Menurut seorang Maslow, makan adalah kebutuhan paling dasar yang harus dipenuhi oleh Manusia. Oleh itu bersama dengan minum, sex dan kebutuhan ragawi lainnya, Maslow meletakkan di level paling dasar piramida yang dibuatnya. Oleh sebab itu manusia secara umum sudah cukup dengan makan kenyang, asal sudah kenyang ya sudah, urusan enak tidak enak bisa jadi belakangan. Itu seperti yang saya alami, sebagai seorang Jawa saya dibesarkan dengan harus makan nasi, menghabiskan makanan yang terhidang dan makan sampai kenyang. Itulah kenapa saya menjadi orang yang impulsif dengan makanan, ketika lapar maka yang terbayang di otak adalah “nasi” saat sudah kenyang sudah. Jadi saya bisa makan dimana saja, kenyang nomer satu, urusan rasa soal nomer sekian.

Tapi pikiran itu mulai tidak sejalan sejak saya mengenal Sumber Hidangan, sebuah restoran tua di Braga yang berdiri sejak Tahun 1929 dan masih terus menghidangkan citarasa Belanda hingga sekarang. Sumber Hidangan menghancurkan logika saya bahwa makan itu soal kenyang, karena di sumber hidangan saya diajari makan kenyang, enak dan tanpa nasi dalam satu paket porsi makanan yang saya pesan.

Sejak awal mengenal Sumber Hidangan saya sudah kagum dengan restoran ini, restoran macam apa yang mampu bertahan dari tahun 1929, era dimana Soekarno baru saja ditangkap dan dimasukkan ke Sukamiskin, sampai sekarang ini, era dimana bahkan putri dari Soekarno pun sudah lengser dari tampuk kepresidenan. Berarti ada kekuatan di Sumber Hidangan yang mampu menjaganya kukuh hingga sekarang ini. dan rahasia itu tidak hanya satu, tapi banyak kekuatan.

Bisnis kuliner sekarang ini memang menggurita, mau makanan jenis apa saja ada, mau yang haram mau yang halal, mau yang dingin mau yang panas, semua ada. Terkadang memang terlihat variatif, tapi kejam juga, mereka yang mau sukses harus terus berinovasi jika tidak akan lapuk ditelan zaman. Walaupun begitu bisnis kuliner adalah bisnis yang menyelamatkan nasib jutaan manusia, memenuhi kebutuhan dasar sekaligus mencegah kejahatan. Kenapa? karena konon kejahatan dimulai dari perut bukan?

Jika diamati sekarang ini, banyak sekali bentuk restoran dengan berbagai macam variasinya, semua berlomba berdandan elok dan gemerlap demi mengundang pelanggan datang. Tapi Sumber Hidangan hingga sekarang ini menolak pakem tersebut, Sumber Hidangan sekarang adalah Sumber Hidangan tahun 1929, apa adanya ya dari dulu begitu. Gedung tua dari era Belanda masih kukuh hingga sekarang dengan langit-langit tinggi dan kolom-kolom lebar. Lampu-lampu gantung yang berornamen cantik, mesin kasir tua dan besar di meja kasir, sedikit mengintip ke dapur yang khas dapur jaman dulu. Benar – benar nuansa kuno tanpa dibuat-buat, karena memang kuno.

Mempertahankan kekunoan butuh usaha yang maha besar. Tidak seperti banyak restoran sekarang ini yang membuat nuansa kuno, Dengan gedung yang menyewa bangunan kuno, interior dibuat seolah kuno, pramusaji yang berbaju seperti era pramusaji jaman kolonial sampai menu yang ditulis dengan ejaan lama untuk memunculkan kesan kuno. Tapi sayang seribu sayang, begitu pesanan datang yang datang adalah makanan modern, suasananya saja yang kuno, makanannya modern. Jadi restoran seperti itu membuat saya bingung, saya hanya menikmati kekunoan suasana, interiornya tapi menyantap makanan yang serba modern. Jiwa kuno ini tidak ada di makanan yang menjadi jualan utama sebuah restoran. Mungkin lama-lama lebih baik restoran dengan suasana kuno itu mengganti nama menjadi toko barang antik dengan tambahan menjual sedikit makanan.

Sumber Hidangan bukan restoran macam itu, apa yang dijual di Sumber Hidangan adalah apa yang dijual di tahun 1929. Tanpa membuat kesan kuno, Sumber Hidangan sudah kuno. Ruh kekunoan pun menyergap ke hidangan yang ditawarkan yang dipertahankan sejak restoran itu buka, dengan menu berbahasa Belanda, dengan resep yang dipertahankan dari jaman Belanda, dengan alat-alat masak kuno. Dengan hal-hal itulah Sumber Hidangan melawan kemajuan zaman, dengan semangat masa lalu, bertahan dengan resep yang sama sejak tahun 1929. Jadi jika pengunjung masuk ke Sumber Hidangan maka pengunjung tidak akan terjebak di Toko Barang Antik yang menjual makanan, namun akan dibawa ke era 1929, semacam perjalanan menembus waktu menuju masa lalu. Setiap gigitan adalah satu tahun mundur ke belakang, dan jika sudah selesai menyantap makanan maka pengunjung sudah selesai melakukan perjalanan nostalgia ke masa lalu tanpa perlu repot-repot melalui mesin waktu. Dan dijamin pengunjung akan berusaha kembali untuk menikmati perjalanan ke masa lalu yang sungguh menyenangkan itu. Jika ingin menikmati suasana kuno maka Sumber Hidangan adalah tempat yang cocok, seluruh paket komplit kekunoan yang jujur tanpa dibuat-buat yang masih bisa ditemui sekarang ini.

Wujud kesederhanaan Sumber Hidangan juga adalah kekuatan mereka untuk bertahan, para pramusaji di Sumber Hidangan tidak berseragam seperti restoran megah lainnya, tidak cantik seperti pramusaji di mall-mall. mereka adalah bapak-bapak dan ibu-ibu yang berusia sekitar 40 tahun ke atas. ibu-ibu di bagian bakery bahkan memakai baju biasa saja dengan tambahan celemek besar. sementara Bapak di restonya hanya memakai jubah serupa jubah dokter tetapi berwarna biru muda. Para pegawai di Sumber Hidangan hilir mudik sambil bercengkerama satu sama lain, pelanggan pun seolah dilibatkan dalam kesibukan mereka. Ibu-ibu ini seolah masih anak muda berusia belasan, mereka cekatan sekali melayani pembeli. Sementara bapak di restoran pun hanya sendirian melayani pelanggan, mencatat menu, mengantar pesanan, sekaligus menjadi kasir. Kalau saya Mario Teguh maka saya akan hampiri dia, saya tepuk bahunya dan saya ucapkan “anda super sekali pak…” tulus dari hati terdalam. Display nya pun apa adanya, sedikit kusam bahkan. Kontras dengan toko roti yang terletak persis di depan Sumber Hidangan yang penuh lampu dan display yang mewah. Kesederhanaan menjadi bukti bahwa segala sesuatu yang enak tidak perlu ditampilkan dengan mewah, justru dari kesederhanaan akan muncul sesuatu yang lezat.

Hal lain yang bisa memutar balikkan logika adalah soal harga di Sumber Hidangan. Mungkin wajar jika makanan enak harganya mahal, dan itulah fenomena umum yang terjadi sekarang ini. Jika mau enak, ya bayarlah lebih. Dan konsumen pun tak segan membayar mahal, jika memang enak. Tapi semua dipatahkan di Sumber Hidangan. Menu termahal di Sumber Hidangan adalah Wiener Schnitzer seharga 29.000 rupiah, mungkin bisa sepertiga harga menu serupa dengan restoran lain yang menjual menu serupa. Wiener disini enak sekali, dagingnya tidak alot, digoreng kering, dengan telur mata sapi dibagian atas dan saus manis yang lezat. Murah tapi enak, dan saya pun tetap ikhlas jika dibanderol lebih dari itu, wong nyatanya itu memang enak. Untuk satu risoles yang krimnya begitu lembut meleleh di lidah dan kelezatannya membuat saya melayang hanya dibanderol 6.000 rupiah. Eskrimnya apalagi, satu cup eskrim dibanderol 7.000 sampai dengan 12.000 -an, bisa separuhnya dari es krim di kedai es krim Italia di Jakarta. Apakah mereka tidak rugi? saya tidak tahu, tapi jika rugi pasti mereka tutup dari dulu. Saya hanya menduga mungkin dengan harga itu maka Sumber Hidangan berniat membagi kebahagiaan dengan masyarakat banyak untuk mencicipi masakan enak dengan harga terjangkau.

Dengan hal-hal itu tadi Sumber Hidangan bertahan melewati zaman dan terus menjual hidangan berkualitas tinggi. Sekilas saya teringat dengan novel Madre karena visualisasi toko roti yang mirip sekali dengan Sumber Hidangan, entah mungkin Dewi Lestari memang terinspirasi dari sini, saya tidak tahu. Saya tanyakan di twitter tidak dijawab. Tapi sudahlah, saya sangat menikmati suasana disini, dan saya rasa pengunjung lainnya juga. Tak sedikit pengunjung yang keluar dari toko dengan senyum bahagia. Para pengunjung restoran juga menikmati sekali hidangannya, bukti bahwa Sumber Hidangan memang resto berkelas.

Saya sudah cukup terhenyak dengan rasanya yang enak ditambah lagi saya kaget karena harganya yang sangat sesuai dengan kantong saya, saya menikmati Sumber Hidangan sambil membayangkan bagaimana Noni dan Tuan Belanda menikmatinya hampir satu abad yang lalu. Dan dari sini saya mulai sedikit menghindar dari apa yang dikatakan Mahaguru Maslow, bahwa makan tak cukup hanya terpenuhi, makan tak cukup dengan kenyang, tapi makan juga harus enak dan bisa membuat bahagia. Dan bisa jadi makan tak hanya semata kebutuhan fisik, tapi bisa kepuasan jiwa. Saya rasa saya sudah menjadi pelanggan tetap restoran legendaris ini, Sumber Hidangan.

ps : saya amati toko roti di depan Sumber Hidangan yang modern justru sepi pengunjung, sementara di Sumber Hidangan pengunjung datang dan pergi.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here