tulisan ini saya kirimkan untuk Travelist Magz. artikelnya bisa dibaca disini.

 

“J, awas j…awas! Ono simbah meh liwat.1

Teriak anak-anak kecil beramai-ramai kepada J, yang sedang berjongkok hendak menyalakan petasan. J hanya tersenyum, lalu kembali berdiri dan menggandeng simbah lewat.

Anak-anak kecil itu lalu sibuk meminta para penduduk desa yang baru selesai menunaikan shalat ied untuk berhenti dan membuat pagar betis dengan perimeter 10 meter dari tempat J.

Setelah yakin tidak ada yang lewat, maka inilah gelanggang tempat J beraksi. Perlahan J berjalan mendekat ke tempat petasan diletakkan, jongkok sambil menyalakan korek dan membakar sumbu. Tak lama setelah sumbu terbakar, J berlari kecil. Anak-anak kecil sontak berlari menjauh, para penduduk desa menahan nafas, menguatkan hati. Para pemuda yang menunggu dari jarak lima meter dari J berdiri, mulai menutup kedua telinganya. Saya sendiri menutup satu telinga karena tangan saya lain sibuk mengarahkan kamera. Tak sampai lima detik kemudian petasan meledak.

BUMMMMMM!!

Mendadak telinga berdesing, seperti ada suara “ngiiiing” panjang dan berulang. Udara dipenuhi asap belerang dan taburan kertas hancur berkeping-keping memenuhi jalanan.

Di desa saya, petasan adalah budaya yang tidak terpisahkan di saat ramadhan sampai lebaran. Setiap malam, petasan akan bersautan dengan suara adzan isya. Sementara di saat fajar, petasan akan menyalak bersaingan dengan suara tanda imsak.

Ada beberapa long atau petasan yang tenar di desa saya. Long dor atau petasan silindris yang serupa dinamit, long ses atau petasan yang bisa meluncur serupa roket, long ses dor atau petasan yang meluncur menuj sasaran lantas meledak dan mirip roket dengan pelacak arah, dan yang terakhir long bumbung atau petasan bambu yang serupa meriam. Semua petasan ini silih berganti meledak di pagi atau malam.

Anak-anak kecil sudah terbiasa dengan hal ini sejak kecil. Jadilah anak-anak di desa tumbuh menjadi pemberani, membeli petasan sendiri, menyalakan, lalu berteriak-teriak kegirangan. Jika sejak umur lima tahun, anak-anak sudah terbiasa menyalakan petasan, lantas usia 10 tahun sudah mulai meracik petasan sendiri. Maka kembang api tidak ada artinya di desa saya, menyalakan kembang api bisa jadi justru akan ditertawakan anak-anak kecil yang sejak kecil sudah bermain-main dengan petasan seperti anak-anak kecil di Afrika yang sejak kecil sudah akrab dengan Avtomat Kalashnikov alias AK-47, senapan popular buatan Rusia.

Perang petasan bisa berlangsung selama sebulan penuh saat ramadhan dan berpuncak pasca shalat ied. Perang long bumbung biasanya dilakukan dengan dua kubu saling berhadapan, bumbung / moncong petasan yang terbuat dari bambu dan serupa meriam diatur dengan kemiringan dan jarak tertentu. Setelah dipanasi beberapa lama, maka dentuman yang keluar dari moncong bambu mulai bersahut-sahutan satu sama lain. Terkadang di moncong meriam ini diisi peluru dari kertas yang dibentuk bulatan padat atau diisi kaleng yang didalamnya berisi kerikil, jadi saat ditembakkan akan terdengar suara gemerincing.

Yang lebih gila adalah pesta petasan di Hari Raya, semua laki-laki di desa turun ke jalan dengan petasan di tangan. Lalu usai shalat ied, pesta dimulai. Satu persatu dentuman ledakan petasan bersaingan dengan suara bedug lebaran. Jalanan mendadak dipenuhi kertas dan asap belerang, telinga bisa sampai pekak karena suara ledakan yang membahana. Sejenak suasana desa mirip suasana perang Afghanistan, sahut-sahutan suara dentuman mirip suara ledakan granat dan asap tebal memenuhi jalanan, mirip rasanya saat tentara Amerika terjebak oleh kepungan tentara Taliban.

Di balik pesta petasan nan meriah ini ada peran besar J. Dia adalah maestro petasan yang mungkin kemampuannya mirip dengan ahli bahan peledak. Dari tangannya, dia mampu membuat takaran yang pas untuk sebuah petasan hingga memiliki daya ledak tinggi, suara yang membahana, dan mampu menghancurkan kulit petasan menjadi serpihan-serpihan kertas yang sangat kecil.

J, dalam kesehariannya tak berbeda seperti penduduk desa kebanyakan yang saat pagi buta pergi ke sawah, bertani, lalu pulang di sore hari. Tapi pamor J akan berubah sejak ramadhan dimulai hingga idul fitri. J akan berubah peran laksana Prabowo Subianto di era kejayaannya sebagai Komandan Kopassus. J adalah komandan dalam dunia petasan yang marak di desa. Ya, J terkenal sebagai peracik petasan yang handal sekaligus pemberani karena membuat petasan besar dan mampu menyalakannya.

Biaya untuk pesta petasan tidak kecil, bisa mencapai jutaan rupiah. Biaya yang besar ini bisa didapat dengan patungan, namun terkadang juga berasal dari kantong pribadi. Biaya ini habis untuk membeli obat petasan dan ubo rampe lainnya seperti lem dan sumbu petasan. Obat petasan harus dibeli jauh-jauh hari dan sembunyi-sembunyi untuk menghindari endusan polisi karena biasanya polisi akan menangkapi para pembuat petasan, seperti beberapa tahun silam ketika nama J tercatat dalam daftar pencarian polisi. Polisi datang ke desa, menanyai J tapi mereka tidak mendapat barang bukti. Sesaat setelah polisi meninggalkan desa, suara dentuman petasan kembali membahana dari arah persawahan dan pesta kembali berlanjut.

Selain biaya yang besar, pesta petasan juga membutuhkan berkilo-kilo kertas sebagai kulit petasan yang berbentuk silinder. Biasanya J dan teman-temannya akan mengetuk pintu-pintu rumah warga untuk meminta kertas dan warga desa akan dengan sukarela memberikannya, atau biasanya anak-anak kecil sudah menyetor kertas-kertas untuk J yang bisa jadi adalah bekas buku-buku sekolah mereka.

Setelah bahan-bahan yang dibutuhkan sudah lengkap, J segera membuat petasan-petasan dalam berbagai ukuran. Dalam proses pembuatan ini J seperti memiliki laboratorium sendiri yang digunakan akan menakar bahan-bahan untuk petasan, membuat silinder-silinder dari kertas untuk kulit petasan, memasukkan racikan tadi, dan terakhir, memasang sumbu petasan.

Sebagai seorang maestro, J tidak lupa mengkader penerus-penerusnya. Mereka yang ingin belajar membuat petasan biasanya akan menyambangi rumahnya dan ikut membuat petasan. J langsung menularkan ilmunya sehingga selain mirip laboraturium, rumah J juga berubah menjadi semacam workshop pembuatan petasan.

Petasan J tidak ada yang berukuran kecil, silinder-silinder petasan itu memiliki diameter yang cukup membuat jeri. Diameter terbesar yang pernah dibuat adalah sebesar diameter ember. Sumbunya panjang dan dinyalakan dari jauh, saat meledak dentumannya sanggup menggetarkan kaca-kaca di rumah, bahkan beberapa hingga pecah. Jika dinyalakan di aspal, tak jarang aspal akan retak. Jika dinyalakan di sawah maka tanah akan berlubang dan dentumannya bisa terdengar sampai ke pelosok desa. Warga sudah akrab dengan petasan besar dan suara ledakan yang memekakkan telinga, hal ini membuat kembang api seolah tidak artinya di sini. Kembang api hanya dinyalakan oleh balita, sementara anak-anak kecil mulai dari SD sudah mulai menyalakan petasan dan akan mahir membuat petasan di saat usianya beranjak remaja.

Perayaan ini bukannya tanpa bahaya. Namanya juga bahan peledak, sekecil apapun kadarnya pasti menyimpan bahaya yang besar. Saya sendiri pernah menjadi korbannya. Saat hendak menyalakan petasan bambu, tiba-tiba petasan tersebut sudah menyala karena ternyata masih ada bara api yang tersisa hingga meledak sendiri. Hasilnya rambut di alis saya tercerabut semua, gundul dan jadilah saya tidak beralis.

Beberapa korban petasan mengalami nasib lebih parah. Beberapa tahun lalu pesta petasan di desa sempat dihentikan karena ada anak kecil yang kehilangan beberapa jarinya yang terkena ledakan petasan. Anak tersebut sedang mencoba membuat petasan dan sialnya serbuk-serbuk belerang tersebut meledak sehingga kehilangan beberapa jarinya.

Selain resiko di atas, para pembuat petasan juga menghadapi resiko ditangkap oleh polisi. Sejak zaman dulu, pengawasan polisi untuk menghadapi para pembuat petasan terbilang ketat. Jika ketahuan bisa langsung ditangkap. Saya memiliki pengalaman saat menemani teman membeli serbuk-serbuk belerang dan campuran untuk bahan petasan. Ada suatu kampung yang menjadi pusat bahan-bahan petasan. Di sana untuk bahan-bahan petasan disembunyikan di berbagai sudut kampung, ada yang di kebun, di kandang kambing, pokoknya ditempatkan dalam sudut-sudut rumah yang tersembunyi. Namun karena banyaknya razia dan para penjual bahan petasan tertangkap polisi, maka para penduduk berhenti menjual bahan petasan hingga kini.

Membawa bahan petasan juga memiliki resiko tersendiri. Bahan petasan tersebut rentan akan api. Bahkan percikan api sekecil apapun bisa memicu ledakan yang besar. Waktu itu setelah membeli bahan petasan dan kembali ke rumah, sepanjang perjalanan saya tidak berhenti berdoa supaya tidak terjadi apa-apa. Membawa hampir dua kilogram bahan petasan di dalam angkot yang penuh para perokok sudah bisa menjadikan angkot tersebut seperti mobil bom bunuh diri.

Namun bukan bermaksud mengabaikan resiko-resiko diatas, tradisi pesta petasan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Warga pun tidak berkeberatan karena semuanya turut serta. Pesta petasan adalah hiburan bagi warga desa, setiap dentuman adalah senyuman warga desa, setiap serpihan kertas yang jatuh ke tanah adalah tawa lepas anak-anak yang berlarian sambil menyumbat telinga.

Pesta petasan juga merupakan arena kebanggaan dan eksistensi desa. Di desa setiap dusun berlomba-lomba membuat petasan terbesar dengan suara dentum ledakan terkuat. Disinilah J muncul sebagai pionir. J yang membawa nama dusun kami terkenal di desa yang lalu membawa nama desa menjadi terkenal di seantero kecamatan, terkenal karena petasannya. Desa yang memiliki dentuman petasan menembus dalam radius berkilometer-kilometer jauhnya akan menjadi terkenal dan disegani, maka petasan adalah kata lain dari kebanggaan sebuah desa.

J adalah simbol eksistensi desa. Di tangannya nama desa dipertaruhkan sebagai desa dengan petasan terlantang, di setiap letusan petasan ada nama desa yang akan menjadi kebanggaan dan di suatu desa kecil di  Jawa Tengah ini suasana lebaran dirayakan seolah di medan perang.

“wis urung lek do lewat kuwi?2 kata J.

“durung, wes sing kui diurupke nang sawah wae, nek nang kene mbebayani uwong3 timpal seorang warga.

J segera pergi ke sawah di pinggir desa dengan membawa petasan terbesarnya, tak  sampai lima belas menit kemudian terdengar suara letusan.

BUMMMMMMMMMMMM!!

Pesta usai dan J kembali dielu-elukan namanya di idul fitri tahun ini.

1 “Ono simbah ameh lewat.” : ada kakek mau lewat.

2wis urung lek do lewat kuwi?” : itu sudah pada lewat belum?

3“durung, wes sing kui diurupke nang sawah wae, nek nang kene mbebayani uwong” : Belum, petasan yang itu dinyalakan di tengah sawah sana saja. Kalo disini bisa membahayakan orang lain.

J : bukan nama sebenarnya, disamarkan.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

10 KOMENTAR

  1. Huahahah..jadi inget dulu di kampung nyokap juga ada tradisi bikin petasan..tapi kok sekarang ga ada ya?? haha

    owh..pantesan di jalanan daerah rumah mas chan banyak banget serpihan petasan ya! hahahah..

    saya dulu pernah membantu teman buat bikin petasan..seru..melinting-linting cangkang..kemudian memasukan bubuk peledak..hahahaha! Ahhh..kapan bisa lagi ya..

  2. hahay, baca tulisan ini jadi inget saya dulu waktu kecil juga seneng bikin petasan,, dulu sih seneng banget, bikin, maen lempar – lempar an petasan. tapi sekarang denger aja udah kaget, kapok! hehe

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here