Saat vakansi ke Pontianak kemarin saya merasa sangat beruntung bisa berkunjung ke salah satu kota dengan kultur budaya yang beraneka ragam. Pontianak memiliki percampuran budaya antara bangsa-bangsa Melayu, Dayak, Tionghoa, Arab dan peninggalan Kolonial Belanda. Hal ini bisa ditilik dari tata kota yang sangat teratur warisan Kolonial maupun bentuk arsitektur tempat tinggal yang merupakan campuran seni arsitektur dari berbagai bangsa. Terkadang kita bisa melihat ukiran Dayak pada atap rumah, namun kemudian kita bisa melihat ornamen Cina atau bahkan kaligrafi Arab di beberapa rumah.

Pontianak sedang bersolek menjelang Imlek Februari nanti, konon kata teman saya saat Imlek nanti warga Pontianak tumpah ruah ke jalan, turut menikmati keriaan Imlek. Tak hanya Peranakan Cina saja yang turut menikmati, tapi semua warga Pontianak. Imlek di Pontianak adalah hari raya penting yang disambut sukaria, pada saat Imlek tiket pesawat bisa melonjak naik tak masuk akal,bisa mencapai 1.200.000 sekali jalan dari Jakarta. Maklum, banyak yang ingin pulang kampung untuk merayakan Imlek di Pontianak.

Kultur budaya Cina sudah menyesap dalam budaya Pontianak, menjadi bagian tidak terpisahkan dari budaya keseharian di Pontianak. Percampuran budaya ini berlangsung sekian ratus tahun lamanya, sejak pertama kali bangsa Cina menginjakkan kaki hampir 400 tahun yang lalu, yang bahkan katanya bangsa Cina sudah datang di Pontianak sebelum ada Kota Pontianak itu sendiri. Menurut cerita, bangsa Cina di Pontianak adalah para pekerja yang datang berombongan, satu marga, satu desa, semua bermigrasi dari dataran Cina menuju Pontianak. Itulah mengapa, keturunan Cina di Pontianak lebih solider dan sangat kuat ikatan kekeluargaannya, mereka membangun hidup di tanah orang, tempat baru bersama-sama sampai beranak pinak hingga sekarang.

Bangsa Cina memiliki tempat khusus di Pontianak, mereka menghidupkan urat nadi perekonomian Pontianak bersama dengan suku bangsa lainnya, dan kemudian menjadikan Pontianak seperti sekarang. Namun entah kenapa, di mata saya Peranakan Cina di Pontianak unggul di bidang kuliner, sajian mereka selalu membuat lidah berdesis keenakan. Kedai Kopi Asiang contohnya, babah Kedai Kopi menyediakan kedainya sebagai melting pot bagi orang-orang Pontianak, beraneka suku bangsa datang ke Kedai Kopi Asiang setiap pagi untuk menikmati Kopi lezat buatan Koh Asiang.

Kedai Kopi Asiang adalah kedai kopi yang termasuk paling tua di Pontianak, dimulai sejak tahun 1950-an, lantas menjadi kedai kopi legendaris di Pontianak. Semua kopi diolah manual, diracik dari tangan pemilik kedai kopi. Koh Asiang yang tinggi besar dan bertato, meracik beratus-ratus kopi setiap harinya kepada pengunjung. Beraneka ragam penikmat kopi yang berasal dari suku manapun di Pontianak, menikmati sajian kopi dari seorang Peranakan Cina. Semua menikmati satu kopi, semua sepakat meneguk kopi lezat dari Koh Asiang.

Mari kita lihat, betapa racikan seorang Keturunan Cina mampu memenuhi selera lidah berbagai bangsa. Tanpa memandang lidah bangsa satu dengan yang lain, Koh Asiang meramu kopi sama rata, sama rata. Semua lidah terpuaskan dan menyatu dalam Kopi Koh Asiang. Selain dengan sendirinya, warung kopinya adalah wujud konkret dari sebuah demokrasi, dimana semua golongan, mau kaya-miskin, politisi-aktivis, tua-muda, dan sebagainya duduk bersama sama rendah. Secara tidak langsung warung kopi adalah sarang pertukaran ide, sarana dialog bersama dan wujud tempat pertemuan berbagai suku bangsa.

Lalu berkaca dari Warung Kopi Koh Asiang, milik seorang peranakan yang menyajikan kopi untuk semua golongan dan berdiri di atas semua golongan. Beberapa gelintir dari bangsa kita rupanya masih sibuk mendiskreditkan saudaranya yang lain. Seperti kasus ucapan seorang yang katanya calon presiden di twitter beberapa waktu lalu yang sangat tendensius dan memojokkan saudara-saudara Keturunan Cina. Saya pun tak tinggal diam, saya membalas beberapa twitnya dengan sedikit fakta peranan bangsa Cina di Indonesia, namun tampaknya balasan twit saya hanya angin lalu baginya. Tapi cobalah merenung, bagaimana mungkin seorang calon presiden lupa pelajaran sejarah saat SD – SMP – SMA bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan, Cina Selatan yang bermigrasi ke Nusantara dengan perahu bercadik. Terlepas sejarah itu versi siapa, namun jika benar, kita semua bersaudara, sama-sama berasal dari Cina.

Selain dari Warung Kopi Koh Asiang, saya merasakan budi baik orang-orang Cina Pontianak adalah saat bertemu Ibu Mariana di Vihara Bodhisatva Karaniya Metta di tepi Sungai Kapuas. Vihara ini termasuk vihara tertua di Pontianak, berdiri sejak 100 tahun yang lalu, vihara ini menurut Ibu Mariana adalah pindahan dari Vihara sebelumnya yang sudah berdiri 300 tahun lamanya.

Sebenarnya kekagetan pertama saya bukan dari Ibu Mariana, tapi dari para pengurus Vihara. Demi melihat saya kebingunan di depan Vihara, mereka mempersilahkan saya masuk dan memperbolehkan mengambil foto sepuas saya. Dan bahkan dengan senyum lebar mempertemukan saya dengan Ibu Mariana. Awalnya Ibu Mariana menolak karena sedang sibuk, namun saat mengetahui saya datang jauh-jauh dari Jawa, Ibu Mariana segera membatalkan kesibukannya dan mengantarkan saya berkeliling Vihara. Baik sekali, padahal sebelumnya saya sudah was-was, mungkin saya akan ditolak atau bahkan diminta pulang.

Bu Mariana sesekali berbicara dengan bahasa Tio Chiu kepada teman-temannya, saya kira sebelumnya bahasa Hokkian atau Khek. Beliau menerangkan bahwa Vihara ini sedang bersiap untuk Imlek, dan sedang direnovasi besar-besaran untuk menampung lebih banyak jamaah. Dengan senyumnya yang manis walaupun sudah sepuh, namun Bu Mariana tetap energik, memberi cerita sejarah nenek moyangnya dengan semangat. Tampak beliau tidak mau tergerus umur, dan terus bercerita. Saya terkesan dengan kebaikannya, tidak melihat asal muasal saya yang bahkan saja bukan jemaat dari Vihara itu, namun beliau dengan sangat baik memberi ruang kepada saya untuk masuk Vihara dan membebaskan saya memfoto, bertanya bahkan ketika saya mendekati patung di altar beliau tidak melarang, bahkan menceritakan kisah dewa-dewa yang patungnya terdapat di altar tersebut.

Berikutnya bahkan Bu Mariana menunjukkan tempat referensi lain jika ingin mempelajari sejarah dan budaya Cina di Pontianak, dia mengatakan ada sebuah tempat ibadah tua di kawasan Seng Hie, masih di tepian Kapuas. Di siang sudah menyengat itu saya segera menuju ke tempat yang dimaksudkan oleh Bu Mariana, ternyata tempat itu adalah sebuah rumah tua. Dugaan saya, rumah itu berasal dari akhir abad ke – 19 dan awal 20. Arsitektur rumah tersebut campuran antara gaya kolonial dan cina daratan.

Dengan ragu-ragu saya masuk ke dalam rumah yang pada bagian depan ada papan bertuliskan huruf cina dan pada bagian atas pintu ada insignia bertulikan Kuning Agung. Saya disambut oleh seorang perempuan yang menjadi pengurus yayasan, sayangnya saya lupa menanyakan namanya. Padanya, saya mohon ijin untuk masuk dan memotret beberapa sudut bangunan. Alih-alih mengizinkan, perempuan pengurus yayasan justru menjelaskan kisah sejarah Kuning Agung. Kuning Agung adalah yayasan Marga Huang se-Kalimantan Barat. Dalam catatan anggota, ada 2000 marga Huang yang tercatat di Yayasan Kuning Agung di Kalimantan Barat. Itu belum termasuk para marga Huang yang belum tercatat.

Dalam rumah yang kuno namun terawat tersebut terdapat lukisan dan foto diri para leluhur marga Huang. Kemudian pada altar terdapat papan nama kayu, mungkin jumlahnya ada ratusan yang digantungkan dan didepannya terletak dupa persembahan. Para keturunan marga Huang setiap hari melakukan penghormatan kepada para arwah pendahulu di gedung ini dan bersimpuh di depan altar. Rumah ini memang bukan tempat ibadah seperti Klenteng atau Vihara, namun tempat ini adalah tempat penghormatan kepada arwah leluhur sekaligus saksi kehidupan marga Huang yang berdiaspora ke Pontianak sejak ratusan tahun silam.

Diaspora bangsa Cina memang sudah terkenal sejak ribuan tahun silam. Dan itulah yang menyebabkan bangsa Cina menjadi bangsa yang tangguh. Termasuk marga Huang yang jejak diasporanya ada di tepian Sungai Kapuas dan terekam dalam bangunan tua ini. Menurut penuturan pengurus yayasan, setiap kurun waktu tertentu Marga Huang dari seluruh dunia melakukan konvensi dan berkumpul di satu tempat. Begitupun di Indonesia, setiap beberapa tahun sekali Marga Huang berkumpul dan menentukan pengurus. Sungguh benar-benar sistem persaudaraan yang luar biasa. Jika saat mengunjungi tempat tertentu kadang saya ragu-ragu memasukinya, maka di gedung Yayasan Kuning Agung ini saya justru dipersilahkan memasuki semua sudut ruangan tanpa terkecuali, dan bahkan tanpa ditemani oleh pihak yayasan. Jadilah saya puas memandangi gedung tua yang bersejarah ini.

Kebetulan di bagian belakang gedung sayup terdengar lantunan musik tradisional Cina, rupanya sedang ada latihan yang dilakukan oleh remaja-remaja Cina dan dilatih oleh seorang guru. Melihat saya datang serta merta mereka menghentikan latihan dan menyambut saya. Saya bercakap sebentar dan bercerita hanya inginmelihat latihan mereka. Namun apa yang saya terima, justru saya diajaknya ikut latihan, diperkenalkannya saya dengan alat-alat dan terakhir yang membuat dada saya sesak penuh keharuan, sang guru menjadi konduktor dan meminta anak-anak asuhnya menyanyikan lagu Manuk Dadali dalam aransemen musik Cina untuk saya, begitu beliau saya beritahu jika saya tinggal di Bandung. Luar biasa.

Saya bahkan tak bisa berkata-kata lagi. Diberi kehormatan masuk dan dipersembahkannya sebuah lagu membuat saya terdiam. Betapa baik perlakuan mereka kepada saya, yang notabene adalah orang asing. Sebenarnya diizinkan masuk pun saya sudah berterimakasih, tidak boleh berfoto pun tak apa karena saya sangat tertarik dengan bentuk arsitektur gedung ini dan kisah sejarah dibaliknya. Namun apa yang saya dapat justru berkali-kali lipat dari apa yang saya harapkan. Saya pun menitikkan air mata.

Saya merasa tertampar, saya disambut dengan sangat baik oleh mereka. Dalam hati saya tersenyum getir, tanpa melihat asal-usul saya mereka menyambut baik saya dengan tangan terbuka, menceritakan segala informasi sejarah mereka dan bahkan memberi saya sebuah buku sejarah tentang diaspora mereka. Lalu saya malu, bangsa Cina di Indonesia selama ini selalu dipojokkan oleh suku bangsa lain, termasuk oleh suku saya, Jawa. Diperlakukan diskriminatif selama ratusan tahun, bahkan dikebiri hak – haknya sebagai warga negara Indonesia. Namun mereka tetap teguh berjuang di Indonesia, bangga menjadi bagian dari Indonesia.

Dari perjalanan ke Pontianak, tidak sekadar kunjungan pada sebuah objek. Namun saya bisa mendapatkan lebih banyak pelajaran dari sisi sosial budaya, mendapatkan pengalaman humanis yang membuat cara pandang dalam hidup saya menjadi berubah. Peranakan Cina di Pontianak mengajarkan saya arti Pancasila sila ketiga dalam hal yang paling sederhana. Dalam secangkir kopi hangat, dalam sebuah Vihara dan dalam alunan musik tradisional Cina. Lalu saya berkaca, jika mereka memperlakukan saya sama. Memperlakukan saya seperti saudara. Sudahkah saya bersikap demikian pada mereka? Sudahkah bangsa Indonesia tidak lagi memandang ras dan warna kulit dan memperlakukan satu sama lain seperti saudara?

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

12 KOMENTAR

  1. saya tersentuh

    selama ini saya selalu mengira orang keturunan China membalas perlakuan diskriminatif negara dengan lebih eksklusif seperti yang biasa terjadi di jakarta. ternyata saya kurang melihat dunia.

    sebagai anak berkulit kuning dan bermata sipit saya seringkali mendapat diskriminasi saat kecil. entah dipanggil cina sengke..cina sengke. oleh anak-anak yang tidak saya kenal.

    tulisan ini menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan “cina-cina” di pontianak

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here