Almarhum Simbah Kakung saya Nahdliyin sejati, NU garis keras. Rutin pengajian di Watucongol Muntilan. Garis dari Simbah Kakung memang mayoritas NU, Almarhum Simbah Buyut Putri misalnya, di yuswa 90 tahun masih kuat 7 kilometer bolak-balik jalan kaki demi pengajian ahad pagi di kantor PCNU Palbapang, Magelang.

Dua orang adik ipar Simbah Kakung adalah Kyai, dua-duanya adalah Kyai Basari dan Kyai Haji Malkan Mahbub. Dua-duanya tokoh NU di kampungnya dan memimpin ratusan santri. Sebagai seorang Nahdliyin, adalah kebanggaan memiliki saudara seorang Kyai, dua Kyai pula.

Tapi walaupun Simbah Kakung saya adalah NU garis keras, Simbah Kakung lembut pada istrinya yang Muhammadiyah totok.

Simbah Putri saya memang lahir dari garis keturunan Muhammadiyah. Simbah Buyut Kakung dari jalur Simbah Putri adalah inisiator Muhammadiyah di Sawangan, maka anak keturunannya mayoritas Muhammadiyah. Sampai sekarang Simbah Putri masih rajin ke majelis Muhammadiyah seminggu sekali, setiap jumat pagi.

Di kehidupan Simbah Kakung dua aliran yang perbedaannya kadang begitu runcing justru menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan, berkelindan.

Coba bayangkan, Simbah Kakung saya meminang seorang putri tokoh Muhammadiyah, bagaimana menjelaskan pada keluarga besarnya yang semuanya NU? Sementara jika ke rumah mertuanya yang Muhammadiyah, Simbah Kakung saya adalah seorang Nahdliyin, sendirian, sementara lainnya adalah Muhammadiyah.

Pada fakta tersebut saya melihat bahwa Simbah Kakung sudah sangat melampaui zaman, dalam pemikiran, dalam kehidupan. Semua tergambar dalam kehidupan rumah tangganya yang tidak pernah ada gejolak hingga Simbah Kakung meninggal.

Ketika Bapak saya meminang Ibu, Simbah Kakung mengizinkan walaupun Ia tahu, mungkin keturunannya tidak akan ada yang Nahdliyin. Ibu saya selepas mondok lalu ikut Adik Kandung Simbah Putri saya di Kauman, Jogja dan menjadi anggota perserikatan Muhammadiyah. Lalu datanglah Bapak saya, seorang yang datang dari kampung yang seluruh penduduknya Muhammadiyah.

Dari Simbah Kakung saya belajar bahwa Kaum Nahdliyin adalah kaum yang begitu lentur. Berbeda dengan stigma bahwa Kaum Nahdliyin adalah kaum ndeso.

Nahdliyin adalah orang-orang yang paling ulet berdakwah di jalur terdepan, Nahdliyin adalah pintu masuk jalan dakwah di akar rumput. Kyai-kyai Nahdliyin berdakwah sampai desa-desa pelosok, mengajak orang-orang untuk shalat, mengajak orang-orang untuk mengenal Islam.

Peta ini mudah dilihat dari tradisi Nahdliyin, hidup di pedesaan, besar di golongan petani, tergambar dari bagaimana baju orang Nahdliyin, sarungan. 

Kalau anda pernah ikut pengajian Kyai NU, anda akan melihat bagaimana seorang Kyai tidak berbicara yang muluk-muluk. Kyai NU akan bicara dengan bahasa sesederhana mungkin dengan inti pesan yang sama, tunaikan Rukun Islam. Kyai-kyai NU mengajak, bukan memaksa.

Ini juga yang diterapkan oleh Simbah Kakung. Ia tidak memaksa keluarganya menjadi Nahdliyin, Ia membebaskan anak-cucunya memilih. Ia memperlihatkan bagaimana kehidupan Nahdliyin tradisional tapi juga memperbolehkan anak-cucunya melihat bagaimana modernitas Muhammadiyah.

Saya sebenarnya sungguh kagum dengan pemikiran Simbah Kakung tersebut dan rupanya sikap orang-orang Nahdliyin di kampung saya sama dengan pemikiran Simbah Kakung.

Ceritanya begini, pada akhir 1990-an sempat ada isu tentang orang yang berjenggot dan bercelana cingkrang itu sesat. Sementara ada tiga orang tetangga kami yang pulang dari merantau dan kemudian menerapkan syariah, berjenggot dan bercelana cingkrang. Tiga orang tersebut masing-masing berbeda aliran, satu Jamaah Tabligh, satu salafy dan satu lagi tarbiyah.

Apa yang terjadi?

Orang-orang Nahdliyin di kampung kami malah menerima perbedaan dengan tangan terbuka. Tiga orang tersebut juga rutin shalat berjamaah lima waktu di masjid jami di kampung, bahkan selalu di shaf paling depan.

Yang jamaah tabligh bahkan didaulat menjadi muazin karena suaranya merdu dan khatib shalat jumat karena kedalaman ilmunya. Yang salaf malah menjadi guru mengaji di masjid karena bacaan al-qurannya tartil, sementara yang tarbiyah menjadi salah satu dewan takmir masjid dan menjadi tokoh renovasi masjid karena jaringannya yang luas.

Dari dinamika nahdliyin di kampung, Simbah Kakung sebenarnya membukakan mata orang-orang bahwa menjadi nahdliyin garis keras tidak berarti tidak menerima perbedaan.

Sering sekali pengajian di kampung yang memberi ceramah malah ustad Muhammadiyah.

Jika ikut shalat berjamaah di masjid, ada perubahan besar cara orang-orang di kampung saya dalam memakai sarung. Ini bermula dari seringnya interaksi dan diskusi dengan tiga orang yang saya sebutkan tadi, Jamaah Tabligh, salaf dan tarbiyah. Lambat laun orang-orang nahdliyin di kampung mulai mengenakan sarung hingga di atas mata kaki, jarang yang bersarung sampai keser-keser. Bisa dikatakan kalau walau nahdliyin tapi syariah isbal terjaga, sarungan tapi cingkrang.

Pemandangan di atas menunjukkan bahwa sebenarnya orang-orang Nahdliyin adalah orang-orang yang lentur, menerima perbedaan dan mau menerima pelajaran baru. Pandangan tentang kekolotan kaum nahdliyin sebenarnya berbeda jika bersentuhan langsung dengan mereka dalam keseharian.

Pernah tidak sowan ke Kyai NU? Dalam sehari mereka bisa dikunjungi banyak orang, belum lagi mengajar santri-santrinya. Dan sikap Kyai-kyai NU ini sangat egaliter, sangat terbuka, dengan tamunya duduk lesehan sama-sama, guyon akrab, kalau bicara tidak menggurui, sejuk.

Serius ini, sebagai seorang Muhammadiyah saya sangat terkesan dengan sikap para Kyai NU.

Bagi saya NU – Muhammadiyah adalah komplementer, relasi yang saling melengkapi. Nahdliyin bergerak di akar rumput, Muhammadiyah bergerak di kegiatan sosial. Dua jalur dakwah yang membuka pintu eksklusifitas dan membuat dua organisasi ini diterima banyak orang.

Jalan dakwah Nahdliyin inilah yang kemudian menyemai ghirah keislaman sampai ke desa-desa, sampai ke pelosok-pelosok. Kyai-kyai NU-lah yang berhasil menanamkan cahaya Islam dengan bahasa paling sederhana.

Dengan model dakwah seperti pastilah Kyai-kyai NU dicintai banyak orang.

Kembali ke Simbah Kakung, menjadi nahdliyin garis keras seperti beliau ternyata tidak membuatnya buta pada perubahan. Simbah Kakung enteng saja berkunjung ke ustad Muhammadiyah. Pernah suatu ketika Simbah Kakung terkena masalah berat, Ibu saya diminta mengantarkan Simbah Kakung ke teman Ibu ke Ustad Muhammadiyah demi meminta nasehat.

Ada lagi kisah Simbah Kakung yang menyelesaikan masalah keluarga besarnya, sebagai anak tertua Simbah Kakung memilih meminta nasehat tentang aturan syariatnya kepada seorang Ustad Muhammadiyah dan memintanya menjadi mediator. Masalah tersebut selesai sesuai syariat Islam dengan mediator seorang Muhammadiyah, padahal  masalahnya terjadi di antara orang-orang Nahdliyin.

Ini bukan berarti saya mengglorifikasi Muhammadiyah, ini adalah contoh bagaimana hubungan NU-Muhammadiyah adalah hubungan yang saling melengkapi.

Saya belajar banyak tentang relasi ini dari Simbah Kakung dan Simbah Putri sendiri. Bagaimana Simbah Kakung menjadi imam shalat shubuh dan Simbah Putri tetap melakukan qunut. Tapi juga bagaimana Simbah Kakung mengajak saya ke masjid dan menasehati kalau kamu tidak mau qunut gapapa, kamu diam saja.

Bagaimana Simbah Kakung mengajak saya mengaji kitab kuning, mengajak ke Kyai-kyai, ikut ke Watucongol tapi tidak pernah memaksa saya untuk menjadi Nahdliyin.

Saya ingat bagaimana Simbah Kakung dengan rasa bangga memperlihatkan piagam lomba mengaji dan lomba hafalan ayat al quran yang diraih adik saya kepada teman-teman Nahdliyinnya. Padahal lomba tersebut diadakan oleh TPA Muhammadiyah.

Sampai akhir hayat Simbah Kakung memang seorang Nahdliyin, tapi dari mata tegasnya saya tahu pandangannya sebagai Nahdliyin melampaui batas-batas perbedaan. Sebagai manusia, sebagai nahdliyin, Simbah Kakung menjadi contoh bagi saya, keluarga besar dan barangkali menjadi contoh bagi orang lain tentang hablumminannas, tentang bagaimana hubungan baik antar manusia, antar sesama muslim dibangun, dijaga dan dihormati.

Mau tidak mau kita semua harus belajar pada NU dan orang-orang Nahdliyin tentang bagaimana mereka merajut persaudaraan dan membangun pintu-pintu keterbukaan.

Dari Simbah Kakung dan Simbah Putri saya semakin yakin bahwa Nahdliyin adalah penjaga utama kesejukan beragama di Indonesia.

Tabik.

NB : Nama Simbah Kakung saya Muhaji, setelah berhaji Simbah tidak mau dipanggil Pak Kaji. Simbah Kakung yang selalu menasehati saya kalau pakai sarung atau celana untuk sholat harus di atas mata kaki. Wasiat Simbah Kakung sebelum meninggal untuk saya hanya satu “jangan lupa mengaji”.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

30 KOMENTAR

  1. Saya sendiri besar di kampung nahdliyin dan waktu silaturahim hari raya saya masih merasakan banget tentang yang njenengan tulis Mas. Selalu yang diajarkan guru-guru ngaji saya adalah bagaimana merangkul perbedaan dan menjaga kerukunan karena kita hidup di Indonesia.

  2. Saya pernah ke Pulau Adonara, di sana malah satu keluarga, satu atas, bisa berbeda agama. Dan mereka tetap hidup rukun, Mas Farchan. Ya, karena berbeda itu adalah fitrah, seharusnya begitu.

  3. Indah banget ya masa lalu, saling menghargai perbedaan. Berharap jaman skrng semua org kyk gtu, gak saling nunjuk bahwa diri sendiri yg paling baik dan berhak masuk surga 🙁

  4. aku sbnrnya bingung ngebedain 2 aliran ini mas… aku sendiri kalo ditanya aliran apa, ga bisa jwab.. Selama ini belajar islam ga pernah dikelompok2in kalo guruku NU ato muhammadiah … hanya papa sering cerita kalo di kampungnya di sorkam, muhammadiyah lebih kuat pengaruhnya drpd NU.. papa sendiri, aku liat jg ga berkiblat ke aliran mana2 😀

  5. Entah kenapa, habis baca tulisan ini saya jadi merasa terharu. Jauh dari dalam lubuk hati saya berandai-andai. Andai saja bapak yang Muhammadiyah dan ibu yang NU masih bersatu, mungkin saya bisa merasakan kebahagiaan yang serupa seperti di keluarganya simbah kakung dan simbah putrinya mas Farchan NR. Duh duh. Gara2 bapak-ibu sama2 keturunan dari garis keras yang berbeda, akhirnya mereka pun terpisah yang sekalipun saya belom pernah melihatnya bersama. Anyway, thanks banget mas, sudah berbagi cerita di blognya. Saya suka cara mas Farchan NM. menulis di sini. Bikin ketagihan baca. Hehe.

  6. Semua keluarga bapak Muhammadiyah garis keras, sampai-sampai pernah tahu saya Shalat Jum’at di Mesjid NU, atau Shalat ID ikut NU, saya dimarahi berjamaah ketika sampai di rumah.
    Itu dulu waktu zaman SMA.

    Sekarang kalau disuruh begitu juga, yasudahlah nurut saja. Bagi saya Islam Muhammadiyah atau NU sama saja kok, sama-sama Islam. Bukan 2 agama yang berbeda.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here