262673_101168793311793_99781_n
Ibunda ketika Wisuda D3 Saya. 6 Tahun lalu.

“Ibu ndak bisa membekali masa depanmu dengan harta karena kita bukan orang kaya, Ibu cuma bisa nyangoni ilmu ke kamu dan adikmu”

Saya terkenang dengan kata-kata yang diucapkan ibu 9 tahun lalu, ketika ia mengantar saya merantau ke Jakarta untuk kuliah. Kala itu mungkin bisa dianggap saat-saat terberat bagi keluarga kami, terutama untuk Ibu. Tahun 2005 adalah saat harga tembakau benar-benar jatuh terpuruk, beratus kilo tembakau tidak bisa dijual, keluarga terbelit hutang, sementara saya pun ketika itu harus mulai kuliah. Dengan tangis air mata, entah sedih entah karena bingung tidak punya uang, Ibu melepas saya ke Jakarta. Saya pun pergi bergelayut kesedihan, kala itu mungkin di benak saya hanya ada satu hal, menghapus kedukaan dari wajah Ibu.

Ibu dan Bapak lahir dari keluarga biasa-biasa saja. Tiga generasi ke atas dari Ibu adalah petani, orang tua Ibu semuanya petani, jadilah Ibu lahir, besar dan tumbuh di keluarga besar petani. Sementara Bapak hadir dari keluarga pedagang, orang tua bapak adalah pedagang tulen sekaligus penjahit. Lahir di tahun 1960-an, Bapak dan Ibu kemudian tumbuh remaja dan dewasa di era Orde Baru, di mana saat itu adalah era di mana pendidikan sedang digenjot, pemberantasan buta huruf digalakkan dan banyak sekolah dan universitas di buka.

Pada saya, Ibu selalu bercerita bahwa oleh kakek ia disekolahkan ke Jogja. Harapannya adalah agar keluarganya tidak terjebak dalam lingkaran keluarga petani, agar ada sosok yang mentas dari keluarganya. Sejak Aliyah, Ibu sudah diminta merantau ke Jogja, menumpang tinggal di salah kerabat sampai lulus kuliah. Karena kakek bukan petani dengan lahan yang luas, terkadang Ibu tidak diberi uang saku, hanya dikirimi beras. Maka Ibu lebih sering berjalan kaki dari Kauman sampai ke Kampus IKIP Jogjakarta untuk kuliah karena tidak punya uang untuk sekedar naik bis.

Lain dengan Bapak saya, sebagai anak pertama dari 4 bersaudara, Bapak adalah tumpuan keluarga. Tampaknya bapak menghadapi situasi yang lebih sulit daripada Ibu. Ketika Bapak memutuskan kuliah, kondisi ekonomi keluarga sedang morat-marit, jatuh ke titik nadir. Bagaimanapun Bapak tetap memutuskan kuliah sambil bekerja membantu kedua orang tuanya. Karena itulah, Bapak kala itu sering berangkat kuliah pergi – pulang Muntilan – Jogjakarta dengan menggenjot sepeda kumbangnya.

Dari fragmen cerita ini saya tak akan bicara soal bagaimana perjuangan orang tua saya untuk memperoleh pendidikan, tapi bagaimana kedua orang tua saya menanamkan pola pikir tentang pendidikan untuk saya dan adik saya.

Ada kesedihan yang tak sekedar tumpah ruah, tapi sudah membanjir ketika Bapak saya meninggal. Saya masih kelas 2 SMP, adik saya bahkan baru masuk SD. Ibu saya limbung, senada dengan kondisi keuangan keluarga kami yang turut ambruk. Pensiun yang diterima Bapak hanya seperdelapan dari gajinya saat masih berdinas, sementara gaji Ibu tak beranjak dari angka 100 ribu sebulan. Kami dalam bingung harus terus melanjutkan hidup, pada prinsipnya Ibu ingin agar saya terus melanjutkan sekolah, adikpun demikian, bagaimanapun caranya.

Saya merasa Ibu saya tiba-tiba menjadi manusia terkuat di dunia. Air mata segera diseka, ia memimpin kami sebagai Ibu cum Bapak sekaligus. Tak berlama-lama dalam kesedihan, Ibu melanjutkan menjadi guru.

Entah bagaimana Ibu mengatur uang bulanan, sekiranya uang dari pensiun Bapak dan gaji gurunya hanya 600.000,00 sebulan. Hasil pertanian menghampiri 3 bulan sekali dengan nominal yang belum pasti. Hanya dari uang itulah kami melanjutkan hidup, dibagi-baginya dalam banyak pos kebutuhan dan ada satu prinsip dari ibu, sebisa mungkin tidak berhutang.

Semenjak meninggalnya Bapak, Ibu meminta kami untuk hidup sederhana dan tidak boleh mengeluh. Kami pun mengikuti Ibu, tidak mau mengeluh sepahit apapun hidup yang kami alami.

Satu senyum tersungging dari Ibu ketika saya akhirnya masuk di SMA nomor satu di Magelang. Ia menganggap anak sulungnya berhasil, sementara saya menganggap ini adalah bakti pada Ibu, supaya ia bangga dan sedikit melupakan kesedihannya. Memeluk saya lama sampai menangis ketika ia turut mengantar saya melihat pengumuman siswa baru di SMA.

Beruntung pula SMA tempat saya bersekolah adalah SMA yang humanis, iuran bulanan diisi semampu kemampuan orang tua murid, tidak membayar pun tak apa. Beasiswa yang ditawarkan juga banyak. Pun SMA ini sangat egaliter, jarak antara si kaya dan si miskin tidak kentara, siswa-siswanya membaur. Begitulah kondisi ketika saya bersekolah dulu. Padahal saya tahu banyak orang kaya yang bersekolah di sini. SMA ini sekolah favorit dalam artian sebenarnya, melihat kualitas siswanya, tanpa melihat kemampuan ekonomis mereka, si kaya, si miskin boleh satu atap, menuntut ilmu bersama-sama.

Hebatnya lagi, kekayaan tidak lantas membuat siswa-siswa di SMA ini silau lantas banyak gaya, mereka sederhana yang sebenarnya, bukan pula pencitraan. Tampaknya memang teman-teman saya ini orang yang membumi, hidup sederhana tapi dengan prestasi luar biasa. Saya terkenang ada anak juragan emas nomor satu di Magelang, tokonya megah, mewah dan banyak. Rumahnya layaknya istana dengan mobil mewah dari Eropa menghiasi garasinya. Tapi si anak, teman saya itu berangkat dan pulang sekolah jalan kaki! Penampilannya pun sederhana sekali, ramah pula. Saya amati dia memakai sepatu yang sama setiap hari, sampai solnya tipis dan jebol baru ia ganti sepatu. Kiranya itu bukan pencitraan, tapi memang orangnya yang sederhana.

Saat SMA ekonomi keluarga mulai membaik, harga tembakau mulai stabil dan iklim bertani pun bagus. Setiap panen, hasilnya bisa digunakan untuk menambal kebutuhan hidup. Berkat hasil pertanian itu pula, Ibu membelikan saya motor, “Biar kamu ga malu kalau sekolah”, begitu katanya.

Padahal waktu itu saya santai-santai saya menggunakan motor Astrea 800, keluaran 1987. Terkadang jika motor itu rusak saya naik sepeda sampai jalan raya, baru dilanjutkan naik angkutan sampai Sekolah. Motor yang dibelikan ibu untuk saya adalah Astrea Grand, keluaran 90-an, bukan motor baru tapi motor bekas.

Uang sisa lainnya dibelikan perhiasan oleh Ibu. Bukan untuk dipakai, tapi disimpan saja, katanya nanti biar bisa dijual lagi kalau butuh. Setiap ada lebihan uang selalu begitu, Ibu akan simpan sampai cukup untuk membeli perhiasan. Entah itu hanya anting-anting 5 gram, atau liontin kecil. Itu adalah model investasi yang ibu lakukan untuk kami berdua, investasi untuk pendidikan.

“Jangan dijual, pokoknya jangan dijual!” Begitu tangis-marah Adik saya ketika Ibu hendak menjual mobil peninggalan Bapak.

Ibu memang terpaksa menjual mobil peninggalan Bapak satu-satunya. Mobil itu juga yang menjadi mobil kesayangan Adik saya, mobil yang dikatakannya sebagai kenangan dari Bapak. Itu memang salah satu keputusan terberat yang diambil Ibu. Mobil tersebut dijual untuk biaya saya melanjutkan kuliah di Jakarta. Mobil penuh kenangan itu akhirnya dipindahtangankan, oleh Ibu uangnya dimasukkan tabungan, menurut perhitungannya cukup untuk biaya kuliah saya tiga tahun.

Saya gundah gulana saat melanjutkan kuliah di Jakarta. Sebelumnya saya sudah diterima kuliah di Jogja sebenarnya, tapi demi Ibu pula saya dengan sadar memutuskan pindah ke Jakarta. Minimal kuliah lebih cepat dan bisa mendapatkan kerja lebih cepat pula, dari gaji tersebut sebagian bisa dikirim ke rumah, membantu keluarga.

Ketika saya kuliah adik saya masuk SMP. Biaya hidup bagi Ibu tentunya semakin naik, tapi penghasilan Ibu sebagai guru tidak naik, uang pensiun Bapak pun tidak naik-naik. Adik dibelikannya sepeda untuk sekolah sehari-hari, karena uang yang mepet itu Ibu meminta Adik saya berangkat sekolah naik sepeda, bukan naik angkot seperti teman-temannya yang lain.

Kala rindu sudah membuncah di Jakarta, Ibu malah selalu melarang saya pulang ke rumah. Ongkos untuk pulang mahal katanya, mending ditabung saja. Saya hanya bisa sendika dhawuh. Antara 2005-2008 saya sebulan hanya dikirimi 250-300.000. Jika dihitung saya hanya boleh menghabiskan 10.000 per hari. Terkadang di minggu-minggu akhir bulan, makanan saya hanya mie instan yang dipanasi dengan air dari dispenser.

Lulus kuliah dan bekerja, keadaan ekonomi mulai membaik. Saya sedikit-sedikit mulai bisa membantu keuangan keluarga, Adik saya sudah mulai masuk SMA. Suatu saat saya dipanggil Ibu, berdua saja kami berbicara, malam-malam.  “Mas, Adik bentar lagi kuliah, nanti bantu Ibu ya.”

Saya tahu benar maksud Ibu dan tanpa diminta pun akan dilaksanakan, tapi memang Ibu adalah pribadi yang kadang penuh rikuh pakewuh khas orang Jawa kebanyakan. Ibu menginginkan Adik masuk sekolah kedinasan seperti saya. Tapi saya bilang ke Ibu, “Adik jangan di kedinasan bu, dia lebih pintar, lebih tekun, biarlah kuliah di tempat yang dia inginkan.”

Setelah bicara baik-baik bertiga, Ibu akhirnya mengizinkan Adik kuliah di jurusan yang ia sukai, di universitas yang ia pilih sendiri. Adik mendapatkan keleluasaan lebih banyak dari saya dan memang sudah saatnya saya yang berkorban untuk Adik. Sebagai Kakak, saya pasti tentunya ingin Adik saya lebih maju dari kakaknya, mendapatkan lebih dari apa yang sudah saya raih, seorang kakak menurut saya pasti rela menjadi landasan bagi keberhasilan Adiknya.

Maka jika teman-teman saya yang lain mungkin setelah bekerja ada yang sudah membeli rumah, mobil, menikah atau bahkan menikmati hidup mereka. Saya kembali hidup irit, prinsip hemat yang Ibu ajarkan saya terapkan di kehidupan sehari-hari. Saya harus berhemat banyak-banyak dan berusaha mendapatkan penghasilan tambahan demi kuliah Adik saya. Adik saya pintarnya 2 kali lipat daripada saya, maka dia harus mendapatkan 2 kali lipat lebih baik daripada saya. Biarlah saya yang kakaknya sedikit keras berjuang demi hidup Adik saya yang lebih nyaman kelak.

Selain kami sekeluarga, ada banyak orang – orang lain yang mengorbankan segala sesuatu demi pendidikan yang layak. Mereka adalah orang-orang yang ingin mengubah hidup mereka dengan pendidikan. Teman saya sekelas saat SMA bisa menjadi contoh, jarak rumah dari sekolah jauh nian, mungkin ada 30 kilometer jauhnya nun di lereng Gunung Merapi sana. Setiap hari dia bersiap pagi buta dan pulang sampai rumah saat sore menjelang. Orangnya gigih, tekun ada nyala semangat di matanya. Tak heran dia selalu peringkat satu, lulus SMA mendapatkan beasiswa sampai S2. Sekarang teman saya ini sudah jadi orang, kerja di Pertamina, gajinya mungkin tiga kali lipat dari saya. Padanya saya belajar bahwa ada nyala yang takkan padam jika percaya pada pendidikan.

Atau tetangga saya, bakul tempe. Tapi tetangga saya ini punya anak yang luar biasa, mentalnya baja bukan mental tempe. Di SMP juara Olimpiade berkali-kali dan akhirnya anak bakul tempe ini masuk di SMA saya, SMA terbaik di Magelang. Ada semangat yang tak pernah hilang dari anak tetangga saya itu. Kabarnya di SMA pun sekarang berprestasi. Betapa orang tuanya tidak akan bangga jika demikian?

Ibu saya sekarang mungkin sedikit bisa bernafas lega. Ia hampir tuntas menyekolahkan anak-anaknya, Adik saya sekarang sedang skripsi, katanya sudah masuk Bab 2, targetnya Mei sudah wisuda. Ibu membebaskan Adik saya memilih masa depannya, boleh bekerja, boleh melanjutkan studi. Walaupun saya lebih sering menasehati adik saya agar lanjut saja S2, biar bisa langsung melampaui kakaknya, biar dia bisa mencapai sesuatu yang ebih daripada kakaknya.

Pendidikan di keluarga kami adalah hal utama, bisa jadi Pendidikan adalah sesuatu yang diprioritaskan. Sementara sederhana adalah sikap hidup yang kami anut hingga sekarang. Bukan berarti tidak punya uang, tapi dengan sederhana kami bisa bersikap menerima apa yang sudah kami punya. Didikan Ibu memang keras, tapi sikap penanaman hidup itu membentuk hidup kami. Pendidikan nyatanya bisa mengubah hidup kami dan sikap sederhana terus menjaga jati diri kami.

Selalu ada kompensasi-kompensasi dalam hidup atau kata lainnya ada pengorbanan-pengorbanan yang dilakukan, jika itu sebanding maka ujungnya adalah keberkahan. Ketika tengah tahun lalu saya ke Kefamenanu, saya mampir di sebuah warung lokal. Ada foto gadis perempuan yang sedang wisuda, si Bapak empunya warung dengan bangga menceritakan soal gadisnya itu. Sekolah di Jawa, sekarang sudah kerja di Kupang jadi perawat, gajinya lumayan, begitu katanya. Si Bapak sendiri rumahnya begitu sederhana, belakangnya huma, tungkunya pun tungku tanah. Tapi ada senyum penuh kebanggaan dalam tiap kata tentang gadisnya, sarjana. Si Bapak berhasil memperjuangkan sesuatu dalam hidupnya, mengangkat derajat keluarganya dengan pendidikan bagi gadisnya.

Ibu saya memang menegakkan soal kesederhanaan sejak kami kecil, Bapak saya juga demikian. Seharusnya sebagai seorang kepala unit Bank BUMN kala itu ia bisa saja tidak sederhana. Tapi ia tidak mau, sederhana adalah konsep yang harus ditanamkan. Ternyata laku ini terus dipegang, sederhana. Tapi Bapak – Ibu sepakat bahwa pendidikan harus dinomorsatukan. Maka Bapak-Ibu tidak ada kompromi soal pendidikan, anak-anaknya sebisa mungkin disekolahkan di sekolah terbaik supaya mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk hidupnya juga. Maka 2 hal itu yang menjadi pegangan dalam hidup kami.

Sederhana memang akan selalu bermakna, sederhana ketika memperjuangkan sesuatu dan tetap sederhana, bersikap sewajarnya ketika sesuatu yang diperjuangkan itu telah tercapai.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

46 KOMENTAR

  1. jaman dulu memang seeprtinya hidup sederhana semua Chan,
    nanti kalau sampeyan punya anak, mungkin baru bisaa merasakan
    betapa menanamkan sikap sederhana di era sekarang ini, tidak semudah jaman dulu…..

  2. Saya sangat setuju dengan tulisan mas, inspiratif..semoga sya sebagai orang tua mampu mengajarkan sederhana dan memiliki visi yg sama”pendidikan penting”

  3. Membaca post ini membuat saya teringat akan ketidakmampuan saya untuk memotivasi adik saya melanjutkan kuliah padahal sebenarnya dia pintar, justru saya yang dibantu biaya kuliah dari hasil kerjanya dipabrik karena orangtua tidak mampu. Beruntunglah mas farchan yang mampu menjadi panutan adiknya.

  4. Gak sengaja baca, Mas. Sedih rasanya, air mata saya cukup banyak dikuras. Saya jadi teringat kakak saya. Beliau juga satu almamater di kuliah nampaknya dengan mas ini, hanya beliau angkatan 2004. Kakak saya juga sebenarnya sudah masuk universitas negeri di Bandung, hanya karena biaya (waktu itu ayah saya habis operasi besar). Ibu mengizinkan kakak saya kuliah di Jakarta. Ayah meninggal saat saya akan naik tingkat 3, di sana saya ingat perjuangan kakak saya membantu ibu menyekolahkan ketiga adiknya. Semoga betah ya, mas kerjanya. Semoga Allah selalu bersama jalan mas. aamiin.

  5. Sedih mas bacanya , terharu, menyentuh sekali 🙂
    Ini cerita memang sangat sangat berdasarkan pengalaman sekali mas, sampai menyentuh hati 🙂

    Andai setiap saat saya bertemu dengan orang seperti mas ini 😀

  6. Sungguh menyentuh. Terima kasih telah bercerita dan sharing di web. Kisah mas juga persis dengan kisah 2 sahabat saya.
    Memang perjuangan ibu dan ayah kerap membuat saya terharu.
    Sukses selalu untuk mas ef dan sekeluarga~ Selalu menginspirasi

  7. Duuh mas,, sampe nangis aq baca tulisanmu,,
    Jadi inget betapa aku dulu juga harus berjuang untuk sekolah & kuliah, cari beasiswa sana-sini, cari sidejob sana-sini,
    so proud lah punya kk kelas dan tetangga kampung seperti sampeyan 🙂

  8. Keren bgt mas saya yang masih 22 tahun makin merasa kecil dan payah dengan inspirasi anda. Saya pun masih punya 2 adek yg masih sekolah. Semoga tetap bisa jadi panutan dan jadikan pendidikan prioritas utama

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here