Seratus meter di balik tembok perumahan elit Bintaro, terdapat kehidupan lain yang sudah berjalan bertahun-tahun. Berjejalan di lahan yang sempit, rumah-rumah beton Bintaro sebagai latar, berdirilah lapak-lapak dari kayu, beratap seng, asbes, terpal dan segala rupa bahan yang bisa diwujudkan sebagai atap. Dengan ruangan gelap di mana cahaya hanya bisa mengintip, dinding dari bambu, kayu dan atau bahan ala kadar asal bisa disebut dinding. Ada kehidupan lain yang ramai, kehidupan yang selama ini dianggap sebelah mata.
Saya mengenal tempat ini sejak masa kuliah. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan lapak-lapak ini ada, tidak ada yang tahu tanah di atas lapak ini milik siapa, entah bertuan entah tidak. Namun dari cerita orang-orang, banyak yang berkata lapak ini mulai ramai di akhir tahun 90-an, beranjak ke tahun milenial, orang-orang di balik tembok yang tinggal di lapak semakin banyak. Lapak tadi kemudian berkembang menjadi sebuah koloni, menjadi sebuah komunitas dengan strukturnya sendiri.
Sebuah jembatan sederhana di atas saluran air yang menggenang hitam menjadi jalan masuk satu-satunya ke area lapak. Orang-orang mengenalnya sebagai Lapak Sarmili, dinamai demikian karena lokasi lapak berhimpitan dengan Kampung Sarmili, walaupun di sisi lainnya beradu dengan tembok Perumahan Bintaro tapi tetap dinamai Lapak Sarmili.
Penghuni Bintaro banyak yang menganggap lapak ini adalah asal muasal para pemulung dan pengemis yang banyak menjelajah Bintaro. Anggapan yang tidak salah, faktanya memang mayoritas penghuni lapak adalah para pengumpul sampah dan barang bekas. Sebagian lain berprofesi sebagai pedagang, sebagian lainnya sebagai tukang dan pekerja informal lainnya. Dan memang di tanah kosong di antara lapak-lapak, menggunung sampah-sampah baik yang sudah disortir atau yang baru saja diambil dari seluruh Bintaro.
Ketika saya datang, suasana lapak sedang sepi. Kebanyakan wanita dan anak-anak, siang memang menjadi waktu kaum pria untuk bekerja keluar, menjelajahi jalanan Bintaro dari perumahan ke perumahan. Daya jelajah ini terkadang menjadi masalah, beberapa cluster perumahan melarang pemulung untuk masuk dengan menugaskan petugas keamanan berwajah galak.
Walaupun demikian, orang-orang lapak terus melakoni pekerjaannya. Bisa jadi tanpa terpikirkan, mendahului petugas sampah resmi dari perumahan, mereka sudah memunguti sampah. Terkadang mereka sudah keluar di dini hari, saat orang-orang masih sibuk bermain mimpi dan baru pulang ketika malam sudah gelap, di saat gerobak mereka sudah terisi penuh.
Di lapak kehidupan berjalan sama, kaum wanita berkumpul dan bergosip, kaum pria nongkrong dan saling berbagi rokok atau kopi. Sebagai sebuah koloni, lapak ini termasuk memiliki fasilitas yang memadai.
Berderet kamar mandi untuk Mandi, Cuci dan Kakus yang digunakan beramai-ramai, masalahnya cuma satu, jika pompa air rusak mereka tidak memiliki uang untuk memperbaikinya. Jadi terkadang kamar mandi tersebut hanya menjadi hiasan.
Ada mushola besar di tengah-tengah lapak, yang ketika saya datang mushola tertutup rapat. Namun kondisi di dalam mushola tetap bersih layaknya tempat ibadah. Di sisi lain terdapat Rumah Pelangi, tempat relawan-relawan yang rutin datang untuk mengajak anak-anak lapak belajar.
Mayoritas orang-orang yang tinggal di Lapak berbahasa Jawa pesisir utara. Sebagian saya paham makna percakapan antar mereka, sebagian lagi tidak. Namun ada segurat ceria di tengah-tengah mereka. Ketika saya membawa kamera, mereka menyambut baik, tak ada wajah curiga, bahkan meminta anak-anak mereka berbaris untuk berfoto bersama.
Wajah ramah ini memutarbalikkan segala macam praduga tentang lokasi lapak dan orang-orangnya. Di tempat yang mungkin akan dihindari banyak orang, orang-orang yang dicurigai, ada keterbukaan yang tak berjarak, ada percakapan tanpa canggung antara saya dengan mereka. Ada keramahan yang tak dibuat-buat.
Pikiran-pikiran saya tiba-tiba terserak menjadi banyak hal ketika mengunjungi lapak ini, bagaimana dengan layanan kesehatan mereka, bagaimana pendidikan anak-anak mereka, bagaimana pula dengan hak mereka sebagai warga negara, apakah diperlukan sama atau berbeda. Orang-orang yang tinggal di lapak bagaimanapun sama dengan saya, sama-sama berjuang untuk hidup.
Anak-anak di lapak memang cukup banyak, sebagian ada yang mengikuti jejak orang tuanya. Saya sering melihat anak-anak lapak ini menyusuri jalanan Bintaro, terkadang terlihat beristirahat di pinggir jalan dengan membawa karung berisi barang bekas, kardus, botol, kertas dan macam-macam lainnya.
Beberapa pihak mencoba masuk dan memberi bantuan. Inisiatif juga datang dari mahasiswa STAN. Teman kuliah saya Listra, bercerita bahwa inisiatif mahasiswa STAN sudah dimulai sejak tahun 2005 dan berlanjut hingga sekarang. Bagaimanapun anak-anak lapak memang tidak boleh menyerah dan berhak mendapatkan pendidikan yang setara.
Kunjungan sebentar ini menyadarkan saya banyak hal. Ada kehidupan lain yang selama ini terabaikan, barangkali tidak tersentuh. Ada kontras di balik tembok-tembok perumahan yang berdiri kokoh tinggi sekali. Ada keramahan yang barangkali sangat akrab, berbeda dengan keramahan basi-basi bersekat tembok rumah di perumahan mewah.
Orang-orang di balik tembok barangkali tidak berharap lebih atas hidup mereka. Barangkali risau mereka tidak banyak. Barangkali mereka hanya berharap terus bisa hidup, terus bisa mencari nafkah dengan tenang, hidup bahagia dengan keluarga mereka. Barangkali juga mereka berharap mengganti hidup mereka sekarang dengan hidup yang lebih layak.
Tabik.
NB : Ditulis setelah kunjungan untuk mengajar anak-anak Lapak Sarmili.
Mikir tentang banyak sekali hal habis baca ini Mas Ef. Entahlah. Bukan saling menuding memang mestinya, tapi apa yang bisa kita lakukan.
Iya Mas Dani. 🙂
Seharusnya memang apa yang sudah dilakukan atau apa yang bisa dilakukan.
Dulu kesini tahun 2004 pertama kali bareng teman seangkatan (Sigit, kalo ga lupa) buat bikin video untuk program GKI yg mau bantu komunitas ini. Sampai 2005 katanya masih jalan programnya, ngga tau deh kalo sekarang.
Masih jalan Mas. 🙂
Mudah-mudahan di masa depan, anak-anak ini tumbuh jadi pemimpin-pemimpin bangsa yang hebat dan bisa membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik :amin. Membaca ini membuat hati jadi hangat :)).
Aminnn doanya Gara..
Terima kasih sudah menghangatkan hati di tulisan ini.
Salah satu blogger yang bisa bikin saya seneng tiap tulisannya muncul di timeline. Tulisannya selalu inspiratif dan bermanfaat. Lanjut, Mas! Gas terus!!
Makasih Mas. 🙂
Jadi malu sendiri..
Berharap mereka bisa menjadi lebih baik. dan mendapatkan pendidikan yang layak.
Aminn mas. 🙂
jadi inget lagu iwan fals kaum pinggiran…
🙂
Kondisi seperti ini juga aku temui disekitaran perumahan tempat aku tinggal mas. Beberapa tempat sudah digusur karena proyek waduk ria rio tetapi ada beberapa yang masih eksis walaupun bolak balik kena musibah kebakaran, nga tau kebakarannya sengaja apa nga. Tapi diantara semua nya itu memang yang paling memprihatinkan adalah kondisi anak-anak yang tinggal disana. Beberapa kali kita berkunjung kesana memberi sembako dan alat perlengkapan sekolah untuk mereka pakai. Kalau dipikir-pikir beneran miris bangat.
iya kaka adel. 🙁
yang paling rugi adalah anak-anak.
Realita Ibukota ya Mas, mau yang paling kaya hingga si miskin semua ada di Jakarta..saya suka membaca tulisan-tulisan di blog ini..buat belajar menulis soalnya..hehehe…
Terima Kasih Mas. 🙂
Kehidupan memang misteri. Yang kaya diuji hartanya dan yang miskin diuji kesabarannya. Kita pastinya sangat berdosa bila tetangga dekat tidak makan.
Iya. 🙁
Bener banget mas, ada keramahan yang tidak dibuat-buat… saya senang bacanya, tulisan dari hati
Salam kenal Mbak. 🙂
membaca tulisan ini membuat saya bersyukur, dapat hidup di kampung, di tempat yang jauh lebih baik, meskipun susah sinyalnya, salam kenal mas dari cah Klaten. nuwun
Salam Mas, saya wong klaten juga kok.
Kesenjangan sosialnya kerasa banget ya, ane baca artikel ini jadi sedikit sedih gak jauh dari perumahan elit tapi masih ada orang yang kekurangan, anak-anak yang harus kerja bantu orang tuanya 🙁 . btw nice article gan
Betul Mas Ibnu. 🙂
Mas tulisannya sangat inspiratif ya, dibalik kemewahan kehidupan di jakarta khususnya bintaro, menyadarkan kita bhw msh banyak saudara2 yg harus dibantu. Perkenalkan saya tiara, mas kalo saya blh tau kontak komunitas yg biasa mengajar ditempat tsb, hrs hubungi kemana ya? Saya mahasiswi koas fkg moestopo sdg mencari pasien untuk dilakukan pemeriksaan dan perawatan gigi terimakasih
Terima kasih Mbak Tiara. 🙂 Untuk yang mengajar di tempat tersebut ada mahasiswa PKN-STAN yang dikoordinasikan oleh BEM-nya. Mungkin bisa menghubungi BEM-nya.