start dari Sekeloa, Dipati Ukur, Bandung.

Deru jalanan dan panas menyengat menyambut hangat di antara liukan jalan Citatah. Vespa yang saya kendarai beradu dengan galaknya gemuruh suara truk – truk tua pengangkut marmer dari bukit Citatah yang lambat laun akan membuat sederetan bukit-bukit marmer raksasa itu rata dengan tanah. Lubang jalanan yang menganga seolah mengejek saya yang harus meliuk-liuk kesana kemari untuk menghindarinya. Dan ini baru awal dari perjalanan panjang, Bandung- Jakarta dengan Vespa.

Kawasan Citatah ini sebenarnya kawasan karst yang cantik. Membentang antara Bandung dan Cianjur, bukit-bukit itu kukuh berdiri, membawa sejarah cekungan Bandung yang sudah jutaan tahun. Karst Citatah telah melahirkan banyak climber di Indonesia. Di relung-relung guanya juga menyimpan kisah pra-sejarah tentang manusia pertama yang pernah ada di Bandung. Namun semua yang tersimpan di Karst Citatah terancam dengan penambangan yang membabi buta, meratakan gunung-gunung kapur yang semula tegak berdiri. Buah ketamakan manusia terhadap alam yang memberinya penghidupan. Entah sampai kapan Karst Citatah akan tegak berdiri.

Vespa saya lajukan dengan santai, matahari sudah mulai meninggi sementara jalan mulai meliuk. Hamparan padi nan hijau mulai menyambut, berarti saya sudah memasuki Cianjur. Kabupaten ini memang terkenal dengan produksi berasnya yang terkenal dengan Beras Cianjur, beras yang memiliki karakteristik pulen dan wangi. Begitu sampai di gapura Cianjur saya berhenti sejenak untuk berisitirahat, terlihat banyak sekali penjual dawet yang menjajakan dagangannya di sisi jalan.

Dari Kabupaten yang sangat islami ini saya melanjutkan perjalanan menuju Cipanas dan Puncak. Jalanan mulus, dan vespa pun saya geber sampai kecepatan 100 km/jam. Dasar produk eropa, digeber sekencang itu masih sangat stabil. Tarikannya kencang dan responsif. Mungkin apabila saya isi dengan BBM oktan 95 akan lebih kencang karena pembakarannya akan sempurna. Sayang sepanjang Bandung – Cianjur susah mendapatkan SPBU yang menjual oktan 95.

Saya berhenti tepat di depan Istana Kepresidenan Cipanas. Saya baru sekali ini melihat dari dekat istana kepresidenan yang dulunya adalah tempat plesir Gubernur Jenderal saat Indonesia dicengkeram Belanda. Istana yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan hingga kini tampak bersih dan elok. Dengan bangunan yang didominasi kayu, istana ini berbeda dengan istana kepresidenan lainnya. Pun dengan kolam yang cantik tepat di depan istana. Konon Ratu Yuliana pun terkagum-kagum dengan istana ini karena keaslian arsitekturnya yang benar-benar dijaga.

Suasana dingin dan jalan berkelak-kelok mulai menghadang sayang. Pepohonan hijau pun semakin rapat dan kabut tipis mulai menyapu jalan. Kira-kira 30 menit dari Cipanas, saya bermanuver banting stang ke kanan-ke kiri sambil menikmati udara dingin sepanjang jalanan.

Saya sudah tiba di Puncak Pass. Dengan latar pemandangan kebun teh yang menghampar sejauh mata memandang. Saya beristirahat sebentar, meluruskan badan yang sudah pegal menempuh 2 jam perjalanan non stop. Saya hampiri seorang penjual kopi dan meminta segelas kopi hangat. Bukankah hawa dingin, kabut dan kopi panas adalah paduan yang pas?

Tempat saya berhenti memang tempat peristirahatan bagi para motorist ataupun para pelancong bermobil. Dengan tempat parkir yang luas, restoran dan pemandangan yang indah dijamin setiap pengendara yang lewat akan tergoda berhenti disini.

Sedikit mengingat sejarah, Puncak Pass sebenarnya adalah titik tersulit saat Daendels membuat Grote Postweg / jalan raya pos ruas Bogor – Bandung. Kesulitannya adalah letaknya yang merupakan puncak dari gunung Mega Mendung. Sampai-sampai saat itu Willhelm Daendels menambah tenaga kerja paksa untuk merampungkan jalur Puncak Pas ini. Dahulu bisa dibayangkan untuk menempuh jalan Puncak Pass ini butuh waktu berjam-jam dan berganti pedati, sekarang dengan sepeda motor untuk melibas setiap lekukan tikungan di Puncak Pass mungkin hanya dalam hitungan menit.

Di sini pula saya bertemu dengan motorist lain yang sama-sama menggunakan matic. Bedanya hanya dia dari arah yang berlawanan, saya dari Bandung ke Jakarta, dia sebaliknya. Kami sempat ngopi bareng dan ngobrol tentang situasi jalanan hari ini. Rupanya sedang ada penutupan jalur dari Bandung imbas penerapan buka tutup hari itu. Karena ada buka tutup maka saya memutuskan beristirahat agak lama di Puncak Pass.

Beberapa kilometer selepas Puncak Pass kemacetan menghadang, bagaikan ular jika dilihat dari angkasa. Deretan mobil yang berhenti menanti buka tutup jalan berkilo-kilometer panjangya. Saya bagaikan menembus labirin berkelak-kelok dengan vespa putih. Meliuk-liuk diantara mobil-mobil yang berjajar. Sesekali saya harus bermanuver menghindari kendaraan yang melaju kencang dari arah berlawanan.

Sungguh kemacetan di Puncak adalah sebuah keabadian, sejak bertahun-tahun lalu hingga sekarang tidak pernah ada solusinya. Mungkin jalur alternatif perlu diperbaiki agar memecah konsentrasi kemacetan di daerah ini. Menantang arus adalah pengalaman mendebarkan, sementara apa yang saya kendarai adalah kendaraan mungil yang tak sebanding dengan kendaraan di arus yang berlawanan yang isinya adalah bus, truk, dan kendaraan besar lainnya. Mirip pertarungan Daud versus Goliath. Tak sebanding, namun saya harus melaju dan menang melawan kendaraan – kendaraan raksasa tersebut.

traffic is hell.

Saya sempat berhenti sejenak di Kampung Arab, tak jauh dari Taman Safari. Sedikit unik disini terdapat hal-hal berbau arab, toko-toko yang membubuhi tulisan arab di etalasenya dan orang-orang arab yang hilir mudik. Sejak dahulu Kampung Arab yang secara administratif masuk ke dalam kawasan Tugu adalah tempat favorit orang-orang dari jazirah arab untuk berlibur. Sayangnya di Kampung ini banyak kisah getir terutama dari wanita-wanita yang menjalani kawin kontrak dengan wisatawan dari arab tersebut.

Santer kabarnya disini terdapat prostitusi terselubung yang berkedok kawin kontrak. Sebuah hal yang menurut saya tidak bisa terus dibiarkan. Modusnya adalah wanita-wanita disini dinikahi selama orang arab tersebut berlibur di Puncak, lalu diceraikan saat dia akan kembali ke arab. Ya begitulah nasib para wanita yang menjalani kawin kontrak di sana.

2 jam lamanya saya berjibaku dengan jalur buka tutup, ketika saya sudah memasuki Kota Bogor. Karena saya tidak begitu menguasai jalur dan tidak berbekal GPS, saya sempat berputar-putar di Bogor, tersesat. Akhirnya saya nongkrong sebentar di sebuah masjid dan bertanya pada penjaga parkir jalan menuju Jakarta. Rupanya saya tersesat lumayan jauh dan harus memutar balik, mungkin sekitar 5 kilometer.

Selepas Bogor kondisi jalanan yang dihadapi berbeda. Selamat datang di jalanan keras a la Jabotabek. Pengendara motor yang seenaknya, angkot yang seliweran seolah jalanan mirip mereka lalu bus-bus tiga perempat dengan mesin menjelang bobrok yang meraung-raung mengeluarkan asap hitam beracun. Justru di ruas jalan Bogor – Depok – Jakarta ini saya merasa paling lelah.

Titik antara Bandung sampai Cisarua saya menikmati perjalanan, berkelak-kelok menikmati pemandangan. Baru di ruas Bogor – Jakarta saya merasa capek, karena kondisi jalannya yang semrawut. Karena saya terpengaruh emosi mungkin, sehingga saya menjadi letih saat berkendara dan hilang konsentrasi.

Akhirnya saya putuskan mampir sebentar di rumah kawan saya semasa SMA yang berlokasi di Gang Kober, Depok. Dinni namanya, dia adalah teman sekelas pas SMA dan dulu sering saya kerjai, bahkan sampai sekarang. 🙂 Segelas minuman segar lumayan mendinginkan badan dan pikiran yang membara saat bertempur di jalanan Bogor – Jakarta.

Saya sempatkan istirahat sebentar sembari menunggu matahari sedikit ramah. Kami mengobrol banyak hal, kebanyakan sih nostalgia. Karena sudah hampir setahun saya tidak bertemu sahabat saya ini. Begitu matahari mulai terlihat menggelincir, saya melanjutkan perjalanan. Sesuai panduan Google Map, jarak antara Depok – Salemba bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 1 jam.

Tapi yang terjadi Depok – Salemba saya tempuh hampir 2 jam. Kemacetan menyergap saya di Lenteng Agung, Pasar Minggu sampai Manggarai. Di sepanjang jalan banyak sumpah serapah yang saya lontarkan, bagaimana tidak saya sudah mendekati akhir perjalanan tapi justru terhambat kemacetan yang panjang. Padahal di kepala saya sudah terbayang nikmatnya es jeruk dan merebahkan diri di sofa panjang.

Akhirnya setelah hampir 7 jam perjalanan saya sampai juga di Salemba, di titik akhir perjalanan saya. Molor hampir 2 jam dari jarak tempuh normal karena banyaknya hambatan. Secara umum Vespa yang saya pake ini irit, untuk Bandung – Jakarta hanya menghabiskan 45.000 rupiah Pertamax, dengan kecepatan rata-rata 60 sd 70 kilometer/jam dan Vespa ini cocok untuk jarak jauh.

Demikianlah catper touring pertama kali saya, walaupun bukan yang pertama kali saya touring tapi ini goresan tulisan saya pertama kali untuk pengalaman touring. Rencananya saya juga akan menulis pengalaman touring saat lebaran nanti. ciao!

di rumah Dinni.
Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

4 KOMENTAR

  1. Mantabbb om.. apalagi pas geber 100kph.. cm 7 jam mpe salemba.. saya aj butuh 8 jam utk sampe tangerang.. maklum jln santai.. salam vespa..

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here