Rumah Kami, saat Erupsi Merapi.

2010

Saya masih ingat benar, saya masih di kantor ba’da maghrib. Hati saya sudah tidak tenang, dalam pikiran saya hanya ada pikiran untuk sesegera mungkin pulang ke Magelang. Dalam temaram kantor yang makin sepi ditinggal satu persatu pegawainya, saya bertahan di depan monitor komputer yang tersambung dengan sebuah internet radio di Jogja. Sesekali saya terpejam memanjat doa.

Beberapa minggu sebelumnya dalam sebulan itu saya kerap pulang karena suasana di kampung sangat tidak kondusif. Malam semakin larut dan beberapa kali petugas keamanan menghampiri dan menanyakan kenapa saya belum pulang. Saya hanya tersenyum lantas bergegas ke pantry membuat kopi.

Kembali memantau kabar radio, sesekali memantau linimasa yang bergerak kian cepat. Keringat dingin sudah mengucur deras, mencoba menghubungi keluarga di kampung juga sia-sia karena selalu gagal. Dalam malam yang semakin gelap saya terpekur, pasrah.

Tiba-tiba radio makin berisik, suara bercampur baur dengan kegaduhan. Yang saya dengar hanya suara manusia-manusia yang semakin panik, sayup-sayup terdengar “Merapi meletus, segera evakuasi…” Saya makin lemas.

Saya terhenyak dan terdiam beberapa saat, kemudian saya mencek berita di televisi, benar Merapi meletus. Kabarnya letusan malam ini yang paling benar. Rupanya benar, ini firasat yang saya rasakan sejak sore tadi, firasat yang menyuruh saya pulang ke Magelang.

Kemudian apa yang saya lakukan hanya berdasar intuisi, gelap, saya tak sanggup berpikir. Saya hanya membawa tas kecil, dan membawa apa yang bisa saya bawa di meja kantor. Lalu sambil menahan rasa tangis, saya meminta seorang petugas keamanan mengantar saya ke terminal untuk mencari bus, bus apa saja yang ke Jawa Tengah.

Menunggu tepat tengah malam hingga dua jam lamanya tidak jua berjumpa bus ke arah Jawa Tengah. Saya sudah putus asa rasanya, biasanya bus terakhir datang sekitar jam 1, tapi ini sudah jam setengah 3 pagi dan belum ada bus lewat. Tapi Tuhan memang tidak tidur, tiba-tiba datang bus ke arah Purwokerto. Sambil mengucap syukur saya segera naik bus itu.

Saya tertidur lelap dan terbangun ketika bus berhenti di tepi Sungai Serayu. Rupanya abu dari sang giri Merapi sudah terbang sampai hutan di sekitar Banyumas. Sungguh kemarahan luar biasa dari Merapi. Sopir bis dan kernetnya bersusah payang mengguyur kaca bus yang besar itu demi menyingkap abu yang menutupi pandangan.

Angka digital pada arloji mengedip pada angka 6.30 pagi saat saya tiba di Terminal Purwokerto. Semua putih, semua terguyur abu Merapi yang jaraknya ratusan kilometer. Mencari bus ke Jogja sama seperti mencari jarum di tumpukan jerami, tidak ada yang berani berangkat ke Jogja pagi itu.

Akhirnya saya mendapatkan bus ke Semarang yang berangkat jam 7.00 pagi. Dengan penampilan lusuh dan kuyu, saya naiki bus dengan suasana hati yang carut cemarut. Keluarga di kampung tidak bisa dihubungi. Sepanjang jalan panorama dilumuri putih abu, kecuali beberapa daerah di antara Banjarnegara – Wonosobo. rupanya Sumbing melindungi daerah tersebut dari serbuan abu.

Keluarga masih belum bisa dihubungi dan saya tak tahu apalagi yang bisa saya lakukan. Matahari yang saya rasa makin meninggi menyerah kalah melawan kungkungan abu. Saya hanya bisa merasakan siang itu sangat muram.

Tiba di Temanggung tengah hari. Saya mencari masjid terdekat untuk menunaikan Shalat Jumat. Lumayan melonggarkan hati yang sedang kalut. Seusai Shalat, saya berlari ke terminal terdekat dan mendapati tidak ada angkutan ke Magelang, kecuali satu bus tiga per empat yang sudah penuh sesak, tidak ada pilihan lain. Saya harus segera mencapai rumah.

2 jam menempuh perjalanan dalam kungkungan abu, saya mendapati Magelang menjadi kota mati, sepi. Tidak ada aktivitas, mencekam. Terminal bagaikan onggokan bangunan yang ditinggal penghuni. Mobil dan bus diparkir begitu saja, tidak ada angkutan ke arah Muntilan ke arah rumah.

Saya termangu dalam diam ketika bahu saya ditepuk seorang pemuda berikat kepala dan berambut gondrong. Dia menawari saya angkutan ke Muntilan seharga 35.000 sekali jalan, saya tidak kuasa untuk tidak mengiyakan. Apapun akan saya lakukan asalkan saya pulang. Bersama 15 orang lain dalam bus kecil yang penuh sesak, kembali saya melaju menembus kepulan abu.

Yang ada di dalam bus, semua senasib. Semua lelaki yang ingin melihat keluarganya. Sepanjang jalan saya berpapasan dengan ratusan kendaraan yang mengangkut pengungsi meninggalkan Magelang.

Mendekati Pabrik Kertas Blabak, saya minta sopir berhenti dan saya turun. Aula Pabrik Kertas sudah menjadi pusat pengungsian, begitupun Kecamatan dan Balai Desa. Dari penuturan bapak-bapak polisi semalam ribuan orang turun dari arah Sawangan, banyak yang berjalan kaki karena jalanan tidak bisa dilewati karena banyaknya pohon tumbang.

Rumah tinggal sepelemparan batu, dalam kondisi normal hanya 10 menit. Namun kondisi jalan serupa neraka, abu bercampur hujan membuat jalanan bagaikan medan jalan di ruas Boven Digul yang mustahil bisa dilewati. Tukang ojek menawari saya 50.000 untuk mengantar saya sampai rumah, baiklah. Daripada saya termangu saya terima tawarannya.

Mesin motor meraung-raung melawan lumpur yang membebat ban. Saya menutup muka dengan kain seadanya menghindari abu pekat yang menggelayut di udara. Sepanjang jalan hanya terlihat kemuraman, kehancuran. Pohon-pohon tumbang, air kecoklatan, rumah-rumah hancur.

Begitu rumah sudah terlihat di pandangan mata, saya berhentikan ojek, saya bayar dan saya segera lari ke rumah. Rumah sudah porak poranda, saya mencari Ibu, ketemu, adik, ketemu, nenek, ketemu, saya menghambur ke ketiganya, saya memeluk mereka dan menangis. Tuhan menyelamatkan keluarga saya.

Ibu bercerita, semalam adalah malam ke 10 tidak ada listrik. Dalam kondisi pekat, tidak ada kabar yang bisa didengar. Maka ibu, nenek dan adik bergantian berjaga. Tiba-tiba menjelang tengah malam terjadi hujan kerikil dan pukulan kentongan panjang-panjang yang sudah lama jarang didengar. Suara pukulan kentongan itu adalah pertanda marabahaya, seluruh desa diminta waspada. Dan kepala desa memberitakan Merapi meletus. Merapi yang selama ini gagah terlihat dari desa kami, sekarang  murka. Merapi yang selama ini memberi penghidupan kini memberi penghukuman.

Penduduk desa terhenyak. Selama sebulan belakangan, penduduk desa membuka pintu lebar-lebar untuk saudara-saudara mereka dari lereng Merapi yang turun mengungsi. Kini penduduk desa juga harus bersiap mengungsi. Siang itu dalam keheningan, saya terduduk dan dalam diam merasakan kemurkaan Merapi.

*) tulisan berseri, memperingati Erupsi Merapi 2010. Dalam hidup saya sudah 2 kali mengalami Erupsi Merapi. pertama saat masih SD dan kedua di tahun 2010, semuanya erupsi besar yang menggetarkan.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

14 KOMENTAR

  1. Sangat bersyukur, keluarganya Mas masih ada dalam kondisi yang baik di saat Erupsi Merapinya datang.

    Semoga Allah masih tetap menjaga mereka dalam keadaan yang sehat hingga hari ini. Amin.

  2. Terima kasih, Mas. Menggetarkan. Saya menunggu lanjutan cerita, Mas. Selain itu, saya juga pingin ngobrol dengan Mas nanti tentang ini. Sekarang saya sedang meneliti peran serta warga dalam tanggap bencana Merapi.

    Matur nuwun.

  3. Saya justru saat itu berada di Yogyakarta. Keluarga lah yang khawatir karena saya tidak bisa pulang ke Magelang. Akhirnya pasca erupsi besar saya harus menerjang tebalnya abu Merapi yang telah bercampur air hujan mengendarai motor serombongan. Tanpa melalui Muntilan saya harus memutar melalui pertigaan Salam belok kiri menuju Kulon Progo. Masuk Magelang melalui Borobudur. Melalui Blabak menuju Candimulyo. Bersyukur, Merbabu masih melindungi rumah bapak-ibu saya.

    • mas nahdhi. waktu itu memang sungguh menjadi prioritas ya mas..
      segala daya upaya harus digerakkan agar bisa pulang ke keluarga tercinta.

      terima kasih sudah mampir mas..
      salam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here