pose sebelum berangkat

berawal dari tidak mendapatkannya tiket kereta, mahalnya tiket pesawat yang harganya menggila kemudian paranoia menggunakan bis karena tidak mau dicegat kemacetan lalu tidak adanya mobil untuk mudik tahun ini, maka akhirnya saya putuskan untuk mudik dengan sepeda motor, atau dalam bahasa jawanya mudik motoran.

motor yang saya pakai adalah Si Hitam, Kawasaki D Tracker 150 cc lansiran 2010. motor ini saya bawa pulang mudik sekaligus untuk memperingati ulang tahun keduanya. persiapan yang saya lakukan adalah menservis habis motor ini, dengan mengganti komponen yang sudah usang seperti kampas rem, kabel gas, ganti oli serta menyetting mesin supaya enak saat dibawa mudik. ongkos untuk persiapan ini saja sudah cukup membuat saya menelan ludah saking mahalnya, sama dengan harga servis + ganti oli sebuah Avanza. untungnya sahabat saya, Endro berbaik hati meringankan biaya perawatan ini.

setelah mesin motor siap, maka badan saya juga harus fit untuk menempuh perjalanan jauh. sebelumnya saya sudah melakukan pemanasan untuk mudik ini dengan touring Bandung – Jakarta dengan durasi waktu 8 jam. selain itu selama seminggu sebelum mudik saya tidak begadang dan menyempatkan berolahraga ringan setiap paginya.

tanggal keberangkatan saya putuskan tanggal 16 Agustus pagi, dengan asumsi pada tanggal itu para pemudik belum terlalu memadati jalanan. titik keberangkatan adalah dari Tasikmalaya, bersama dengan Adib yang juga akan mudik ke Magelang dan dengan motor yang sama pula. jalurnya adalah Tasikmalaya – Ciamis – Banjar – Majenang – Buntu – Gombong – Kebumen – Purworejo – Magelang.

15 Agustus 2012

alfamart, singaparna, tasikmalaya

rencana saya hari itu saya langsung ke Tasikmalaya begitu pulang kantor dengan harapan sebelum buka puasa saya sudah sampai disana, ternyata rencana harus diubah karena ada buka bersama kantor. jadilah saya jalan ke Tasikmalaya setelah buka bersama kantor, sekitar jam 19.30 malam.

hawa dingin sudah menyergap Garut, biasanya di masa – masa kemarau, suhu udara Garut turun drastis sampai 15 derajat celcius di malam hari. menembus dinginnya malam saya memulai perjalanan ke Tasikmalaya. jaket parka hitam saya saja kalah oleh hawa dingin, terpaksa saya mengendarai motor plus gemetaran menahan hawa dingin.

jalanan gelap plus berkelak kelok dengan kabut tipis menyelimuti aspal. jantung saya berdegup kencang dalam kesendirian, tertelan aspal jalanan yang hitam. jalur Tasikmalaya – Garut memang membuat jeri di kala malam, jalan yang sempit serta minim penerangan adalah momok bagi pengendara di jalur tersebut. ditambah raungan bis-bis besar jurusan Singaparna yang seolah menjadi raja di jalur tersebut, membuat saya dan pengendara motor lain seolah liliput.

untungnya menjelang perbatasan Tasikmalaya, saya bertemu dengan rombongan pemudik lain dari Garut yang hendak menuju Banyuwangi, dengan kode lampu dim 2 kali saya pun bergabung beriringan dengan mereka sampai Tasikmalaya. setelah 1 jam 30 menit, sampailah saya di Tasikmalaya, langsung menuju pondokan Adib untuk beristirahat.

16 Agustus 2012

pilihan berangkat pagi dari Tasikmalaya adalah prediksi bahwa arus mudik dimulai tanggal 16 Agustus pagi, jika para pemudik yang dari Jakarta / Bandung berangkat shubuh maka di Tasikmalaya pemudik akan sampai sekitar pukul 8 atau 9 pagi. atas prediksi itu, maka saya dan Adib memutuskan mendahului para pemudik dari Bandung dan Jakarta, kami meninggalkan Tasikmalaya pukul 6.30 pagi.

bermudik dengan sepeda motor memang memiliki resiko tinggi, angka kecelakaan pemudik dengan sepeda motor sangat tinggi dan setiap tahun cenderung meningkat. dilandasi itu saya tidak terlalu banyak membawa barang bawaan, hanya membawa satu tas berisikan kamera dan oleh-oleh, baju-baju lebaran bahkan sudah saya kirim ke rumah sejak sebelum ramadhan tiba. jadilah saya tidak terlalu membebani motor dengan barang bawaan yang juga bisa mengganggu keseimbangan.

benar dugaan kami, lepas dari Tasikmalaya jalanan sangat sepi dan lancar. pemerintah Jawa Barat tampaknya sudah tahu benar bagaimana caranya memanjakan para pengendara motor, dengan memberikan jalanan mulus dan lebar sepanjang Tasikmalaya sampai ke Banjar. tapi kondisi jalanan ini berubah 180 derajat saat memasuki Jawa Tengah, hanya dipisahkan oleh Jembatan Citanduy, tapi kondisi jalan bisa sangat jomplang. di bagian Jawa Tengah jalanan tidak rata dan bergelombang. kami harus sering-sering bermanuver apabila tidak ingin dilalap lubang jalanan.

sebagai musafir, kami memutuskan tidak berpuasa. memanfaatkan keringanan yang diberikan kepada para musafir untuk tidak berpuasa saat melakukan perjalanan jauh. jadilah kami berhenti sarapan di Kafe Banaran 9 yang manajemennya ada dibawah pengelolaan PTPN, lokasi kafenya ada di daerah Majenang. sebenarnya kafe ini sudah menjadi langganan saya, tapi ini yang pertama kali untuk Adib. semenjak saya di Ciamis, apabila saya pulang ke Magelang dengan bermobil, saya pasti berhenti di kafe ini.

Adib, rekan seperjalanan.

 

istirahat sarapan

jalanan masih sangat sepi saat kami sarapan, menikmati harumnya teh walini, soto ayam dan satu porsi tahu goreng. beberapa pemudik turut berhenti dan sarapan di kafe bersama kami. sengaja agak lama berhenti disini, sekaligus untuk mendinginkan mesin. dalam rencana mudik, kami memang berniat untuk berhenti setiap 2 jam sekali. mengistirahatkan tubuh sejenik, meredakan stres dan mendinginkan mesin. setelah sarapan, saya sempatkan strechting sejenak untuk mengurangi badan yang kaku-kaku dan melemaskan otot-otot. dirasa siap, saya dan adib melanjutkan perjalanan menuju Majenang.

bagian yang paling saya sukai di jalur selatan ini adalah selepas Majenang sampai ke Buntu, melewati Karangpucung dan Lumbir. jalannya meliuk-liuk menantang adrenaline, sementara di kanan kiri jalanan terbentang hutan yang masih perawan. disini saya bisa melampiaskan diri untuk membejek gas dalam-dalam sekaligus melahap tikungan demi tikungan.

membawa motor trail/semi trail/supermoto dengan setang lebar memiliki teknik khusus dalam melahap tikungan, susah melakukan cornering seperti motor sport atau motor kebanyakan sampai badan miring dan motor hampir rebah. jika melakukan cornering seperti itu dengan motor trail, dijamin akan langsung jatuh mencium aspal. corneringΒ yang benar dengan motor trail adalah dengan badan tetap tegak, kemudian melahap tikungan dengan kaki dijulurkan ke depan untuk menjaga keseimbangan. dengan begitulah, tikungan demi tikungan bisa disantap dengan kecepatan tinggi seperti motor sport.

Tikungan tikungan Lumbir
berhenti di Lumbir

saya dan Adib berkonvoi, bergantian satu sama lain menjadi leader,Β terkadang saya di depan, jika saya capek, Adib gantian yang berada di depan untuk membuka jalan. kami memutuskan untuk mengendarai sepeda motor di sisi sebelah tengah, mepet dengan garis marka. motor sengaja dilajukan di tengah karena di kiri banyak rombongan pemudik bermotor, apa yang saya khawatirkan adalah apabila terjebak dalam rombongan itu maka bisa menghambat perjalanan atau jika tersenggol maka bisa terjadi tabrakan karambol, apalagi stang motor kami berdua lebar dan rentan tersenggol motor lain.

konsekuensi berada di jalur tengah adalah harus memacu motor dengan kecepatan tinggi, untungnya spek motor ini memang cocok untuk kecepatan tinggi, tenaganya melimpah ruah. dengan enteng kami berdua melaju di tengah. keuntungan di jalur tengah adalah jarak pandang yang luas serta ruang antisipasi yang cukup apabila ada sesuatu. kemudian jika kami lajukan motor di tengah, pastilah kendaraan dari arah berlawanan sudah melihat kami dan melakukan antisipasi.

safety riding juga diterapkan selama mudik, lampu motor menyala, setiap akan menyalip menggunakan sein dan klakson. pun dengan kelengkapan berkendara lain, ya kecuali helm saya yang memang tidak ada kacanya. selain itu, motor saya sudah menggunakan knalpot racing yang suaranya berisik. jadilah knalpot saya yang meraung-raung sepanjang jalan itu menjadi tanda untuk motor lain agar memberi jalan bagi kami berdua. walaupun terkadang knalpot saya itu menjadi boomerang karena dianggap nyolot dan menantang pengendara lain.

lepas tengah hari saya sudah memasuki Kabupaten Kebumen, sudah hampir separuh jarak perjalanan yang ditempuh. jalanan panas menyengat dan stamina mulai kendor. Adib mengusulkan untuk mencari makan siang, saya setuju saja karena memang rasa lapar sudah mendera. akhirnya kami berhenti sejenak di warung Sate Ambal khas Kebumen yang ada di pinggir jalan Kebumen – Kutowinangun.

kondisi jalanan sampai Kebumen relatif lancar, tidak ada kemacetan berarti kecuali pasar tumpah di beberapa sisi. dengan kondisi seperti itu kami berdua bersyukur tidak mendapat hambatan berarti. selepas makan siang, segera kami melaju menuju Magelang, rencananya Purworejo akan di bypass karena waktu tempuh tinggal 1, 5 jam lagi menuju Magelang.

namun stamina yang melorot karena terpapar matahari mengurungkan niat kami. akhirnya kami berdua berhenti di Masjid Agung Purworejo. di masjid yang memiliki bedug terbesar di dunia tersebut, kami beristirahat sekaligus menunaikan shalat Dhuhur. istirahat di masjid yang teduh ini lumayan mengembalikan tubuh menjadi segar kembali. disini saya sempat memejamkan mata di ruangan dalam masjid yang adem.

istirahat di Sate Ambal
istirahat di Purworejo

jarak Purworejo – Magelang yang tinggal ditempuh dalam waktu satu jam membuat saya bersemangat dan sempat lupa diri. beberapa kali saya emosi dan membalap motor lain, bahkan antara Purworejo – Salaman saya sempat balapan dengan pengendara motor lain yang menantang saya dan menyebabkan saya hampir saya tabrakan adu kambing dengan pengendara motor dari arah berlawanan.

beberapa detik menjelang tabrakan saya banting stang ke kanan, untungnya dari arah berlawanan tidak ada kendaraan. saya sempat melirik pengendara motor yang akan saya tabrak, rupanya dia sudah memejamkan mata karena takut saya tabrak. untungnya Tuhan masih melindungi saya dan saya terhindar dari tabrakan.

selepas Salaman saya berpisah dengan Adib. rumah Adib berada di Salaman, sementara saya di Mungkid. sekitar 10 kilometer dari Salaman. di sisa perjalanan ini saya bersantai, tidak menggeber motor bahkan terlalu santai, saya sempatkan melipir ke Borobudur dan bahkan melewati jalanan pedesaan yang rusak.

jam 3 saya sampai di rumah, total jenderal saya menghabiskan waktu 8 setengah jam di jalanan. begitu sampai di rumah, yang terpikirkan hanyalah tidur panjang. dan benar, setelah menghambur ke pelukan orang tua dan simbah putri, saya segera menghambur keharibaan kasur dan tertidur sampai isya.

etape terakhir, grasstracking!

keterangan :

konsumsi Pertamax : 60.000,00

kecepatan rata-rata : 70 km/jam

rute :

rute

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

14 KOMENTAR

  1. Huaaaa!!! jadi pengen pulang kampung pake Motor!!!

    Tapi gak pas hi-season gini,,hehehe

    Huhu..sempet mampir di Sate Ambal Kutowinangun juga toh mas :p

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here