Sampah Pantai Kuta. sumber : Detikfoto

Karib maya saya Arman Dhani, kembali menulis tulisan yang pasti membuat kuping para traveler kepanasan. Seperti biasa tulisannya menggelegak, tanpa kulonuwun, jika diibaratkan dalam strategi perang. Tulisan Dhani seperti penyerbuan gabungan 3 matra, darat-laut-udara. Tanpa ampun langsung menyerbu tanpa serangan pendahuluan, tanpa strategi, tanpa babibu, hantam, serang, selesai. Musuh mati menggelepar.

Siapapun pasti langsung ciut, pun dengan saya yang cukup tertegun, tersedak dahak yang kental saat membaca tulisan Dhani. Termangu diam, mencerna kata demi kata yang seolah rentetan peluru dari senapan mesin yang tak kunjung henti menelanjangi dosa-dosa travel writer yang dimaksud Dhani.

Saya terima kritik Dhani, karena saya pernah menjadi apa yang dimaksud Dhani. Semasa muda, anggaplah jika saya yang berumur 26 ini tua. Maka saat usia saya 19-24 saya melakukan apa yang dimaksud Dhani di tulisannya, menjadi seorang yang tidak bertanggung jawab dan sekenanya melakukan perjalanan. Ya, saya akui itu.

Tapi agaknya Dhani melupakan apa yang dialami oleh setiap traveler, proses pendewasaan. Setiap traveler pasti melalui tahapan, saya yakin itu sebagaimana yang saya alami. Mungkin proses ini akan berbeda satu sama lain, tapi saya yakin beberapa traveler yang dimaksud Dhani di tulisan itu ada yang sudah melakukan pertobatan, tapi jika tidak pun pasti sudah melakukan pengakuan dosa.

Selain itu ada beberapa hal yang saya setujui dari tulisan tersebut. Tentang kekhawatiran-kekhawatiran yang Dhani rasakan, tentang turisme massal yang bisa jadi merusak kearifan lokal. Ya, mau tak mau itulah dampak turisme massal yang sekarang sedang menggejala. Seperti jamur kaki di musim hujan, menjangkiti orang-orang berbasah-basah ria.

Namun menimpakan kesalahan serta merta kepada seorang travel writer juga bukan hal bijak. Setidaknya ada 3 komponen yang bertanggung jawab :

1. Wisatawan (masukkan travel writer dalam kelompok ini )

2. Masyarakat

3. Pemerintah.

Ketiga unsur ini sebenarnya harus saling mengerti satu sama lain, kesalahkaprahan yang terjadi adalah ketiga unsur ini satu sama lain tidak bersinergi, sehingga ketika suatu tempat dijangkiti virus turisme masal dan rusak maka saling menyalahkan satu sama lain, lalu berdebat tiada ujung sementara nir solusi untuk tempat tersebut.

Sebenarnya, jika bisa dikatakan Pemerintah sebagai regulator harus tegas, masyarakat harus sadar dan turut merawat, sementara traveler harus hormat. Hal yang belum terjadi sampai sekarang, dimana Pemerintah melakukan pembiaran, masyarakat turut serta mendukung aktivitas turisme yang sebenarnya dilarang ini atas nama ekonomi dan traveler membanjiri tempat tersebut dengan alibi sudah mendapat ijin dan berkelit di balik kedok ketidaktahuan. Kasus ini terjadi di tempat yang sudah Dhani tuliskan di tulisannya.

Dan gejala ini terus berlanjut dan bukan tanggung jawab Traveler (writer) semata. Namun memang sebagai seorang pelancong, saya kira harus tahu batasan, minimal informasi tentang tempat yang akan dikunjungi seperti apa, tentang adat dan sopan santun di tempat tujuan, dan tentang bagaimana

Saya kira saya juga harus menegur Dhani bahwa beberapa traveler yang disebutkan tentunya tidak memiliki background penulisan seperti jurnalis. Jadi ya wajar-wajar saja bahwa penulis – penulis tersebut tidak menulis sesuai dengan kaidah jurnalistik seperti yang diharapkan Dhani. Beberapa bahkan menulis secara serampangan, tidak sesuai EYD, bombastis, gaya penulisan yang ramai mungkin adalah ciri khas masing-masing yang memang memulai menulis secara otodidak tanpa didampingi teori-teori menulis seperti yang Dhani peroleh.

Tidak mungkin mengharap semua travel writer menulis liputan sedalam tulisan di Tabloid Tempo atau mengharap semua penulis sejujur Agustinus Wibowo. Jauh panggang dari api, kecuali seluruh Traveler (writer) tadi dikumpulkan dalam satu kelas untuk mendapatkan kelas jurnalistik.  Ya, walaupun dalam hati kecil saya berharap memang idealnya penulis itu memang harus menulis dengan dalam dan tidak hanya menulis hura-hura indah semata, harus menyisipkan secuil empati dalam tulisannya.

Dan juga saya lupa menyampaikan kepada Dhani, blog itu memiliki 2 sisi tergantung bagaimana cara pandang seseorang. Dia bisa merupakan media publik dimana informasi diserap, namun di sisi yang lain blog adalah media pribadi dimana seseorang bisa menulis semaunya, sekehendaknya. Jika blogger menganggap tulisannya adalah domain publik, tentunya dia akan menulis bertanggung jawab, namun jika dia menganggap blognya adalah blog privat, tentunya dia akan menulis semaunya karena itu domain milik dia sendiri.

Mengenai kegemaran membagi foto indah, sebenarnya tidak ada salahnya. Karena dalam dunia pecinta alam pun terdapat kredo semacam ini :

“Tidak mengambil apapun, kecuali mengambil foto; Tidak meninggalkan apapun, kecuali meninggalkan jejak; Tidak membunuh apapun, kecuali membunuh waktu.”

Jadi saya berhusnudzon bahwa mereka yang mengambil foto dan membaginya adalah bagian dari mereka yang menganut kredo tersebut. Tidak mengambil apapun selain foto, dan cukup mengerti bagaimana bersikap secara bertanggung jawab di alam.

Perihal narsisme atau apapun mungkin itu adalah hak masing-masing orang, tapi saya kira memang jika berbagi foto indah menjadi gejala, ada 2 sisi mata uang yang bisa diambil kesimpulan. Alam kita memang indah, atau sebaliknya sebentar lagi tempat tersebut akan segera dibanjiri orang yang terpincut dengan foto indah tersebut.

Namun dibalik tulisan saya yang melompat-lompat ini saya sepakat dengan Arman Dhani bahwasanya sebagai seorang traveler (writer) tidak seharusnya melakukan tindakan ilegal, hal itu bukan sesuatu yang pantas dibanggakan kepada khalayak, justru itu adalah tindakan bunuh diri tidak terpuji dan menampilkan kebodohannya sendiri.

Dan sebagai penutup, saya kira tulisan Dhani ini cukup menyadarkan bahwa sebagai seorang Traveler (writer) kita harus mendewasakan diri untuk lebih peka dalam menulis, lebih mengerti apa yang ditulis, dan lebih bertanggung jawab saat menulis. Tulisan Dhani mungkin bisa menjadi bahan pendewasaan dan memandang sebuah tempat wisata tak sekadar sebagai objek eksploitasi semata.

Agaknya, tulisan Dhani adalah teguran bahwa sebagai traveler (writer) harus turut bertanggung jawab terhadap alam, minimal memikirkan terhadap tempat yang ia kunjungi, terhadap dampak yang timbul. Namun setuju tidak setuju terhadap tulisan Dhani, kita harus sepakat pada satu titik bahwa menghormati alam dan kearifan lokal adalah sebuah kewajiban utama kita sebagai pendatang.

Tabik.

menanggapi tulisan Arman Dhani : Responsible (Travel) Writer.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

16 KOMENTAR

  1. Sama waktu baca berasa malu ya karena terkadang males nulis yg jelek2 disatu tempat yg dikunjungi. Parahnya lagi kadang2 ehhhh sering deng ngeliat tempat wisata yg jorokkk banget trus gak lakuin apa2.

    • sebenarnya ndakpapa kog mbak nulis jelek2nya kalau memang itu faktanya..memang harus jujur.
      kalau memang kurang, tulis kurang, bagus tulis bagus..itu prinsip saya.
      dan bagi saya, itu sudah merupakan suatu tindakan. siapa tahu ada perbaikan mbak.

  2. Pada posisi seperti apa pun, baik penulis cerpen, penyair, bahkan travel writer sekali pun, semua tetap “dibebankan” untuk tetap bertanggung jawab dengan apa pun yang ditulisnya.

    Terlepas dari konsekuensi logis yang datang selepas tulisan itu selesai dibuat, kedewasaan kita sebagai pembaca yang kemudian harus diberi atensi lebih nantinya.

    Dan ya, kita belum boleh berhenti untuk belajar mengenai masalah itu mas F.

    We are responsible of everything we do, though. In any kind of deed.

  3. saat badai menerjang kuta, legian, seminyak 20 januari kmrn, dan mengakibatkan nich pantai jadi kotor banget. Gw cuman duduk sambil ngopi dan ngerokok di La Plancha Cafe Seminyak sambil ngeriung bareng temen2 melihat hempasan sampai datang menepi ke bibir pantai.

    Haduh jadi malu ……. harus nya ikut bantu2 bersihin yaaa 🙁

  4. kita harus sepakat pada satu titik bahwa menghormati alam dan kearifan lokal adalah sebuah kewajiban utama kita sebagai pendatang.

    –> bukankah ada peribahasa “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.” ?

    Sayangnya kita sering lupa untuk mempraktekkannya. :/

  5. Wahhh rame juga yaa… Sudah ada 2 balasan dari tulisan arman dhani. Pertama dari Nuran Wibisono, kedua dari kamu. Tapi saya melihat kemiripan antara tulisanmu, nuran, arman dan banyak blog2 yang pernah saya baca. Smua tidak setuju (beberapa tidak suka) dengan tulisan blogger yg ngeganja di aceh

    • kalau tindakan itu ilegal, wajar kalau tidak setuju kan mas?
      kemudian yang kedua, apakah pernah memikirkan efek menulis tentang mengganja di suatu tempat?
      bisa jadi efeknya :
      1. tulisan tersebut mempersuasi orang mengganja disana.
      2. menjadikan daerah tersebut memiliki stigma buruk di masyarakat.

      dasar ketidaksetujuan saya sih, efek jangka panjang dari aktivitas tersebut thd daerah setempat dan bagi traveler justru akan memperburuk dirinya sendiri.

  6. yang di foto itu pantai kuta ya? udah tahunan itu, ketika musim badai pasti jadi kotor. tapi sampahnya bukan dari sekitar kuta lho. tapi dari sampah sungai yang terbawa sampai laut, trus nyasar ke pantai kuta karena ombak. bukan karena yang main ke pantai kuta buang sampah sembarangan, tapi karena orang indonesia rata2 buang sampahnya sembarangan 😀

  7. Haahhaha..

    Setelah membaca tulisan mas dhani yg bikin ciut bener kata mas Chan :”INGET DOSA!!” Heheheh..

    Tapi tulisan Mas Dhani + Mas Chan dari sisi positifnya jadi pembelajaran lah buat saya .. Hehe.. Walau saya nulis juga cuma buat iseng2 dan masih lemah untuk urusan tata bahasa & jurnalisme , tapi jadi makin terbuka buat menulis sesuatu yg lebih bisa dipertanggung jawabkan :p

    Tapi pendapat saya, apapun jenis traveler writernya, saya cukup senang , karena dengan adanya mereka pariwisata Indonesia jadi makin merekah & banyak dikenal. Walaupun ada konsekuensi dari hal itu, ya membludaknya wisatawan di objek wisata tersbut,

    Seperti dua mata koin gitu deh.. hehehe…

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here