Lissoi

Dongan sa par ti naonan, o parmitu / Teman satu perasaan, oh peminum

Dongan sa pang kila laan, o lotutu / Teman satu dalam kesedihan

Arsak rap mangka lu pahon, o parmitu / Kesedihan sama-sama kita lupakan

Tole marap mangandehon, o lotutu / Mari kita sama-sama menyanyi

Lisoi lisoi lisoi liso Lisoi, lisoi

O parmitu lisoi / Angkatlah gelasmu

Lisoi lisoi lisoi lisoi / Lisoi, lisoi

Inum ma tuakmi / Minumlah tuakmu

Sirupma sirupma / Sirup dan sirup

Dorgukma dorgukma / Minumlah, minumlah

Handit ma galasmi / Angkatlah gelasmu

Sirupma suripma / Sirup dan sirup

Dorgukma dorgukma / Minumlah, minumlah

Ikkon rumar do i / Segera akan lega

Saya tertarik menulis ini berawal dari lagu Lissoi yang digubah oleh Seringai, salah satu band favorit yang sering saya putar lagu-lagunya di playlist. Lagu ini asalnya dari Tanah Batak, Sumatera dan diciptakan oleh Nahum Situmorang, seorang pencipta lagu – lagu batak yang sangat legendaris.

Jejak sejarah Nahum juga tak main-main, beliau adalah peserta Kongres Pemuda II pada 1928 yang berujung pada Sumpah Pemuda. Pada Kongres tersebut, Nahum turut menciptakan lagu kebangsaan yang waktu itu disayembarakan. Namun sayang, lagu ciptaannya kalah oleh lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman yang kita kenal sampai sekarang. Sayang arsip lagu ciptaannya hilang dan tidak diketemukan sampai sekarang.

Bicara soal lirik lagu tersebut, teman saya Listra waktu mendengarkan lagu ini langsung mengatakan pada saya, lagu ini membawanya ke nuansa riuh di Lapo, warung makan Batak. Saya mengiyakan, lagu ini memang rancak dan persis situasi di Lapo yang rame riuh. Jauh dibalik persetujuan saya akan persepsi lagu Lissoi yang digubah Seringai ini, saa melihat ada yang istimewa dari lagu ini.

Lagu ini bagi saya adalah penggambaran pergaulan sosial orang-orang Batak. Saya berkenalan dekat dengan teman-teman saya yang Batak. Kampus saya, walaupun multikultur namun didominasi oleh 2 suku, Jawa dan Batak. Sementara orang jawa bicara dengan bahasa jawa, teman-teman saya yang Batak berkumpul dan berbicara keras-keras nyaris berteriak, tentunya itu persepsi awal saya terhadap teman-teman Batak saya di kampus.

Setelah itu saya menjadi kagum dengan teman-teman Batak saya di kampus. Walaupun bicara mereka keras, lantang, dan berwajah sangar namun jauh di hati mereka, mereka adalah teman-teman yang baik, tulus, dan solidernya minta ampun. Teman-teman Batak saya adalah orang-orang jujur, tidak ada ewuh pakewuh seperti yang dianut suku saya. Suka bilang suka, tidak suka bilang tidak suka.

Pak Antonius Samosir, dosen mata kuliah Ekonomi yang seorang Batak totok pernah bercerita tentang volume keras orang Batak saat berbicara dengan sedikit berkelakar :

“Kau tahu kenapa orang Batak bicaranya keras-keras?” 

“Itu karena di Batak tanahnya bergunung-gunung. Nenek moyang jaman dulu kalo memanggil anak-anaknya harus teriak-teriak. Jadilah keturunananya suka teriak-teriak sampe sekarang.”

Suku Batak adalah salah satu dari beberapa suku bangsa yang dengan bangga menyematkan nama fam-nya di belakang namanya selain Padang, Minahasa, Ambon, Papua dan beberapa suku bangsa lain. Orang batak adalah orang-orang yang menjunjung tinggi identitas dan budayanya. Teguh menjalankan adat dan relijius. Walaupun berdiaspora kemana-mana namun ikatan kekeluargaan orang Batak itu sangat kuat dan mereka tidak akan pernah lupa dengan daerah asal-usulnya.

Selain itu orang-orang Batak yang gemar berkumpul, teman-teman Batak saya di kampus pun demikian, jika berkumpul rasanya ramai sekali. Kegemaran berkumpul orang Batak tersebut bahkan  sampai-sampai sempat dibuat anekdotnya oleh grup lawak legendaris Indonesia Warkop Prambors pada 1979.

“Orang batak sendirian-nyanyi solo, berdua-main catur, bertiga-main halma, berempat-tari tortor, lebih dari empat lima enam–pintu jendela harap ditutup.”

Tentu saja itu hanya humor semata. Namun itu menggambarkan suasana orang batak saat berkumpul ramai-ramai, meriah. Dan memang begitu kenyataannya, saya sempat mengikuti pesta adat pernikahan orang Batak dan menyenangkan melihat orang-orang menari, bernyanyi beramai-ramai dengan gembira, semua tertawa bersama, beberapa bersorak sorai.

Lirik pada lagu Lissoi adalah gambaran betapa guyubnya orang-orang Batak itu.Dari lirik yang sederhana itu tergambar betapa ikatan persaudaraan mereka sangat kental satu sama lain. Saling menghibur dalam duka dan saling tertawa dalam gembira. Saya kira itu adalah sifat sangat positif yang dimiliki orang Batak. Dan itulah yang membuat ikatan antara orang-orang Batak terjalin dengan erat.

Kebersamaan Suku Batak  ini memang yang  paling tampak, jika ingin melihat betapa ikatan kebersamaan Suku Batak terjalin. Sekali-kali datanglah ke HKBP pada hari minggu, atau bertandanglah ke Lapo – lapo di malam hari, kalau di Jakarta bisa di Jalan Pramuka atau Rawamangun. Pastilah kita akan turut larut dalam kegembiraan orang – orang Batak tersebut.

Nah, sebagai penutup di kantor saya, di ruangan saya ada 16 orang =  9 orang Jawa, 4 orang Sunda, 1 orang Palembang 2 orang Batak : 1 Batak Toba, 1 Batak Karo. Namun jika 2 orang Batak di ruangan saya sedang ngobrol, rasa-rasanya obrolan mereka berdua mampu membuat 14 orang lainnya terdiam, karena suara mereka berdua yang bisa mengalahkan suara 14 orang lainnya . Walaupun kadang obrolan berujung perdebatan mereka cukup membuat saya tertawa, contohnya saat mereka berdua memperdebatkan tentang Batak itu sendiri :

Batak Karo : “Ah, abang aku ini orang Karo, orang Batak itu kan kau bang! bahasa kita beda, budaya beda..”

Batak Toba : “Apapun kau, selama dari orang Sumatera Utara, kau itu orang Batak. Mana ada orang tau kau orang Karo di Bandung, taunya kau Orang Batak”

Seruangan sampai dibuat terbengong-bengong dengan perdebatan tanpa ujung itu, yang akhirnya mereka berdua sepakat mengakhiri perdebatan dengan konklusi :

“Selama kita masih makan di Lapo, kita masih orang Batak”

Tabik.

Oia, bagi yang ingin mendengarkan lagunya. Bisa didengar disini :

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

15 KOMENTAR

  1. Batak tanahnya bergunung-gunung. Nenek moyang jaman dulu kalo memanggil anak-anaknya harus teriak-teriak. Jadilah keturunananya suka teriak-teriak sampe sekarang << ini sudah bisa ditanyakan langsung ke si Sulis, yang sudah melihat sendiri, dari satu kampung ke kampung lain dipisahkan bukit-lembah.. hahaha..

    Tak akan banyak ku komentari tentang karakteristik orang Batak pada umumnya. karena Batak yang lahir dan besar di Kota besar sebenarnya beda jauh dengan Batak yang lahir dan besar di kampung.

    Hanya saja, sedikit masygul jika saya melihat ada kawan sebaya yang Batak tapi agak bangga jika tak bisa berbahasa Batak.

    Sesekali memang harus ikut "nyemplung" dalam obrolan absurd di Lapo-lapo tuak di kampung, dengan genjrengan gitar dan teriakan-terikan berharmonisasi.

    Dan tentu saja, minumnya harus Tuak.
    Dan snack-nya Daging Anjing.

    that's what made us "berdarah panas". hahaha

    anyway, thank u for bringing up this article,

    horas!! horas !! horas!!

  2. MWAHAHAHAHA!!
    Edan bener banget artikel ini. X))

    Udah sering saya dengar komentar serupa tulisan Farchan diatas, dari teman2 sekolah maupun rekan kerja. Walau terkadang merasa riweuh dgn adatnya, gak bisa ngomong bahasa Batak, suka lupa panggilan ke saudara (tulang, bapak uda, bapak tua, abang, ito.. *keblinger*), saya tetap bangga menyematkan nama famili di nama lengkap saya.

    Apalagi di ktp dan sim, lumayan bisa ngeles klo ditilang polisi org Batak.
    “Eh aku panggil bapak Uda dong ya ada iparku marga xxx..” Pffttt…

  3. Horas!!

    Baca artikel ini berasa nostalgia. Dulu punya Lapo di kampung. Tiap hari klu pulang sekolah pasti langsung diserbu ama hiruk pikuk suasana lapo, mulai dari bapak2 maen gitar + nyanyi, ada yang bahas togel, ada yang sekedar ngobrol sambil minum tuak, ada yang maen gitar. Dan aku selalu suka berada diantara mereka (walaupun waktu itu masih ingusan). Hasilnya, kebudayaan itu kubawa sampai sekarang di perantauan.

    Sekarang setelah berada di Jakarta, sedih liat pemuda Batak kebanyakan gak ngerti bahasa dan adat Batak (yang memang sangat susah dan ngejlimet). Sayang banget. Padahal harus ada yang bisa membawa estafet kebudayaan Batak di masa modernitas ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here