Hati saya sangat lega saat saya melewati gerbang imigrasi dimana cap imigrasi Singapura untuk pertama kalinya tertera di paspor saya yang masih kosong. bagaimana tidak? saya seorang indonesia, bernama arab, berjenggot lebat dengan tipikal mirip teroris, hanya kurang sorban. Saya akan sangat khawatir apabila tidak bisa memasuki Singapura, negara luar negeri yang saya datangi untuk pertama kali. Apalagi teman-teman ACI 2011 justru semakin membuat saya paranoid bahwa saya tidak akan bisa masuk Singapura.

Katakanlah saya kolot, disaat yang lain sudah berulang kali ke luar negeri, saya baru sekali ini. memang saya dulu seorang yang keras hati bahwa harus lebih dulu keliling Indonesia dan mencibir mereka yang gemar keluar negeri. Tapi toh, waktu berlalu dan banyak teman menasehati, kedua hal itu yang mendewasakan saya bahwa sekarang saya sadar dunia tak hanya indonesia. Saya perlu membuka mata bahwa dunia di luar sana pun luas dan perlu dijelajahi.

Kesan pertama saat memasuki Singapura adalah “teratur”. Begitu kapal merapat di Harbourfront yang saya lihat adalah keteraturan. Gedung yang bersih, antrian yang rapi dan aturan yang tegas. Keteraturan ini sepertinya sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Singapura.

Singapura pernah mengalami masa-masa sulit setelah dilepaskan oleh Inggris. Ditolak oleh Federasi Melayu dan akhirnya berdikari sebagai sebuah negara sendiri. Pada 1959 Lee Kuan Yew mengambil alih tampuk pimpinan Singapura dan menjadi seorang Perdana Menteri yang sangat dikagumi. PM Lee memajukan Singapura dengan membangun rakyatnya, membuat karakter Singapura menjadi negara yang maju seperti yang kita lihat sekarang ini.

Hal sederhana yang saya rasakan adalah saya tidak perlu berjubel antri saat membeli tiket MRT. Semua serba otomatis, kemudian saya juga tidak perlu dorong-dorongan saat memasuki MRT, sudah ada jalurnya. Sebelah kiri dan kanan pintu adalah jalur antrian masuk sementara di tengah adalah jalur keluar dari MRT. Selain itu saya tidak perlu dibalut kekhawatiran ketinggalan MRT, karena jadwal terpampang jelas dan tepat waktu. MRT sendiri berlokasi di tempat-tempat yang strategis. Terintegrasi dengan pusat perbelanjaan, pusat keramaian ataupun tempat wisata.

Kemudian saat saya dan teman-teman ACI 2011 berjalan-jalan sepanjang jalan Bugis sampai Arab Street. Saya tidak menemukan pedagang kaki lima yang memakan pedestrian. Kemudian lalu lintas yang sangat lancar bahkan cenderung lengang. Jalan yang luasnya mungkin sama dengan landasan pesawat terbang serta sangat bersih, bebas dari sampah. Plus saya tidak perlu khawatir saat menyeberang, saya bisa melenggang dengan bebas.

Saya tidak melihat ada yang membuang sampah sembarangan di Singapura, dendanya besar. Jika dikurskan ke rupiah bisa sekitar 3,5 juta rupiah. CCTV pun ada dimana-mana, jadi jangan harap bisa sembunyi-sembunyi. Rokok pun demikian, banyak sekali larangan merokok apalagi di public area.  Sepertinya Singapura benar-benar memerangi rokok, selain dengan larangan tersebut, harga sebungkus rokok pun mahal. Sekitar 70 – 100 ribu rupiah.

Kebersihan mungkin menjadi hal yang sangat diperhatikan disini. Ternyata selain warganya yang disiplin untuk tidak membuang sampah sembarangan, tenaga kebersihan disini pun bekerja hampir sepanjang waktu. Saya mencatat setidaknya saya bertemu petugas kebersihan yang menyapu jalanan itu siang hari saat berjalan-jalan di Bugis, kemudian tengah malam saat pulang ke hotel dan pagi hari saat saya berjalan-jalan di sekitar hotel.

Etos kerja warga Singapura pun tinggi. Derap langkah mereka cepat, apalagi saat berangkat kerja. Kemudian warga Singapura terlihat sangat mendayagunakan energinya untuk bekerja. Tak jarang saya bertemu kakek/nenek berusia lanjut yang masih menjajakan tisu atau es potong. Saya merasa kasihan, bagi orang Indonesia mungkin sudah budaya untuk tidak membiarkan orang lanjut usia untuk bekerja. Namun mungkin di Singapura, orang lanjut usia masih ingin membuktikan bahwa tenaga mereka masih berguna.

Selain serba keteraturan, saya merasakan aroma nostalgia disini. Untuk pertama kalinya sejak 15 tahun yang lalu akhirnya saya kembali merasakan naik bus tingkat. Saya lahir di Klaten, dan dulu semasa kecil hingga SD bapak sering mengajak saya ke Solo hanya untuk merasakan naik bus tingkat. Sayang dulu bus tingkat dihapus dari Solo dan saya tidak pernah naik bus tingkat lagi sampai kemarin saat di Singapura.

Bus disini terintegrasi dengan MRT, sehingga akses transportasi umum sangat mudah dicapai. Terdapat jalur bus yang memisahkan dengan kendaraan biasa, tidak ada separator namun para pengguna jalan pun tidak ada yang melanggar jalur tersebut.

Halte-halte dibuat dengan interval yang tidak terlalu jauh sehingga tidak terlalu melelahkan jika ingin dicapai dengan berjalan kaki. Di setiap halte terdapat informasi bus dan jalur yang dilewati, serta estimasi kedatangan bus. Sistem ini sangat memudahkan penumpang yang ingin menggunakan transportasi umum.

Saya merasakan keteraturan ini adalah kunci kesuksesan Singapura. Ada hal sederhana yang menjadi pikiran saya, yaitu dengan adanya sistem transportasi yang tepat waktu, masyarakat tidak perlu khawatir terjebak kemacetan, sehingga bisa berangkat kerja tepat waktu tanpa dihantui kekhawatiran, sehingga pada saat kerja mereka bisa bekerja dengan tenang dan ujung-ujungnya produktivitasnya tinggi. Hal ini berimbas kepada percepatan perekonomian Singapura.

Tapi, setiap kota atau negara pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Di Singapura walaupun teratur saya merasakan monoton, bosan dan kaku. Entah sepertinya kotanya tidak dinamis. Tapi saya juga tidak bisa mendiskripsikan dengan jelas. Yang saya rasakan begitu, kaku, monoton, itu-itu saja. Walaupun begitu setidaknya saya bisa belajar banyak dari Singapura, belajar dari informatifnya mereka menginformasikan negaranya, belajar dari ketertiban dan kemauan menjaga ketertiban, serta belajar menjaga komitmen untuk selalu mematuhi peraturan. Terimakasih Singapura!

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

12 KOMENTAR

    • iya..
      memang ndak bisa apple to apple. Indonesia luasnya minta ampun..haha..
      wah. bisa jadi target kunjungan nih ke Singapur, kebetulan mau kesana lagi.
      suwuns kin. 🙂

  1. “mendewasakan saya bahwa sekarang saya sadar dunia tak hanya indonesia”

    setuju. meski aku jg baru sekali ke LN, sih. tp seenggaknya uda pernah lah, dan aku pun ikut mengamini seperti yg byk org bilang klo ke LN malah bs melecutkan semangat cinta tanah air.

    🙂

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here