge ini bernama Suzie Wong Lounge. Untuk memperkuat nuansa Suzie Wong, terdapat 2 poster film The World of Suzie Wong berukuran besar dipasang saling berseberangan, film ini bersetting di Hongkong tahun 1950-an. Sejenak meninggalkan nuansa kolonial, di lounge ini nuansa pecinan terasa sangat kental. Mulai dari temaram warna merah yang muncul dari lampion yang tergantung sampai, gebyok pembatas ruangan sampai sarung bantal yang bersulamkan ornamen-ornamen Cina. Di sisi lain lounge ini terdapat bar yang dijaga bartender yang siap menyajikan minuman-minuman pilihan pengunjung.

Penataan ruangan, tata letak dan interior Tugu Kunstkring Paleis menunjukkan citarasa dan kejeniusan pemiliknya dalam menyajikan pengalaman lain dalam bersantap. Ruangan demi ruangan dibuat terkonsep dan tematik, jadi setiap pengunjung akan mendapatkan ambience yang berbeda-beda di tiap ruangannya. Sebuah penataan yang sangat unik dan akan mendatangkan pengalaman yang tak terlupakan pula. Selesai berkeliling di lantai pertama, saya kemudian menuntaskan rasa penasaran tentang interior di lantai dua Tugu Kunstkring Paleis. Tangga untuk ke lantai 2 ada di sebelah kanan Ruang Diponegoro, atau juga tersedia lift untuk menuju lantai 2, diantarkan oleh seorang staff restoran saya siap menjelajahi sudut-sudut lantai dua.

Di lantai 2 restoran ini terdapat hall besar seperti di Ruang Diponegoro, namanya adalah Art & Performance Hall dan berfungsi sebagai galeri seni dan pertunjukan. Di tempat ini sering diadakan pameran-pameran lukisan ataupun pertunjukan seperti orkestra. Mengarah keluar, terdapat balkon yang dinamai Balcony van Menteng. Di balkon ini kita bisa melihat pemandangan di area restoran, selain itu juga bisa melihat pemandangan taman di halaman Tugu Kunstkring Paleis. Bagi mereka yang ingin bersantai di balkon, restoran menyediakan menu spesial berupa teh premium yang bisa dipilih untuk menemani waktu bersantai para tamu.

IMG_5157

IMG_5113

Ruangan terakhir yang harus dikunjungi adalah Ruang Soekarno. Ruangan ini dirancang oleh Anhar sebagai penghormatan untuk Presiden Soekarno. Kebetulan Anhar pun berasal dari daerah yang sama dengan Soekarno, Blitar. Di tengah ruangan terdapat meja panjang dan deretan kursi yang sudah ditata rapi. Bagi saya ruangan ini ruangan termegah dan memiliki sisi magis, indah sekali.

Ada lukisan Soekarno di ruangan ini, juga memorabilia lainnya seperti foto-foto Soekarno dari masa ke masa. Saya tertarik dengan lukisannya, lukisan Soekarno terletak di ujung ruangan, berukuran besar dan berwarna hitam putih. Dalam lukisan itu, Soekarno digambarkan diapit 2 penari Bali, hal ini mengingatkan saya bahwa Soekarno memang tak bisa lepas dari Bali, ibunya seorang Bali, sementara kecintaannya pada Bali pun membuat Soekarno sampai membuat istana di Tampaksiring, Bali.  Selain itu taburan benda-benda seni di ruangan ini seolah menunjukkan bahwa Presiden Indonesia yang pertama ini juga seorang penikmat dan pengoleksi barang-barang seni.

Detail di Ruang Soekarno sunggu memukau. Setiap memorabilia yang terpasang seolah menceritakan kronik hidup Soekarno. Detailnya luar biasa, memorabilia ini tak hanya sebagai hiasan semata, sesungguhnya pada setiap ornamen yang terpasang juga terdapat ceritanya masing-masing. Keindahan Tugu Kunstkring Paleis keseluruhan adalah bukan hanya soal sajiannya semata, tapi juga konsep tata letak dan filosofi yang terkandung pada setiap ruangannya.

Ruang Lain Yang Memukau

Tak hanya ruangan-ruangan yang sudah saya ceritakan yang mampu menggugah rasa kagum. Anhar memang maestro dalam hal ini, apa yang dia rancang, apa yang dia bangun dan apa yang dia bangun selalu mengundang decak kagum dan membuat pengunjungnya angkat topi setinggi-tingginya. Selain melulu bagian dari restoran yang bagi saya lebih mirip museum, di dalam bangunan juga terdapat toko suvenir dan pernak-pernik. Souvenir yang tersaji pun bukan main-main, semua adalah barang seni yang indah. Ada kain batik, ada ukir-ukiran dari Indonesia Timur sampai ke patung batu dan lukisan-lukisan.

Bagi pecinta kopi, Tugu Kunstkring Paleis pun menyediakan tempat yang lokasinya ada di sayap kanan bangunan ini. Nama tempat minum kopinya adalah Bread & Coffee Corner, rupanya selain menyajikan kopi disini juga menyajikan roti sebagai teman minum kopi. Yang istimewa adalah Roti Bluder-nya, Roti Bluder memang salah satu warisan kolonial, roti ini memang lahir dan populer di era Hindia Belanda. Sedikit unik karena adonannya adalah campuran antara roti keras dan cake yang lembut, jadilah roti yang teksturnya lembut namun bentuknya besar dan cukup mengenyangkan. Nah Bluder yang ada bukan Bluder sembarangan, di sini menyajikan Bluder Bertha yang didatangkan langsung dari Blitar. Konon Bluder Bertha dari Blitar ini adalah bluder legendaris tanpa tanding di Blitar sana.

Dua rangkaian bangunan tadi cukup menjadi pelengkap yang sempurna. Setiap tema ruangan di Tugu Kunstkring Paleis yang memiliki cerita sendiri bisa dirangkaikan menjadi sebuah fragmen cerita sesuai imajinasi masing-masing pengunjungnya. Saya tak bisa membantah lagi, mungkin ini restoran terbaik yang pernah saya kunjungi. Bukan hanya soal hidangan yang enak, tapi juga soal bagaimana secara visual juga terpuaskan. Secara inderawi, restoran ini memuaskan semua indera, bukan hanya indera perasa saja. Jika sajiannya nikmat sampai tak bisa tergambarkan rasanya dilengkapi dengan kepuasan batin menikmati suasana Kunstkring adalah ekstase tertinggi menikmati jamuan makan.

Rasanya saya setuju apa yang Napoleon bilang, seseorang bisa dinilai dari apa yang dia makan. Mereka yang berkunjung ke Tugu Kunstkring pastilah bukan orang yang hanya mencari kenyang, tapi juga ingin menggapai kebahagiaan. Kunjungan ke tempat ini bagi saya juga memunculkan imajinasi bagaimana meriahnya jamuan makan orang-orang kolonial di masa lampau, ambience yang dibangun di restoran ini benar-benar membangun imajinasi yang sempurna akan bayangan masa lampau tersebut.

Saya kira, sajian kopi yang mungkin didatangkan dari perkebunan milik keluarga Anhar di Blitar, Kawisari Coffee Plantation ditemani sepotong bluder nan halus dan lembut teksturnya sambil menikmati alunan musik yang tenang telah menjadi penutup sempurna kunjungan di Tugu Kunstkring Paleis. Kekaguman akan Tugu Kunstkring Paleis bahkan terus terbawa bahkan setelah rasa pahit kopinya sudah hilang berjam-jam kemudian.

Tabik.

Website Tugu Kunstkring Paleis.

Peta dan Alamat :

Post Scriptum & Trivia

1. Tahun 2014 ini bangunan ini merayakan ulang tahunnya yang ke-100, untuk memperingatinya pihak Tugu Kunstkring Paleis menggelar banyak rangkaian acara menarik sepanjang tahun. Salah satu yang saya datangi adalah bedah buku Ian Burnet, East Indies pada 9 Februari 2014 lalu. Buku ini menjelaskan pembabakan kedatangan bangsa Eropa ke Hindia Belanda yang diawali ketertarikan akan rempah-rempah. Uniknya walaupun ini buku sejarah, tapi sang penulis, Ian Burnet adalah seorang geologis dan bekerja di sektor pertambangan minyak, kecintaannya akan Indonesia dan sejarahnya membuat Ian kemudian menulis buku ini. 

2N.V. Bouwploeg jika dilafalkan oleh orang lokal waktu itu menjadi Boplo. Mungkin itulah asal muasal kata-kata Boplo sekarang ini. 

3. Kekuasaan Perancis di Hindia Belanda berakhir akibat serbuan Inggris, seperti Waterloo, Jalan Matraman Raya sampai Manggarai wilayah Batavia waktu itu adalah medan perang berdarah-darah yang berujung bagi kekalahan pasukan Perancis, Hindia Belanda dan pribumi. Inggris sendiri sebelum penyerbuan ke Batavia ini membangun pangkalan di Pulau Bangka, armada yang dipimpin Lord Minto ini membangun gudang logistik dan senjata serta menghimpun pasukan. Setelah ditinggalkan armada ini, tempat itu kemudian dinamai Muntok, dari nama Lord Minto. Lord Minto yang nama lengkapnya adalah Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto sendiri kemudian Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelumb digantikan oleh Thomas Stamford Raffles. 

4. Di ruang Soekarno ada petikan kata-kata Ktut Tantri. Ktut Tantri sendiri adalah nama samaran, nama aslinya adalah Muriel Stuart Walker seoranga wanita asli Amerika yang jatuh cinta pada Indonesia dan turut membantu kemerdekaan Indonesia. Kelak menjadi sahabat banyak pejuang kemerdekaan Indonesia, termasuk Bung Tomo. 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

19 KOMENTAR

  1. Aku baca ini pertamanya karena ikutan #KUMIS di @Warung_Blogger 😀 tapi begitu nyari jawabannya ehh, malah keasyikan baca 🙂 Menarik banget ya, tempatnya! Aku baru tahu ada tempat ini… Kapan-kapan mau kesana ahh 😀 Makasih yaa, kak! Infonya memberi pengetahuan lebih 🙂

  2. Table manner justru bikin makan jadi kurang nikmat. Buat ku sih yang biasa makan dengan posisi seenak mugkin. Hahahahahha

  3. Salah satu Restoran Belanda di Jakarta yang pengen saya datengin, tapi belum kesampean – kesampean nih om..
    Takut kalau nanti harganya gak cocok sama kantong aku, hahaha

    Tapi kalau baca tulisan om jadi pengen.. Kebetulan bulan daepan mau ke Jakarta.
    Biasa kalau makan komplit gitu udah sama main course, appetizer dll dll abis berapa ya om?
    Bisa gak makan kenyang di bawah 200 ribu di sini?

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here