2010

Masyarakat Magelang mungkin memang ditakdirkan menjadi masyarakat yang tangguh. Sejak berabad-abad hidup bersama Merapi hingga kini. Peradaban datang dan pergi namun Masyarakat Magelang tetap setia bertemankan Merapi. Berpuluh Abad silam sebuah imperium Mataram yang berlokasi di Magelang habis dilalap Merapi, candi-candi megah terkubur, dan 1 imperium lenyap dari sejarah. Namun peradaban baru muncul kembali, manusia-manusia tangguh datang dan pergi, berkawan akrab dengan Merapi hingga sekarang ini.

Mungkin karena sudah akrab dengan Merapi, maka masyarakat Magelang sudah memiliki kearifan sendiri ketika Merapi tiba-tiba menjadi galak. Kearifan-kearifan lokal yang menjadi pertanda dan memiliki sistem yang sudah menyatu dengan masyarakat menjadikan hal itu sebagai pegangan dan early warning, masyarakat memiliki ukuran kewaspadaan masing-masing yang dijalankan sesuai adat dan budayanya. Mereka seperti memiliki pemimpin seperti Almarhum Mbah Maridjan namun juga tetap mengikuti anjuran pihak berwenang. Dan dengan sistem inilah masyarakat di sekitar lereng Merapi survive, berkawan dan hidup bersama dengan Merapi.

Ketangguhan masyarakat Magelang teruji benar saat erupsi Merapi 2010 lalu. Masyarakat di lingkaran Merapi saling menyokong satu sama lain. Mungkin beginilah bagaimana cara Tuhan menyatukan umatNya agar kembali rukun, melalui Merapi.

Pada saat erupsi Merapi apa yang terjadi di desa saya adalah kesibukan para penduduk desa, bukan untuk mengungsi. Karena pada saat awal erupsi, desa saya masih termasuk jarak aman. Namun kesibukan para penduduk desa untuk membuka shelter-shelter pengungsian bagi saudara-saudara yang rumahnya berada di perimeter Merapi.

Tidak ada yang namanya koordinasi, rapat dan sebagainya. Semuanya turut ambil bagian sesuai kemampuannya masing-masing. Balai pertemuan yang sedianya pada hari itu ada pesta perkawinan langsung dibatalkan dan dalam sekejap diubah menjadi shelter pengungsian. Para perangkat desa kemudian menutup aktivitas di balai desa dan menjadi petugas shelter sukarela, 24 jam sehari mengurus pengungsi. Penduduk desa tidak ada yang berkeberatan, justru penduduk desa bahu membahu membantu saudaranya yang kesusahan.

Kepala desa memberikan anjuran kepada penduduk desa agar membuat nasi bungkus setiap hari kepada para pengungsi. Bukan perintah, namun setiap rumah setiap pagi sudah tersedia nasi bungkus untuk para pengungsi yang dikumpulkan oleh kepala dusun. Yang mampu dan yang tidak mampu semua bersatu.  Semua memberikan apa yang dia mampu, apabila tidak mampu mengumpulkan nasi, maka penduduk ikut turut di dapur umum. Apabila ada yang hanya bisa membantu tenaga, maka dia akan berjaga di posko dan membantu mengangkut barang-barang bantuan yang datang. Di masa inilah kegotongroyongan yang sebenarnya tergambar jelas, semuanya mengambil porsi masing-masing.

Semua bekerja bukan atas perintah, murni intuitif. Para masyarakat desa, perangkat kelurahan, relawan, TNI, PMI semua membaur jadi satu. Semua bahu membahu menyediakan apa yang dibutuhkan pengungsi. Disinilah dimana tidak ada sekat-sekat yang membatasi. Semua bersatu berdasar keihklasan. Semua saling menyokong, saat ada yang capek maka yang lain dengan ikhlas menggantikan. Semua bekerja sesuai peran tanpa diminta, atas dorongan intuisi, kesadaran pribadi.

Ada kisah haru saat pembubaran shelter pengungsian di desa kami. Di shelter desa yang berlokasi di jalan raya utama mendapat bantuan pengamanan dari personel TNI dari sebuah kesatuan di Semarang. Pada saat perpisahan dengan pengungsi, relawan dan masyarakat desa itu para personel TNI ada yang menangis haru. Menangis haru karena sudah merasa menjadi keluarga selama sebulan penuh bertugas mengamankan posko.

Kekeluargaan, itulah kunci utamanya. Saat semua mata tertuju pada Merapi, maka seketika itu juga seluruh Indonesia bahkan dunia merasa satu saudara. Saling membantu untuk saudaranya. Tidak melihat agama, tidak melihat asal-usul semua melebur.

Saya sendiri menyimpan banyak keharuan atas momen-momen kemanusiaan ini. Momen dimana setiap manusia tanpa pamrih berjuang untuk saudaranya yang lain yang bahkan belum ia kenal sebelumnya. Saya menjadi saksi bagaimana banyak relawan dari berbagai eleman yang membantu di shelter-shelter. Kemudian menjadi saksi bagaimana truk-truk bantuan dari berbagai daerah mengalir ke Magelang.

Awalnya saat saya pulang ke Magelang saat letusan pertama, saya bingung harus berbuat apa. Setelah memastikan keluarga baik-baik saya, saya segera menghubungi teman dekat saya, Endra, adik kelas saya Eko dan Hapsari salah seorang adik kelas juga. kemudian bertambah 2 personel lagi Shandi dan Monika. Kami bergerak mencari posko yang belum terjangkau, membeli bantuan sebisa yang kami lakukan dan menyalurkannya. Saat itu letusan awal, belum banyak bantuan yang mengalir dan masih banyak sekali shelter yang masih a la kadarnya. Kejadian itu membuat saya sadar bahwa hal ini harus diberi tahukan kepada khalayak dan melibatkan banyak orang agar penyebaran bantuan ini bisa secepat dan seefektif mungkin.

Maka kemudian saya bergabung dalam satu komunitas relawan yang terdiri dari kawan-kawan SMA dan komunitas ini terbentuk tanpa rencana, murni kemanusiaan. Lintas angkatan, masing-masing bergerak menjelajahi seantero Magelang mencari shelter-shelter pengungsian yang belum tersentuh bantuan, mengabarkan satu sama lain dan mendrop bantuan. Komunitas ini tanpa ikatan, tidak ada struktur. Kami ditautkan atas nama kemanusiaan. Bahkan komunitas ini menggelinding bak bola salju, makin besar. Menjadi lintas sekolah, lintas daerah. Semua saling mengundang satu sama lain untuk turut ambil bagian. Saya sangat terharu dengan rombongan dari STAN yang dikoordinasi oleh Arsy, yang datang tengah malam dengan semobil bantuan, tengah malam dengan kondisi jalan rusak parah saya menjemput mereka yang terlihat sangat kelelahan berjuang menempuh perjalanan dari Jakarta. Kemudian ada wanita tangguh bernama Happy yang turut serta turun ke Magelang. Benar-benar pengalaman yang secara pribadi mengubah sudut pandang saya dan membuat saya belajar arti kata kemanusiaan.

Kredit khusus saya berikan kepada garakan Jalin Merapi. Sebuah gerakan yang besar dari social media, namun memberikan dampak yang luar biasa bagi penyaluran bantuan di saat erupsi Merapi. Anak-anak muda tangguh dari Jogja ini bersiaga 24 jam sehari memantau Merapi, memantau daerah-daerah yang masih butuh bantuan, menyimpan dan menyalurkan bantuan dengan seksama agar tidak salah sasaran kemudian menyebarluaskan melalui Social Media. Sebuah movement yang efektif dan efisien.

Saya beberapa kali mengunjungi posko Jalin Merapi di beberapa tempat dan mereka memang anak-anak muda yang luar biasa. Saat pertama kali mengunjungi posko saya sadar saya harus terkoneksi dengan Jalin Merapi. mengingat pendistribusian bantuan di Magelang yang dikelola oleh Pemerintah Daerah memang sedikit tersendat waktu itu. Maka saya dan teman-teman pun selalu mengupdate shelter-shelter yang masih belum tersentuh bantuan.

Bahkan saya dan teman saya Fitri pernah menemukan shelter yang belum tersentuh bantuan sama sekali, satu-satunya shelter yang berada di Sawangan yang belum turun dan masih bertahan di atas. Saat kesana kondisinya sungguh menyedihkan, stok hanya untuk sehari. Maka yang bisa saya lakukan adalah memberitahukan ke Jalin Merapi tentang shelter itu sambil berdoa semoga bantuan semoga mengalir kesana. Dan besoknya berita gembira datang, shelter tersebut akhirnya didatangi beberapa truk bantuan yang tahu kondisi shelter dari Jalin Merapi.

Berbagai macam manusia yang datang ke Magelang menyadarkan satu hal bahwa sikap kegotongroyongan itu masih ada. Dimulai dari penduduk desa yang membantu sekadarnya sampai model digital seperti Jalin Merapi. Bahwasanya erupsi Merapi itu adalah momen dimana setiap elemen masyarakat bahu membahu dalam keikhlasan untuk membantu saudaranya.

Setidaknya dalam peristiwa Erupsi Merapi 2010 ini sejenak Indonesia melupakan konflik yang sedang terjadi. Semua bahu –  membahu untuk membantu saudara-saudaranya. Mungkin ini memang cara Tuhan untuk meleburkan segala perbedaan dan mengajari manusia apa yang namanya kemanusiaan. Melalui Merapi Tuhan menyentil manusia, mendewasakannya dan mengajari manusia menjadi makhluk yang tangguh.

*) tulisan berseri, memperingati Erupsi Merapi 2010. Dalam hidup saya sudah 2 kali mengalami Erupsi Merapi. pertama saat masih SD dan kedua di tahun 2010, semuanya erupsi besar yang menggetarkan.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

8 KOMENTAR

  1. kalo inget kejadian itu,..rasanya semua orang yang masih bisa menolong gak pernah peduliin kondisi dya sendiri,..mereka fokus buat nolongin korban merapi yang mengungsi,..
    jadi inget,..pas itu ngedrop bantuan di titik pengungsian paling ujung,..sampe jam 9 malam,..abis itu jam 1 pagi terjadi erupsi lagi dan posko pengungsian yg kita kunjungin tadi malam udah morat marit,..semua pengungsi di posko harus mengungsi ke tempat yang lebih bawah,..
    subhanallah sekali,…saya gak bisa bayangin, apa jadinya kalo pas itu, jam 9 malam saia di posko tiba2 ada erupsi,…
    tapi yang pasti,..bencana mengajarkan kita untuk tetep bersatu,..bahu membahu menolong sodara kita yang kesusahan,..entah mereka itu siapa dan berasal dari mana,….

    • betul sekali..
      dalam kondisi ini kita baru memperlihatkan sifat bangsa Indonesia yang sebenarnya.
      pengalaman waktu itu memang membekas sekali ya. 🙂
      mendewasakan

  2. Better things are coming. Selepas dari bencana yang datang, meski memang juga tak ayal membawa kerugian yang sangat besar, di sisi lain, ada banyak hal baru yang masih tetap bisa disyukuri dan juga mendatangkan manfaat. Sebuah pembelajaran bersama untuk semuanya.

    Seperti judulnya, mas F dan semuanya tersatukan. 😀

    • nah guh..
      Garut memiliki karakteristik yang sama dengan Magelang.
      ada kesamaan yaitu dikelilingi Gunung Berapi.
      cuma saya punya kekhawatiran, masyarakat Garut belum punya mitigasi bencana gunung api.
      tidak seperti masyarakat Magelang yang sudah terbiasa menghadapi Merapi dan tahu caranya.
      masyarakat Garut belum terbiasa menghadapi bencana, dan saya ingin suatu saat ada penyuluhan tentang ini di Garut. 🙂

      • Tetapi pada dasarnya tipe magma dari gunung-gunung di sekitar Garut berbeda dengan Merapi. Di garut sedekat informasi yang pernah saya dapatkan tidak memiliki “wedhus gembel”.

        • betul mas..memang berbeda tipe.
          tapi garut ini sepeti dikelilingi lingkar gunung api dan sumber vulkanik/panas bumi.
          beberapa waktu lalu saat papandayan sempat meningkat aktivitasnya justru pemdanya terlihat tidak antisipatif.
          Perlu ada pendidikan mitigasi bencana yang terstruktur disini mas..ngeri kalo tiba2 ada benacana (semoga tidak)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here