kawah sikidang

Sudah sejak lama, Dieng menjadi destinasi wisata populer. Kata paman saya, sejak tahun 1980-an. Saya sendiri sejak SD sudah sering sekali mendengar dharmawisata yang dilaksanakan di Dieng. Secara geologis, Dieng adalah sebuah dataran yang timbul dari sisa – sisa kawah gunung api mati yang sudah tidak aktif. Nama bekennya adalah Dieng Plateau / Dataran Tinggi Dieng.

Sebagai bekas kawah gunung berapi, Dieng memiliki bentang alam yang unik dan khas yang tidak ada padanannya di Jawa Tengah. Dataran Tinggi Dieng dibentengi beberapa Gunung di sekelilingnya, seperti Gunung Perahu dan Pakuwojo. Dataran yang membentang dibentengi pegunungan ini memberi kesan kita berada di lapang luas setelah kita menyibak areal pegunungan. Kawasan Dieng yang notabene dulunya adalah kawah gunung berapi tentunya masih memiliki sisa sisa karakteristiknya. Hal ini berupa beberapa kawah yang tersebar di penjuru Dieng dan tentulah menjadi incaran para pengunjung.

Tapi sayang ornamen alam yang digoreskan di Dieng ini terguncang dengan berbagai macam masalah yang mau tidak mau menggoyahkan keindahan alamnya. Tentunya kita tidak boleh lupa dengan kasus para petani kentang yang secara sporadis dan spartan menanam Dataran Tinggi Dieng dengan kentang. Merubah dataran nan hijau membentang dengan ladang-ladang kentang, bahkan sampai di dataran yang super miring pun tak lepas dari serbuan tanaman kentang ini.

Di era 1980-1990 an, memang Kentang adalah primadona bagi para petani di Dieng. Tak jarang banyak yang menjadi saudagar karena budidaya kentang di sekitar kawasan Dieng. Namun akibatnya sekarang yang terjadi adalah penurunan kualitas lingkungan di Dieng akibat budidaya kentang yang seolah membabibuta di masa lalu. Daerah resapan air yang habis karena banyak pohon yang ditebangi untuk lahan ladang kentang, akibatnya banyak sumber mata air yang hilang. Tak kurang 138 mata air kemudian mati karena hilangnya daerah resapan air ini.

Masalah berikutnya adalah menurunnya kualitas kesuburan tanah. Tak lain tak bukan adalah karena penggunaan pupuk kimia untuk budidaya kentang di masa lalu. Secara sederhana, pupuk kimia tersebut merusak keseimbangan unsur hara di dalam tanah yang justru berujung petaka, membuat tanah menjadi tidak subur. Hal inilah yang cukup menjadi masalah bagi petani kentang di Dieng. Belum ditambah lagi dengan kegagalan panen kentang yang mendera karena serangan hama. Semakin kompleks lah masalah yang dihadapi Dieng, mulai dari habisnya resapan air, turunnya tingkat kesuburan tanah, ujungnya-ujungnya adalah kerusakan lingkungan di sekitar Dieng.

Mungkin pengunjung tidak mengerti, di balik lamunannya melihat panorama hijaunya bentang alam Dieng dan serbuan angin dingin pegunungan sesungguhnya Dieng memiliki masalah yang pelik. Disaat pengunjung mengagumi keindahan alam Dieng, sesungguhnya Dieng sedang berjuang agar tidak sekarat. Cukup menjadi ironi karena dibalik keindahan terdapat masalah yang cukup memprihatinkan.

Untungnya Wonosobo memiliki Bupati yang berkomitmen mengembalikan kelestarian Dieng, Abdul Kholiq Arif yang baru-baru ini terpilih menjadi salah satu bupati terbaik pilihan majalah Tempo 2012. Komitmennya adalah mengembalikan Dieng kembali asri dengan menggandeng Yayasan Kehati menghidupkan kembali penanaman pohon di kanan kiri sungai / kakisu dan juga penyuluhan kepada pelajar – pelajar sekolah dasar pentingnya menjaga alam dan lingkungan. Semoga saja langkah-langkah konservasi ini bisa berhasil dan mengembalikan Dieng menjadi kembali asri dan hijau sebenar-benarnya hijau.

Telaga Warna

Kemudian yang cukup mengernyitkan dahi adalah ketika memasuki Dieng, kawasannya seperti terkapling-kapling. Memang Dieng terdapat pada irisan wilayah Wonosobo dan Banjarnegara, separuh Wonosobo, separuh Banjarnegara. Hal ini berakibat pada pengelolaan yang terpecah dan tidak padu. Kesannya seperti perlombaan membangun antar Kabupaten dan mungkin bisa jadi pembangunannya menjadi tidak selaras.

Seandainya bisa duduk bersama dan merumuskan Dieng ke depannya seperti apa mungkin akan tercipta konsesi / kesepakatan untuk membangun Dieng bersama dan seirama. Sepanjang pengamatan saya saat ke Dieng (maafkan jika saya salah)  yang tampaknya lebih aktif membangun Dieng adalah Banjarnegara. Tapi Wonosobo pun tak ketinggalan, dengan beberapa sarana infrastruktur diperbaiki dan dipercantik.

Saya rasa perbaikan demi perbaikan ini memang mutlak adanya, Dieng sudah kadung makin terkenal sehingga mau tak mau harus mempercantik. Wisatawan datang dan pergi, demikian adanya sehingga perlu keseriusan mengelolanya. Masalahnya adalah hal ini perlu komitmen semua pihak. Tidak cuma membebankan kepada pengelola namun juga etika pengunjung juga harus dididik.

Kenapa etika pengunjung perlu dididik? karena banyak sekali sampah bertebaran di sembarang tempat. Bahkan di Telaga Warna / Pengilon sampah sampai ke bibir telaga, mengendap. Saya keheranan sendiri sekaligus geram, padahal di sekitar Telaga sudah banyak sekali bak sampah dengan jarak antar tempat sampah satu dengan yang lain tidak terlalu jauh. Entah, tapi membebankan kebersihan ini kepada pengelola juga kurang arif, menyalahkan petugas kebersihan juga tidak elok karena bisa jadi SDM terbatas dibandingkan volume sampah yang dibuang pengunjung.

Bagaimana pengunjung bisa menikmati panorama yang elok? jika harus dihiasi tebaran sampah? Saya sampai-sampai tertunduk melihat saat itu ada serombongan orang entah darimana yang sedang makan siang di pinggir telaga namun kardus-kardus nasi mereka dibiarkan begitu saja, tidak disatukan lalu dibuang. Padahal anjuran untuk membuang sampah pada tempatnya sudah merebak dimana-mana, tapi mungkin dianggap angin lalu atau mereka pura-pura tidak melihat. Entah, sebagai pengunjung pun kita masih jauh dari bersikap benar.

Masalah berikutnya adalah soal perawatan, mungkin. Kembali saya menemukan bukti bahwa bangsa Indonesia itu pintar merancang, pintar mencipta namun enggan merawat. Kondisi ini saya liha di Museum Dieng Kailasa, padahal museum ini menyimpan artefak-artefak dari era Jawa Kuna yang ditemukan di sekitar Dieng. Saya cukup tertegun melihat artefak-artefak ini dibiarkan berdebu, kemudian bangunan yang didesain melingkar dengan panel panel diorama juga mengalami kebocoran di bagian atap. Semoga segera ada perbaikan, karena saat saya kesana memang sedang ada perbaikan dan perawatan bangunan museum.  Jika tidak, ya percuma saja membuat museum untuk menyelamatkan artefak-artefak tersebut karena pada kenyataannya tidak dirawat.

Tapi dibalik itu semua saya kira perkembangan Dieng sudah cukup bagus. Sebagai tempat wisata sudah cukup nyaman untuk dikunjungi. Hanya saja ke depannya perlu untuk mengantisipasi membludaknya pengunjung terutama di waktu-waktu tertentu, seperti saat dilaksanakannya Dieng Culture Festival misalnya. Semoga hal – hal yang saya tulis tadi yang merupakan hasil pandangan saya di lapangan bisa segera menjadi perhatian. Atau mungkin sudah diperbaiki dan sekarang mungkin sudah semakin bagus, semoga saja. Tentunya semua pasti berharap Dieng tetap molek dan elok.

Bagi pengunjung yang hanya ingin mengunjungi Dieng dan menikmati keindahan nan surgawinya, mungkin tak usah banyak berpikir seperti saya. Dieng indah kog, hijau, dingin dengan masyarakat yang murah senyum. Abaikan pikiran aneh-aneh seperti saya jika ingin menikmati keindahan Dieng dan pesan saya adalah jadilah pengunjung yang bertanggung jawab kepada lingkungan yang dikunjungi.

Salam.

Candi Arjuna
Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

12 KOMENTAR

  1. waww… terimakasih untuk kepeduliannya mas…
    saya spechless..
    saya kira tidak hanya Dieng saja,
    di negeri yang kaya akan budaya ini sangat disayangkan kesadaran masyarakatnya akan pariwisata justru masih sangat minim…

    • mel…saya cukup akrab dengan Dieng karena saya punya simbah di Garung, jadi perbedaan Dieng dimasa lalu dan sekarang benar-benar kentara ya..

      ini semua efek gunung es.masyarakat belum siap, pemerintah tidak tanggap dan pengunjung tidak peduli..

  2. bener banget mas, saat memasuki dieng, sekarang yg kita liat semua nya jadi kebun kentang. daerah resapan nya pasti kurang dan kalo nanti ujan deras + longsor, siapa yg mau disalahkan ??????

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here