Ada beberapa kampung/desa adat yang pernah saya kunjungi, dengan berbagai macam kekhasannya masing-masing. Pada setiap perjalanan ke kampung adat, bukan hanya sekedar mendapatkan pengalaman lebih, tapi saya selalu mendapatkan pelajaran dari petuah-petuah yang sangat filosofis.

Atas dasar untuk mendapatkan pengalaman dari kearifan-kearifan lokal, maka saya dan putri beberapa waktu lalu menuju Kampung Naga di daerah Salawu, Tasikmalaya. Kampung ini sudah cukup terkenal sebagai kampung adat di kawasan Jawa Barat diantara beberapa wilayah adat lain seperti Baduy, Kampung Pulo dan sebagainya.

Kontur kampung naga sangat menarik, terletak di lembah yang dikelilingi perbukitan sebagai benteng alami. dan berada tepat di tepi sungai yang menjamin ketersediaan air sepanjang tahun.Untuk mencapainya mudah, dari arah Jakarta bisa menggunakan bus Jakarta – Singaparna via Garut dan bisa langsung turun di gerbang kampung di Salawu.

__

Gerbang

 

Lembah Naga

 

Ada beberapa versi sejarah Kampung Naga yang dikemukakan namun semuanya belum diketahui kebenarannya. Selama ini masyarakat Kampung Naga bersikap menghormati pendapat tentang sejarah Kampung Naga, tidak mengiyakan namun juga tidak menolak karena bisa jadi pendapat itu benar, tapi juga bisa jadi salah. Sejarah Kampung Naga tidak diketahui lagi keberadaannya karena pada saat pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat mereka menyerbu Kampung Naga dan membakar semua arsip-arsip tulisan dari leluhur Kampung Naga. Selain arsip-arsip yang memuat sejarah leluhur Kampung Naga, pasukan DI/TII juga membakar kampung dan menyebabkan banyak korban. penduduk Kampung Naga tercerai berai dan baru beberapa tahun kemudian kembali membangun kampung. Karena hal itulah maka hilang satu fragmen sejarah penting yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Penyerbuan ini terkait sikap penduduk Kampung Naga yang bersikap menaati pemerintah yang sah,ย  yang pada saat itu berarti pemerintahan republi, sementara pihak DI/TII meminta mendukung pemerintahan DI/TII yang ingin mendirikan negara islam.. yang pada saat itu berarti pemerintahan republik. sikap ini dipegang hingga sekarang, bahwa pemerintah adalah pihak yang harus dihormati dan ditaati selama aturan yang dibuat pemerintah tidak melanggar aturan adat, norma-norma dan agama.

Kampung Naga

 

Kampung Naga

Secara statistik disini ada 108 kepala keluarga dan total 307 penduduk. ada 113 bangunan di dalam struktur Kampung Naga yang terdiri dari rumah, masjid, balai pertemuan dan lumbung padi. Rumah-rumah disini sangat teratur dan memperhatikan alam. Rumah didirikan dengan memperhatikan arah angin, semua rumah dibuat membujur dari barat ke timur sementara pintu dibuat menghadap utara selatan. Kemudian rumah ditata dengan rapi dimana semua rumah dibuat berhadap-hadapan, bagian depan rumah berhadapan dengan rumah lainnya. sementara bagian belakang juga saling memunggungi satu sama lain.

Terkait dengan pengaturan itu. Bagian muka depan rumah yang saling berhadap-hadapan didasari kerukunan, dimana dengan rumah yang berhadap-hadapan akan terjadi hubungan saling menghormati, saling tegur sapa dan hal ini yang secara otomatis akan merekatkan hubungan sesama warga Kampung Naga. Penatannya rapi, seperti dibuat garis lurus yang teratur. Di beberapa titik terlihat cekungan panjang yang berfungsi sebagai drainase untuk mengalirkan tumpahan air.

Bangunan rumah dibuat dari alam dan menyatu dengan alam. Atap rumah dari rumbai dan dinding dari kayu serta berwarna putih. Pondasi rumah ini sudah dibuat pakem sejak zaman leluhur dimana batu dibuat sebagai landasan rumah, bukan pondasi yang ditanam di bawah tanah. Namun justru pondasi ini kuat dan terbukti tahan gempa. Bagian pondasi yang dilekatkan di batu landasan tadi membuat rumah fleksibel saat diterjang gempa. Buktinya adalah saat gempa tasik beberapa tahun lalu, tidak ada rumah di Kampung Naga yang rusak karena gempa.

Selain itu mereka juga mengatur bahwa kandang binatang dan jamban harus diletakkan di luar kampung. Sehingga penduduk tidak terganggu, namun ada satu binatang yang boleh berkeliaran di dalam kampung, yaitu ayam. Ayam diperbolehkan berkeliaran di kampung karena ayam adalah predator bagi rayap yang bisa menyerang kayu-kayu struktur rumah. Sehingga penduduk kampung tidak memerlukan obat hama untuk membasmi rayap. cukup simbiosis mutualisme dengan ayam-ayam tadi.

Tidak ada pembatasan jumlah rumah di Kampung Naga, tidak seperti yang saya temui di beberapa kampung adat lain. Tetua Kampung tidak mau membatasi, penduduk dipersilahkan mendirikan rumah jika memang ingin mendirikan. Namun disini alam menjadi pembatas alami. Jadi alam lah yang membatasi jika ingin mendirikan rumah. Kontur Kampung Naga sendiri yang menjadi batasan. Bukan manusianya yang membatasi, tapi alam. Sehingga dengan alam yang membatasi tadi, manusia juga ingat batasan sehingga tidak merusak alam.

Penataan Rumah
Penataan Rumah yang saling berhadapan.

 

Struktur Fondasi Tahan Gempa.

Di bagian tengah Kampung terdapat pusat aktivitas. Dimana terdapat semacam tanah lapang luas semodel alun-alun. Di pusat itulah ada masjid dan balai pertemuan warga. Penduduk Kampung Naga seluruhnya beragama Islam. dan Islam menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan menjadikannya selaras dengan kearifan lokal. Jadi kehidupan disana selaras dengan alam dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Masjid di pusat tadi pun tak lepas dari nilai-nilai tersebut. Memiliki 5 jendela melambangkan rukun Islam serta memiliki 3 tiang utama yang melambangkan Islam, Ikhlas dan Ikhsan. yang oleh penduduk Kampung Naga 3 hal tadi diterjemahkan sebagai Lampah, Laku dan Ucap. Di masjid ini pula ibadah dilakukan oleh warga dan pendidikan Islam untuk anak-anak dilakukan, ada Madrasah Diniyah rutin setiap minggunya.

Di luar masjid punย  terdapat tempat wudhu yang airnya terus mengalir. Bukan kolam seperti beberapa masjid tradisional yang pernah saya temui. Hal itu bagi saya merupakan wujud perwujudan dari perintah bahwa berwudhu harus dilakukan engan air yang mengalir. Betul-betul penerapan Islam yang selaras dengan kehidupan di Kampung Naga.

Balai-balai menjadi tempat pertemuan warga untuk bermusyawarah dan merumuskan permasalahan serta menentukan hal-hal penting terkait kehidupan di Kampung Naga. Selain itu balai-balai juga menjadi tempat untuk menjamu tamu yang datang berkunjung. Seperti saat berkunjung lalu balai-balai dijadikan tempat menjamu rombongan dari Jakarta yang ditemui langsung oleh Pekuncen/pemimpin Kampung Naga.

Pusat Kampung Naga

 

Masjid

 

bagian dalam balai-balai

Saat sedang berkunjung, suasana kampung sedang sepi karena penduduk sibuk di sawah, karena sudah mulai musim panen.Sepanjang jalan menuju Kampung Naga memang yang saya lihat adalah padi yang menguning. dan tampah bulat besar yang dijejer – jejer untuk menjemur padi.

Penduduk disini memang menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Musim tanam padi disini ada pada bulan Januari dan Juli. Penanaman padi ditanam serentak, bersamaan. Alasan ini untuk menghindari hama, jadi ditanam bersamaan dan dipanen bersamaan sehingga tidak memungkinkan perkembangan hama yang akan muncul jika penanamanย  padi tidak serentak. Padi yang ditanam merupakan padi lokal yang bernama padi jamblang. Padi ini memiliki banyak kelebihan, diantaranya cocok untuk penderita diabetes.

Kemudian sekitar bulan Mei semua penduduk serentak melakukan panen padi. Sehingga ada masa sela bulan Juni sebelum mulai lagi masa tanam di bulan Juli. nah di bulan Juni ini tidak ada penanaman sehingga hama secara otomatis mati karena tidak mendapatkan makanan. Prinsip mereka adalah tidak membunuh hama, tapi menghindari hama. Jadi penduduk lokal menanam dan menanam serentak untuk menghindari hama tersebut.

Hal ini terkait dengan nilai yang mereka percaya bahwa dalam islam tidak ada makhluk Alloh yang diciptakan sia-sia. itulah kenapa mereka tidak membunuh hama, selain itu juga untuk mengatur keseimbangan. karena jika hama dibunuh maka akan terjadi ketimpangan ekosistem dan rusaknya rantai makanan. Hal itulah yang mendasari kenapa penduduk Kampung Naga tidak membunuh hama, namun cukup dengan menghindarinya.

Penduduk Kampung Naga juga memiliki 3 lumbung padi utama untuk menyimpan padi hasil panen. Jadi setiap panen, masing-masing penduduk menyimpan sebagian padinya di lumbung ini. Hal ini rupanya sudah dipikirkan sejak dulu oleh para leluhur kampung, Lumbung ini adalah cadangan pangan untuk seluruh penduduk kampung, sehingga saat ada paceklik penduduk Kampung Naga tidak kekurangan bahan pangan. Sebuah kearifan lokal tentang konsep ketahanan pangan yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun. oleh sebab itu pendamping saya selama di Kampung Naga mengatakan tidak pernah ada bencana kelaparan disini sejak dulu. Sebab konsep ketahanan pangan sudah dipikirikan dengan baik.

Jemur Padi
Padi Menguning
Semua penduduk bergotong royong
Menumbuk Padi

Penduduk Kampung Naga juga menolak Kampung Naga menjadi tempat wisata. mereka tidak mau dieksploitasi karena mereka sudah punya tatanan hidup yang sudah dijalankan ratusan tahun. Mereka tidak mau diganggu kegiatannya dijadikan tontonan wisatawan. Namun mereka memperbolehkan tamu datang oleh bersilaturahmi dan berinteraksi. Pengunjung diperbolehkan menginap, namun ada batasan. yang diperbolehkan menginap adalah mereka yang bersatatus/mahasiswa dan atas seizin Pekuncen/Tetua Kampung.

Aturan disini juga luwes. Penduduk Kampung Naga mempersilahkan anak-anak mereka bersekolah setinggi mungkin. namun kadang hambatannya adalah ketidakmampuan biaya karena sekolah yang mahal. Dalam hal perkawinan pun setiap penduduk dibebaskan menikah dengan siapa saja, tidak harus satu suku atau satu daerah. Silahkan setiap penduduk Kampung Naga baik laki-laki atau perempuan menikah dengan siapapun asalkan ada satu syarat yang harus dipenuhi. Yaitu kedua mempelai haruslah muslim.

Masih banyak aturan-aturan lain, namun pendamping saya bertutur bahwa di Kampung Naga bertutur bahwa di sini “ada banyak larangan, sedikit aturan” karena dengan menaati larangan maka aturan akan timbul dengan sendirinya. menurut beliau inilah yang membedakan dengan pemerintah, yang “banyak aturan, sedikit larangan”. nilai-nilai sederhana namun kaya makna inilah yang membuat saya kagum dengan prinsip hidup penduduk Kampung Naga.

Filosofi penduduk Kampung Naga membuat saya terkesan. Kearifan lokal dipadukan dengan tatanan hidup yang sesuai nilai-nilai Islam membuat kehidupan disini selaras. Masyarakat Kampung Naga memiliki pegangan nilai-nilai hidup yang tidak ternilai. Sebuah sikap hidup yang dipertahankan selama ratusan tahun dan membuat para penduduk Kampung Naga sangat bijaksana dalam menyikapi kehidupan. Sungguh pengalaman yang luar biasa bagi saya.

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

12 KOMENTAR

  1. wuuiiihhh jelas lengkap… ๐Ÿ˜€ pengetahuan baru bagi saya yang padahal juga pernah ke sana tapi malah lengkap memperoleh informasi saat membaca blog ini ๐Ÿ™‚ makasih

  2. permisi numpang nanyaa…
    ada cp yg bisa dihubungi klo saya mau menginap di kampung naga?
    terimakasih utk jawabannya ๐Ÿ™‚

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here