Eargasm : noun. The sensation one gets while hearing a dramatic climax in music. Urbandictionary.com

Eargasm, walaupun belum termasuk kosakata resmi namun sudah masuk dalam perbendaharaan bahasa slank. Jika Orgasme adalah puncak kenikmatan sensual yang bisa membuat pria/wanita berteriak penuh kepuasan setelah mencapai puncak surga syahwat duniawi mereka, maka Eargasm adalah puncak menikmati syahwat musikal yang ditangkap telinga, merasuk ke hati, terngiang di pikiran dan membawakan klimaks berupa kepuasan tiada tara.

Pacar saya sebelum saya ajak nonton konser sempat bertanya : “itu band apa sih yank?”

Karena pacar saya yang di Jakarta dan dia yang membeli tiket, waktu itu saya jawab : “itu band post rock, ini lagu-lagunya ada di ipod..bawa aja kalo mau dengerin..”

Walhasil dalam hitungan hari pacar saya langsung suka dengan musik –musik Toe, “yank, musiknya bagus..simple tapi bikin semangat”. Begitu katanya lewat BBM.

Dan saya hanya tersenyum-senyum saat membacanya. Sampai seminggu kemudian saya bertemu dengan pacar untuk berangkat nonton Toe bersama.

Sebenarnya menonton konser Toe pada 18 Maret 2012 lalu adalah bless in disguise bagi kami. Sebelumnya kami berdua berencana ke Balikpapan pada tangal tersebut, sayang seribu sayang ternyata ada kuliah pengganti di hari sabtunya, jadilah kami batal ke Balikpapan dan mendapati kami berada di Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajahmada.

Sebelumnya saya sempat berpikir alangkah sayang jika melewatkan Toe dan pergi ke Balikpapan, Toe bagi saya adalah band post – rock yang membangkitkan saya dari masa-masa terpuruk sekitar 2 tahun lalu. Hentakan musiknya yang bersemangat serta aura yang dibangun kuartet asal Tokyo ini sangat menggugah. Agak sedikit kaget juga saat tahu Star D berhasil memboyongnya ke Jakarta, Puji Tuhan untuk mereka dan keberuntungan saya kembali berlipat ganda saat tahu bahwa penonton yang menonton Toe sangat sedikit untuk ukuran konser band post rock internasional, saya rasa tidak sepenuh saat pendahulunya Mono konser di Bandung sebelumnya. Atau mungkin yang lain sedang menonton Kangen Band konser di Monas? Saya tidak tahu.

Kami tiba di Gedung Arsip Nasional sekitar pukul 5 sore, suasana masih lengang dan antrian masuk belum dibuka. Sambil duduk – duduk menghabiskan waktu saya sempat memuji promotor yang memilih venue disini, saya rasa promotor hendak membangun suasana intim kepada para penonton konser. Antrian dibuka sekitar pukul 18.30, kami berdua tergopoh-gopoh dari masjid untuk antri. Rupanya antrian tidak terlalu panjang, jadi kami tidak terlalu khawatir tidak mendapat tempat di dalam.

Memasuki bangunan utama, penonton diarahkan menuju panggung yang terletak manis di tengah taman. Berkonsep panggung terbuka dengan membuat 3 angle yang bisa dinikmati oleh penonton. Dari sisi depan, kiri dan kanan. Sound panggung pun ditata agar suara dari Toe bisa dinikmati penonton di 3 sisi tersebut. Berkah berikutnya adalah saya bisa mendapat tempat yang nyaman untuk melihat aksi Mino Takaaki, Yamazaki Hirokazu,  Yamane Satoshi dan Kashikura Takashi dari atas panggung.

Tak berapa lama terdengar suar pengumuman dari promotor mengenai aturan saat konser, termasuk dilarang menggunakan blitz saat memotret di venue. Jika ada 1 saja kerjapan blitz, maka konser akan langsung dihentikan saat itu juga. Tegas namun saya sangat salut dengan aturan ini, benar saya kesini ingin menikmati kuartet ini, bukan memfoto aksinya lalu berpamer di social media.

“Kesederhanaan sebenarnya adalah kerumitan yang paling tinggi” quotes legendaris oleh cendekia italia Leonardo Da Vinci ini tampaknya cocok disematkan pada Toe. Tidak banyak bicara saat membuka konser pun sudah cukup membuat histeria massal penonton, tidak perlu ucapan basa-basi pemanis dalam bahasa indonesia semacam ucapan “selamat malam”, “apa kabar indonesia” untuk membuat penonton menggila. Toe membuat langkah sangat sederhana saat mengawali konser, datang ke panggung, cek sebentar, menghormat dan langsung menggeber nomor-nomor mereka.

Tidak ada tata panggung megah dan superlatif, sederhana sekali. Apabila sering menonton cuplikan video konsernya, pasti paham apa yang saya maksud. Toe membangun keintiman dengan penonton dengan musik mereka, sepenuh jiwa. Bahkan personel Toe tidak mengenakan baju yang lebay semacam band-band Indonesia yang tiba-tiba latah berjaket kulit saat di atas panggung atau tiba-tiba latah bergaya seperti artis korea, setelan yang digunakan Toe hanyalah kaos oblong dan celana jeans, simple, casual. Oia, bassist Satoshi tetap tampil dengan topi andalannya seperti di video konser-konser mereka.

Nike membuka perjumpaan Toe dengan penggemarnya yang sudah mengharap orgasme musikal malam itu. Awalnya lagu dimainkan cukup santai, mengalun dengan tempo yang tidak terlalu cepat, penonton di depan panggung sudah mulai menganggukkan kepala, ritual kaum pemuja musik post-rock/shoegaze untuk trance dengan musik band pujaan mereka. Saat jamaah Toe sedang menuju alam trance mereka tiba-tiba tempo drum dinaikkan dengan semena-mena Takashi, mendadak penonton yang menuju alam trance dibawa kesurupan, tangan dan kaki mereka menghentak-hentak tak berhenti. Duet Gitaris berubah dari tipikal orang Jepang yang kalem menjadi seorang pemain gitar yang buas dan mencabik-cabik gitar mereka dengan liar.

“Anjing!” teriak saya pada penonton di belakang saya. Bagaimana tidak, saya yang hendak menikmati orgasme musikal terpaksa harus mengucap sumpah serapah kepada penonton yang tak tahu adat di belakang saya yang menyandarkan tangan seenaknya di bahu saya untuk mengambil foto. Pacar saya sudah menarik-narik saya, saya gondok setengah mati, ini baru lagu kedua. Konfrontasi dengan penonton di belakang saya akhiri dengan nada tinggi “Mas, yang sopan! Elu mau moto, apa mau nonton?kalo mau moto jangan disini!”

Orgasme  musikal yang sempat terganggu selepas lagu pertama butuh penyelesaian di lagu kedua, I Dance Alone yang dibawa tanpa ampun membawa saya ke dunia saya sendiri, dunia dimana syahwat-syahwat musikal dalam diri saya dibawa terbang ke surga musikal. Tuhan tahu selama ini saya melampiaskan orgasme musikal saya secara swalayan dengan menonton konser mereka di komputer. Rupanya Tuhan mengajak hambaNya bertobat dari model pemuasan orgasme swalayan dengan mendatangkan pemuasnya langsung dari Jepang. Repetan gitar Takkaki, teriakan penonton yang menggila, betotan bass  Satoshi yang menggema ditimpali oleh upbeat tempo Takashi dengan beringas. Maka di tengah lagu saya mengawang, trance dan di ujung lagu saya merasa ada yang seperti meledak di kepala. Tampaknya orgasme musikal saya hampir sampai dan terlampiaskan.

Shit, rupanya Toe bukan band kacangan yang langsung memuaskan penonton di awal. Saya dibawa penasaran, orgasme musikal yang hampir saya capai di lagu kedua dihentikan mendadak dan membuat saya penasaran setengah mati. Ah, saya kentang, kena tanggung. Tapi itulah hebatnya, alih-alih menciptakan nuansa eargasm di awal, Toe lebih mengajak penonton menikmati kepuasan dengan pelan-pelan. Lagu demi lagu dibawakan dengan tempo yang berubah-ubah, naik turun, memainkan emosi, memancing histeria sampai hilang akal.

Setelah membawa penonton melewati foreplay yang ganas, Toe mendinginkan suasana dengan menyajikan repertoar akustik. Penonton dibawa hanyut ke alam musikal yang menyajikan kemegahan dalam kesederhanaan musik. Ketukan demi ketukan membawa haru biru suasana dan akselerasi musik yang tiba-tiba kencang membuat penonton sibuk dengan pikiran mereka sendiri, di titik ini saya sudah trance, hanyut, pasrah, kenikmatan ini sudah membuat saya hilang akal. Tuhan, mereka hebat.

 

“Yank, lagu yang ada vokalis ceweknya kog belum ya?” tanya pacar saya, rupanya pacar menanyakan lagu Goodbye yang di video konsernya dibawakan duet bersama biduan Jepang nan cantik, Tori Asako. Seusai nomor akustik yang adagio dengan lagu After Image, 1/21 dan dilanjutkan terburu-buru nomor Ordinary Days belum tampak lagu anthem kesayangan penonton itu akan dibawakan.

Suasana malam itu makin syahdu dan hening, saat mendadak nyanyian lirih membuai terdengar dari atas panggung

“There is no one can understand me……”

Baru satu kalimat intro lagu dibawakan, langsung tercipta koor massal penonton, nomor Goodbye yang menjadi senjata kuartet Jepang ini untuk menggugah penonton. Pacar saya mencengkeram tangan saya kegirangan dan ikut bernyanyi riang sambil menganggukkan kepala tanda senang. Ah, romantis sekali malam ini, dibawah taburan bintang, kami yanyikan lagu kesayangan kami berdua.

Eksekusi lagu Goodbye yang dibawakan mereka berempat membuat saya merasa mereka adalah virtuoso. Bagaimana ekspresi personel di atas panggung yang syahdu menikmati berbalut dengan loncat kegirangan penonton adalah bukti mereka adalah pemusik yang tahu bagaimana cara menikmati dan menikmati musik dengan indah. Improvisasi mereka ciamik, tidak perlu ditanyakan lagi. Permainan musik yang rumit disajikan dengan sederhana, secara teknik saya sembah sujud pada mereka berempat.

Koor massal di Goodbye membuat suasana panggung makin panas. Sesekali Satoshi mengelap keringat yang mengucur, berempat bekerja keras memuaskan nafsu syahwat musikal para penonton yang menantikan klimaks yang mendebarkan. Repetan gitar bersaut-sautan dengan dentuman ditimpali raungan – raungan penonton yang mencari kepuasan mereka, seolah kesetanan deburan drum yang semakin deras menghajar suasana malam itu. Saya berteriak-teriak kesetanan bersamaan dengan pacar yang melompat-lompat kegirangan. Ah, rupanya saya mencapai puncak disini, puncak kenikmatan dari sisi musikal saya. Seolah ada yang meledak dari diri saya, saya eargasm untuk pertama kali disini. Kegirangan, tersenyum bodoh, puas. Hanya itu yang saya dan pacar rasakan. Sensasinya benar-benar hebat!

Lagu berikutnya adalah semacam ekstase penenang bagi kami berdua. Momen afterplay yang pas untuk mendinginkan suasana. Saya sudah terpuaskan di lagu Goodbye, jadi lagu berikutnya akan jadi momen kami untuk menikmati suasana. Tapi tampaknya banyak penonton yang belum terpuaskan dan masih mencari pelampiasan kepuasan mereka dengan berbagai cara, ada yang melakukan ritual kaum post-rock, ada yang melakukan upacara khas kaum shoegaze dengan termenung menatap sepatu, ada yang melompat-lompat kegirangan mencari trance.

Ketukan rumit dari drum plus metronome elektrik diiringi petikan gitar renyah mengawali lagu New Sentimentally. Lagu ini tidak dibawakan lagu seganas lagu-lagu sebelumnya, dibawakan dengan sedikit santai. Tapi dugaan saya salah, tiba-tiba lagu dibawa beringas yang membuat crowd melonjak-lonjak kegirangan. Ah, Toe rupanya masih menggila, saya yang sedang menikmati suasana afterplay tiba-tiba terpancing lagi. Saya kembali panas.

Ah, sialan. Tiba-tiba seusai lagu ini, Toe meninggalkan panggung dalam diam. Mengawali konser dengan sederhana, mengakhiri konser dengan diam. Ah, saya yang hendak panas rupanya harus pasrah karena konser sudah berakhir. Tapi itu tak menyurutkan  penonton  berteriak “We, Want More! We, Want More!” ya, kami minta encore.

Saya bahkan sudah menggamit tangan pacar saya untuk pulang ketika tiba-tiba personel Toe berlarian di atas panggung. Wah! Senangnya! Saya berteriak dalam hati “Wah bakal multiple eargasm nih!”

Saya meniatkan lagu encore untuk mencari multiple eargasm, tak ada salahnya bukan? Kepuasan yang didapatkan berkali-kali tentu rasanya lebih nikmat daripada hanya sekali. 2 lagu encore dipilih lagu Past and Language dan Path. Tipikalnya sama, petikan gitar yang menghanyutkan disambung dengan ketukan drum sederhana yang mengawang.

Dari Past and Language saya menikmati musik yang naik turun memainkan emosi, secara mendadak tempo dinaikkan secara tiba-tiba pula tempo turun dengan pelan lalu diakselerasikan maksimum mencapai puncak. Di pertengahan lagu sepersekian detik suasana hening ditimpali petikan lirih gitar elektrik lalu tiba-tiba dihajar dengan gebukan dram bertubi-tubi tanpa ampun ke pucuk kulminasi lagu ini. Di tiga perempat lagu, tempo dibawa turun lalu mendekati akhir lagu suasana dinaikkan dengan menaikkan tempo lagu mendadak, drum, bass, dan gitar digeber kesetanan. Past and Language diakhiri dengan petikan gitar yang tenang. Akhir lagu yang menyenangkan.

Petikan gitar mengantarkan lagu Path, tapi ini bukan lagu yang manis karena berikutnya ada gebukan drum yang galak mengiring. Tempo kembali naik turun dan saya yang mencari multiple eargasm semakin menggila di nomor ini. Toe memang tipikal band yang mampu mencampur adukkan emosi penonton. Tempo yang naik turun semakin membuat penonton menggila lupa daratan. Sedikit solo gitar dan suara efek di tengah lagu cukup membuat crowd melayang-layang, dikagetkan dengan hentakan dram dan disusul betotan bass mengantarkan lagu ini ke klimaks. Dan saya terpuaskan, tempo semakin cepat menuju akhir lagu. Dan membawa ledakan emosi di akhir lagu. Saya terpuaskan, pacar terpuaskan, semua penonton terpuaskan.

Harmonisasi kuartet ini cukup membuat penonton mencapai apa yang namanya eargasm simbol kepuasan tertinggi menikmati syahwat musikal. Toe tahu bagaimana teknik tinggi bermusik yang menghasilkan sinkronisasi nada-nada yang rumit dalam lagu mereka namun disajikan secara sederhana adalah paduan untuk menciptakan sebuah lagu yang bagus dan akan dikenang.

Dan bagi saya, di 2012 ini Asian Tour 2012 The Five Six Seven dari Toe ini adalah eargasm yang akan saya ingat selamanya. Mungkin akan susah mencari momen eargasm seintim ini berikutnya. Konser yang sangar.

Tabik.

Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi #Note2Write oleh Samsung Indonesia, dan dikurasi oleh mas Adib Hidayat.

 

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

4 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here