Singapura, sebuah negara yang teratur yang membuat saya terkesima karena keteraturannya memiliki banyak hal unik dan baru yang menjadi pelajaran yang amat berharga bagi saya. Salah satu yang membuat saya tertarik adalah banyaknya lansia/manula/kaum sepuh yang masih semangat untuk bekerja. Ada apakah?

Dari kebingunan, akhirnya menjadi ketertarikan tersendiri. Karena saya menemui para sepuh yang bekerja dengan semangat itu di sudut-sudut Kota Singapura. Banyak sekali, ada yang menjual tissue, ada yang menjual es potong (ini favorit saya, es potongnya uenak), ada yang menjadi petugas di Bandara, ada yang menjadi kasir di restoran dan banyak lainnya.

Sebagai orang Jawa tentunya saya merasa kasihan. Kog orang-orang tua ini masih dibiarkan bekerja, dimana anaknya? apakah tidak ada yang menghidupi mereka? sampai-sampai orang se-sepuh itu masih dibiarkan bekerja. Di mata saya, yang dibesarkan dalam prinsip orang Jawa orang tua yang memasuki usia purna seyogyanya istirahat di rumah dan dirawat oleh anaknya, sebagai dharma bhakti sang anak kepada orang tuanya, fakta di Singapura tersebut cukup membuat saya keheranan.

Rupanya ada perbedaan sudut pandang antara saya sebagai orang Jawa dan orang Singapura. Penghargaan terhadap para lanjut usia adalah dengan mempersilahkan para sepuh tersebut untuk berkarya. Bahkan teman seperjalanan memberitahu bahwa di Singapura ada peraturan yang memerintahkan semua perusahaan agar menerima para lansia dan difabel untuk bekerja.

Dengan berkarya di usia lanjut, mereka merasa dihargai. Kemudian memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dan mandiri, tidak bergantung kepada orang lain. Para sepuh itu juga bisa bersosialisasi dan menjadi bagian dari masyarakat, tidak merasa tersisihkan dari masyarakat. Masyarakat juga menghargai mereka, menghargai kerja keras yang dilakukan dan akan berterima kasih kepada mereka.

Apabila direnungkan, ada benarnya juga. Menilik yang terjadi di Indonesia, seusai masa pensiun para lansia terkadang sudah dianggap tidak produktif. Banyak yang lalu diam di rumah, bahkan ada yang dimasukkan ke Panti Jompo, seolah mereka sudah tidak sanggup berbuat apa-apa. Atau anaknya tidak mau mengurus mereka lagi.

Bangsa Singapura menghargai para sepuh dengan cara lain. Menghargai dengan memperbolehkan mereka berkarya di masa tuanya, menghargai dengan memberi ruang untuk mengambil bagian di tatanan masyarakat. Tentunya para sepuh tersebut akan merasa bangga, ikut serta dalam menyumbang kiprah bagi Singapura.

Saya yang tadinya kasihan kemudian menjadi kagum, ternyata ada nilai-nilai yang demikian humanis yang bisa saya ambil. Maka berikutnya setiap saya melihat para sepuh yang sedang bekerja saya tersenyum. Karena mereka tersenyum saat sedang bekerja.

Saya bertemu dengan penjaja es yang sangat ramah kepada pembeli, kyang mengelus kepala anak kecil saat mereka membeli es nya. Kemudian membeli tissue kepada seorang kakek yang teguh berdiri walaupun tangannya gemetar hebat saat memberikan saya tissue di pojok sebuah stasiun MRT. Mungkin berlebihan, tapi saya juga menghargai mereka dengan membeli apa yang mereka jual.

Lalu sepintas saya kembali miris jika mengingat dengan kondisi yang ada di Indonesia. Para lansia yang tidak terurus dan menjadi peminta-minta di jalan, betapa banyak para lansia yang tersingkir dari masyarakat. Lalu saya berpikir apakah itu tanda masyarakat kita semakin durhaka?

Beberapa waktu lalu ada kisah kakek penjual amplop di Bandung yang kemudian menjadi sangat terkenal di dunia maya. Banyak yang kemudian menjadi peduli, kasihan, trenyuh dan empati. Padahal sebelum ada kisah tersebut, hampir setiap hari kakek tersebut berjualan, namun sepi atensi. Pertanda apakah? Apakah rasa kepedulian itu harus dimunculkanΒ  melalui dunia maya?

Akan tetapi di Indonesia pun banyak para sepuh yang berjuang, seperti kakek penjual amplop yang tidak menyerah pada keadaan. Para kakek – nenek yang terus berkarya walaupun penghargaan yang didapat hanya ala kadarnya. Tidak ada perhatian dari masyarakat, tidak ada kepedulian dari keluarga, tidak ada penghargaan dari keluarga, namun mereka terus berjuang dan berkarya. Sungguh saya menaruh hormat kepada mereka.

Melihat apa yang saya rasakan di Singapura, maka saya simpulkan bahwa mereka sebenarnya ingin dihargai, bukan dikasihani. Bahwa kita sebagai kaum muda pun selayaknya memberi penghargaan kepada mereka. Penghargaan yang membuat mereka bangga.

Apapun itu, bagaimanapun perjalanan kali ini memberi makna lebih. Tidak sekedar ini adalah perjalanan saya pertama kali di luar negeri, tapi ini adalah perjalanan yang memberi arti dan memperkaya jiwa.

Terimakasih Singapura!

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

19 KOMENTAR

  1. Pas aku ke Singapura selain banyak liat Kakek Nenek yang jualan Uncle Ice Cream, aku juga liat kakek-Kakek nyapu-nyapu, juga jadi petugas kebersihan toilet MRT. Awalnya aku merasa heran dan terenyuh juga, terenyuh yang ternyata karena salah persepsi. Tapi aku baru tau belakangan kalau itu sbg wujud penghargaan, ga sekeren dirimu yang nyaritau langsung..penjabaran yang bagus Mas Sinchaaan, touching post :’)

    • sama..keheranan yang sama saya rasakan..
      makulum kita terkena culture shock saat bertemu budaya baru di negara orang..

      anyway. makasih sudah mampir. πŸ™‚

  2. Ada nilai-nilai moral yang kita anut tapi lupa pada hakikatnya: nilai moral itu relatif. Apa yang kita anggap benar dan baik, belum tentu berdampak sama kepada orang lain..

    Makasih tulisannya ya Mas’e. Membuka mata nih! πŸ˜€

  3. Dan ternyata bentuk penghargaan dan apreasi orang-orang yang berada di Singapur ternyata berbeda dengan yang terjadi di tanah air.

    Selepas membaca postingan ini, sebenarnya muncul satu pertanyaan baru. “Lantas, harus seperti apa setelah ini cara pandang kita terbentuk untuk mereka, orang2 lansia di tanah air, terutama orang tua kita?”

    Seperti yang Mas tadi tuliskan, usia pensiun di Indonesia sudah dianggap sbg usia tidak produktif, usia dimana org tua kita seharusnya mendapat ‘perhatian’ lebih dari anak-anaknya.

    πŸ™‚

    Bagaimana Mas? πŸ˜€

    • sikap paling sederhana adalah jangan menelantarkannya.. mas teguh..
      berilah perhatian. πŸ™‚
      tapi kalo di keluarga saya di kampung..semuanya produktif sampai usia senja.
      almarhum nenek buyut saya dulu sudah berusia 100 tahun masih setiap hari ke sawah. πŸ™‚
      mungkin begitu, tidak menelantarkan dan biarkan tetap produktif. πŸ™‚

      • Semoga saja pesan ini sampai ke khalayak yang lebih besar lagi Mas. Selain karena ini konsepsi yang sangat menarik untuk teman-teman kita di tanah air. Ini juga bisa jadi pembelajaran bagi para baya di sekitar kita. πŸ˜€

        Alhamdulillah, sepanjang yang saya ketahui, keluarga besar saya juga masih sangat bersemangat untuk tetap produktif, dengan cara mereka masing-masing.

        πŸ˜€

  4. pernah baca juga yg kaya gini, tapi tokohnya orang tua yg bekerja sebagai petugas kebersihan toilet…

    Singapura memang negara maju.. :thumb

  5. Contoh yang bagus sekali Mas, itulah yg disebut negara maju. Statemen kultur bahwa lansia itu tidak produktif adalah program PEMBODOHAN. Itulah Indonesia kita ini. Disekitar kita ada penyakit masyarakat yang sangat ganas dan sudah lama tidak terdeteksi Mas yaitu β€œberlomba menjadi PNS” yg target umumnya adalah jaminan haritua. Mereka cenderung berpikir untuk menerima sesuatu dari negara dan bukannya memberi sesuatu … Ekses jaminan haritua itulah yg justru memvonis mereka tidak produktif lagi. Saya berharap bermunculan generasi maju yg sadar dan tidak terkontaminasi. Semoga Mas Efenerr diberikan pemikiran-2 yg besar oleh TUHAN. TQ.

  6. Bang Farchan. Saya ada cerita lain di balik topik ini. Dalam sebuah kejadian selalu ada dua sisi mata uang. Bolehkah saya quote topikmu ini di blog ku sebagai pengantar?

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here