Almarhum kakek saya dulu sering mengajak saya jalan-jalan ke Muntilan, melewati terminal beliau selalu bilang bahwa dulu disini adalah stasiun besar, tempat kereta berhenti dan ganti loko. Hal yang sama diutarakan almarhum bapak saya yang bercerita dulu beliau jika ke Jogja pasti naik kereta dari stasiun Muntilan. Ibu pun bercerita yang sama, di masa kecilnya ibu sering menginap di tempat budhenya di daerah kawedanan dan setiap sore ibu menanti kedatangan kereta yang melewati daerah pecinan bersama saudara-saudaranya.

Saat saya besar saya hanya tinggal menikmati kenangan jejak-jejak kereta api di wilayah Magelang. Pasca letusan Merapi tahun 1974 jalur kereta api Magelang – Jogjakarta ditutup. sekarang sebagian jejaknya hilang tak berbekas, contohnya di jalur Muntilan – Magelang bekas rel kereta api diangkat, karena korban pelebaran jalan. Padahal dulu semasa SMP saya senang sekali menyusuri jalur rel itu dari Blabak sampai Muntilan, menyeberangi jembatan kereta Pabelan. Lalu stasiun Blabak, satu-satunya stasiun pulau di jalur Magelang – Jogja yang sekarang bangunannya sudah hilang demi pelebaran jalan.

Romantisme kereta api di tempat saya tinggal mengusik saya, saya sampai membayangkan betapa menyenangkannya jika sampai sekarang jalur kereta api itu masih hidup. Tentunya akan ada kereta komuter serupa Pramek dengan rute Magelang – Jogjakarta, memudahkan para pelejar, pekerja dan mahasiswa lintas 2 kota tersebut. Atau saya membayangkan jika kereta masih ada, maka saya tidak perlu susah-susah saat kuliah di Jakarta, cukup naik kereta dari Stasiun Blabak.

untuk membangkitkan romantisme sejarah kereta api itulah, saya sengaja mengajak adik-adik saya untuk mengenal sejarah perkereta-apian di Jawa Tengah di Museum Kereta Api Ambarawa. ikut juga Kana, sahabat saya dari Jepang yang sedang ikut dalam program konservasi candi Borobudur. Dulu sekali saat saya masih SD dan adik saya masih bayi, sebenarnya bapak dan ibu saya pernah mengajak saya dan adik kesini, lalu kami sekeluarga naik kereta kecil melewati jalur kereta api yang tersisa.

Saat berkunjung sekitar September 2011 lalu museum kereta api Ambarawa ini sedang bersolek. kepedulian PT KAI terhadap stasiun yang dulu bernama Stasiun Willem I dan dibangun sekitar tahun 1873 ini patut diacungi jempol. Mereka akan mempercantik bangunan yang masih terjaga arsitekturnya ini, sehingga pengunjung bisa menikmati sejarah perkereta-apian di Jawa.

seusai membayar tiket masuk, saya segera mengajak adik-adik berkeliling di sekitar museum. bekas stasiun ini masih menakjubkan dan tampak megah. lantai keramiknya yang orisinil serta ruangan-ruangannya yang masih terawat meninggalkan jejak sejarah yang kuat dan bukti kejayaan kereta api di masa lampau. saya membayangkan deru kereta api yang melewati jalur ambarawa ini, lalu di stasiun penuh hiruk pikuk manusia yang ingin naik kereta, atau para pedagang yang menjajakan dagangannya di stasiun. Pun dengan romansa kisah-kasih manusia yang mungkin tertoreh dalam kenangan di stasiun ini.

Saat itu tak ada petugas museum yang tampak, satu-satunya yang saya temui hanya petugas keamanan, mungkin karena masih dalam tahap perbaikan museum, bahkan loket masuk pun tak ada penjaganya. itulah mengapa saya membayar tiket masuk sekaligus tiket parkir di depan. Kondisi perbaikan ini juga membuat tour kereta api uap Ambarawa – Bedono  dihentikan sementara sampai perbaikan museum selesai dilaksanakan.

Adik-adik saya segera berlarian ke penjuru museum, menaiki lokomotif – lokomotif uap yang menyebar di museum, menaiki gerbong-gerbong kayu bersejarah. Kana sibuk memfoto setiap sudut museum, sementara saya memilih mengamati arsitektur stasiun era kolonial ini. Entah kenapa, memang sudah kebiasaan saya yang senang mengamati bangunan-bangunan kuno di setiap tempat yang saya kunjungi.

namanya museum Kereta Api, disini tersimpan koleksi tentang kereta api dari era 1800-an, sejak pertama kali kereta api masuk di tanah Jawa. terdapat lokomotif-lokomotif uap yang dipajang dan bahkan ada beberapa yang masih dioperasikan sebagai kereta wisata, jalur Ambarawa – Bedono. selain itu terdapat gerbong-gerbong tua, gerbong penumpang dan gerbong pembawa kayu untuk bahan bakar kereta.

Di beberapa ruangan masih terdapat furniture-furniture kuno dan handel-handel mekanis penggerak sistem operasi di stasiun di zaman itu, sayangnya ruangannya terkunci. saya tidak bisa masuk dan melihat dari dekat mesin apakah itu. Ada satu ruangan tidak terkunci yang akhirnya bisa saya masuki, disitu ada telepon kuno dan foto-foto stasiun Ambarawa di era kolonial. terdapat juga keterangan mengenai sejarah keberadaan stasiun ini, cukuplah bagi saya yang ingin mengetahui lebih banyak tentang stasiun ini.

Sambil menunggu adik – adik saya dan Kana, saya memilih untuk duduk di peron stasiun. semilir angin membuat saya sedikit mengantuk. seingat saya dulu di peron ini banyak penjual cinderamata, rupanya sekarang sudah disterilkan dan tidak diperbolehkan berjualan, sisi positif dari perbaikan pengelolaan museum.menjelang ashar baru saya ajak adik-adik saya dan Kana untuk pulang, itupun karena saya sudah diberitahu petugas keamanan bahwa jam kunjung sudah hampir habis. Wisata sejarah kali ini cukuplah mengobati kerasaingintahuan saya tentang romantisme kereta api di masa lalu.

semua foto oleh : Kana.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

4 KOMENTAR

  1. nah pas dulu SD sama bapak, ibu, kiki dulu sempat ngrasain naik keretanya itu sampe Bedono.
    kemaren juga pas libur lebaran kog kesananya, cuma masalahnya museumnya lagi direnovasi ulang, jadi keretanya memang ga dioperasikan jon.. 🙂

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here