Ibu di Stasiun Kuala Lumpur.

Sebenarnya itu hanya dugaan saya semata, namun kalau menengok peribahasa “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” rasa-rasanya kog logis kalau saya menganggap ibu saya seorang petualang, mengingat saya yang anaknya juga hidup sebagai petualang. Ibu menjadi anutan saya dalam berbagai hal, mengingat ibu sudah menjadi single parents bagi saya dan adik saya sejak bapak meninggal. Tentu membesarkan 2 anak sendirian bukan hal yang mudah, apalagi saat itu kami berdua masih kecil.

Ibu memang seorang guru, guru segala hal. Terlepas dari profesinya yang seorang guru, ibu adalah guru kehidupan bagi saya. Termasuk guru dalam traveling. Saya kurang mengerti bagaimana masa muda ibu saya karena beliau orang yang jarang menceritakan masa mudanya. Orang tua ibu saya, bagi saya kakek dan nenek adalah orang jawa yang konservatif. Tipe-tipe petani tradisional, yang menginginkan anaknya menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga, lalu membantu membangun usaha pertanian keluarga.

Tapi ibu  mendobrak kemauan orang tuanya dengan memilih untuk melanjutkan sekolah, akhirnya melanjutkan pendidikan di pondok pesantren pabelan, sebuah pondok pesantren modern saat itu, alih-alih menuruti kehendak orang tuanya untuk mondok di pondok pesantren tradisional. Lalu setelah lulus dari pondok, ibu melanjutkan sekolah di madrasah aliyah di jogja menumpang di rumah adik nenek di kauman, jogjakarta. Kisah ibu di jogja berlanjut sampai beliau lulus sarjana pendidikan sosiologi dari IKIP Jogjakarta.

Bagi saya kisah sederhana ibu itu merupakan bentuk petualangan dan perlawanan dari sikap kaku kakek dan nenek saya. Sikap untuk memodernisasi pola pikir dan cara pandang beliau. Di saat kawan sebayanya hanya lulus smp, paling banter sma, ibu sudah sarjana. Sebuah prestasi besar dari kampung saya waktu itu. Sikap keras ibu itu pula yang menginspirasi adiknya, yaitu paman saya untuk mengikuti jejak berkuliah di jogja sampai meraih titel insinyur.

Sikap modern ibu terus dipertahankan setelah bertemu dengan kekasih hatinya lalu menikah dan lahirlah saya. Walaupun akhirnya ibu lebih banyak tinggal di rumah mendidik anak-anaknya, tapi ibu tetap tidak mau menutup wawasannya. Ibu ingin menjadi ibu rumah tangga yang modern dan cerdas, tidak hanya sekadar memasak dan mengasuh anak. Ibu pun aktif di kegiatan kemasyarakatan dengan mengedukasi masyarakat di bidang kesehatan dan kesejahteraan.

Sampai akhirnya ketika ibu diizinkan bapak untuk bekerja. Waktu itu titel sarjana sangatlah bergengsi dan bisa memberikan ibu pekerjaan yang sangat layak. Tapi sekali lagi ibu memilih bersikap berbeda dengan menjadi guru di sebuah sma muhammadiyah kecil di borobudur. Rupanya selama ibu tinggal di lingkungan kauman, jogja ibu terkesan dengan filosofi kemuhammadiyahan dan mengamalkan kata K.H AR Fakhrudin : “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan hidup dari Muhammadiyah”.

Jika dihitung sampai tahun ini mungkin sudah lebih dari 20 tahun ibu mengajar di sana, di sekolah kecil dengan siswa yang kadang masuk sekolah dengan pakaian a la kadarnya. Bahkan ibu sampai menjelajah sampai kampung-kampung kecil di bukit menoreh untuk menjenguk muridnya yang tidak masuk kuliah. Kepuasan yang didapatkan ibu bukanlah mengajar di sekolah besar, namun mendidik di sekolah kecil namun menghasilkan murid-murid yang cerdas dan calon orang besar.

Saya belajar dari sikap ibu tersebut, sikap untuk berbagi dan sikap untuk bermanfaat bagi orang banyak. Sebuah sikap yang dilupakan orang di era materialisme ini. Dari kecil ibu mengajarkan tepa selira dan andhap asor. Selain itu ibu mengenalkan saya dunia luar dengan mengajak saya liburan ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bogor. Tujuannya agar sedari kecil wawasan saya terbuka, tak hanya wawasan terbatas di kota kecil seperti Magelang.

Oia, ibu sempat menentang saya untuk bertualang karena menurut ibu saya, lebih baik saya fokus di pendidikan daripada bertualang yang menurut beliau hanya bentuk lain dari main-main. Pertama kali saya jalan-jalan ibu hanya menangis melihat saya berjalan sembari menggendong tas punggung. Tapi lambat laun ibu saya paham, ini dunia anaknya. Anaknya mewarisi sikap ibunya untuk modern sambil mempelajari kehidupan dari sebuah perjalanan.
Ibu pun paham dan sekarang mensupport penuh aktivitas saya, beliau tahu anaknya mengambil banyak pelajaran dari perjalanan yang dilakukannya. Pesannya hanya dua “banyak ibadah dan banyak nabung”. Singkat namun mengena untuk mengingatkan saat saya terlena dengan aktivitas petualangan saya. Biasanya saat saya pulang ibu akan memeluk dan meminta saya bercerita.

Ternyata saat mudanya pun ibu seperti saya, petualang dan pemberontak. Mulai dari sikapnya yang seperti saya tulis di atas, sampai kisahnya saat kabur dari rumah. Ah, memang saya tak jauh – jauh dari ibu, ibu pun dulu rupanya senang bertualang, tak heran saya pun demikian.

Tapi yang saya ingat adalah semasa saya SMA. Saya adalah anak yang bandel bukan main, sering bolos dan membuat ketar-ketir ibu. Walau begitu saya tetap konsisten belajar, bertanggung jawab dengan amanah ibu agar saya mencapai pendidikan setinggi-tingginya. Kala itu walau nilai saya mencukupi untuk masuk jurusan IPA, saya memilih masuk IPS sesuai keinginan saya. Ibu menyetujui, tidak seperti orang tua lain yang harus menuntut anaknya masuk IPA, ibu justru mendukung penuh saya masuk IPS. Bagi ibu, sekolah itu harus senang jika dipaksakan maka tidak akan maksimal.

Saya juga seorang anggota pramuka yang sering sekali melakukan perjalanan yang menantang dan hal itu cukup membuat ibu saya was-was. Namun sekali lagi ibu tidak melarang saya, ibu beranggapan anak lelakinya mampu bertanggung jawab dan menjaga diri, di mata beliau mengikuti kegiatan  pramuka adalah proses pendewasaan alamiah.

Seperti kata Kahlil Gibran, dalam goresan syairnya :

Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
Melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
Karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.


Ibu saya mungkin ingin membebaskan anak-anaknya sendiri, agar mereka bisa merasakan hidup mandiri dan sesuai apa yang mereka senangi. Tidak ada paksaan bagi saya dan adik untuk menjalani kehidupan, kami bebas memilih apa yang kami suka selama kami bisa bertanggung jawab atas pilihan tersebut.

Nyatanya ibu saya memang sangat demokratis dan adil, saat adik saya mengutarakan masuk IPS seperti saya, ibu tidak melarang walau saat itu adik adalah pemegang nilai tertinggi di kelasnya. Yang bahkan oleh wali kelasnya ibu diminta datang ke sekolah dan mempertanyakan keputusan adik masuk ips. Sebagai pendidik mungkin ibu merasa bahwa pendidikan yang tepat adalah yang membuat anak didiknya nyaman sehingga bisa mengembangkan diri. Bukan sekedar mengikuti pelajaran yang membosankan dan dikungkung jadwal dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang.

Ibu juga yang mendorong adik untuk aktif di pramuka seperti saya, bagi ibu soft skill itu akan sangat berguna dari sekedar gelar akademis. Orang pintar namun tidak memiliki soft skill tidak akan ada apa-apanya. Semua harus berimbang.


Kegetiran hidup yang pernah dialami ibu membuat dia mendidik saya agar mandiri. Ibu mengajarkan untuk prihatin dan senantiasa sabar menghadapi hidup. Beliau hanya mencontohkan bahkan setiap mereka yang sukses pasti pernah mengalami kepahitan hidup.

Untuk memainkan peran sebagai seorang guru dan seorang ibu bagi anak-anaknya, ibu tidak pernah kenal lelah. Walaupun kadang ibu mengeluh lelah, tapi semangatnya yang luar biasa takkan pernah padam. Ibu kukuh walau harus berbanjir peluh.

Terkadang ibu mengajak saya bepergian, tidak jauh-jauh. Ibu mengajak saya ke panti asuhan muhammadiyah, tempat dimana ibu juga ikut mengabdi. Beliau mengajarkan agar saya selalu ingat bahwa di setiap rupiah harta saya ada harta bagi yang membutuhkan.

Saya banyak sekali mendapatkan pelajaran dari ibu, terutama pelajaran kehidupan yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah. Saat saya rindu kadang saya menangis. Ibu saya pasti sendirian di rumah, kalau sudah memuncak kadang saya memutuskan pulang, menghambur ke pelukan ibu, menangis di hadapan ibu, bercerita banyak kepada ibu. Lalu kembali saat senyum saya sudah tersungging dengan manis. Ibu mungkin adalah tempat curhat terbaik sedunia, tidak ada psikolog/psikiater yang mampu menandinginya.

Sebagai seorang paruh baya, ibu saya tidak berhenti belajar. Bagi beliau otak yang berhenti berpikir sama saja dengan zombie. Berjalan tanpa arah, tanpa jiwa. Oleh sebab itu ibu masih berlangganan koran setiap hari. Korannya pun bukan sembarangan, tapi koran yang bahasanya berat. Kata beliau bagus untuk mengasah pola pikir dan membuka wawasan.

Tak jarang ibu membuka diskusi tentang isu terhangat dengan saya. bahkan sampai berdebat panjang. Toh ibu tidak tersinggung atau marah, ruang diskusi terbuka lebar di keluarga kami. Itu bagian dari pendewasaan hidup.

Ibu mungkin perwujudan manusia super, selain menjadi guru dan ibu, beliau masih sempat mengelola pertanian. Beliau memang memiliki beberapa petak tanah, dan hebatnya ibu bisa mengelola sawahnya dengan baik. Saya saja sampai bingung bagaimana ibu saya bisa mengatur peran sebanyak itu, sebagai anak saya hanya bisa menatap bangga ibu saya.

Namanya berkeluarga pasti ada ribut-ributnya. Pun saya dengan ibu saya. sebagai anak muda yang sedang beranjak dewasa pasti selalu ada gejolaknya. Pernah saya membantah perintah ibu agar diam di rumah dan pergi begitu saja. tapi ibu tetap menyambut saya di rumah, membikinkan teh hangat dan menyambut dengan senyum. Ah, saya merasa sangat berdosa membantahnya.

Tapi namanya anak kadang selalu ada kelakuan yang membuat ibu geregetan, kalau begitu kadang ibu dengan bersungut – sungut mendatangi saya dan memarahi saya dan jika itu terjadi saya hanya terduduk diam dan tersedu sedan dalam tangis.

Sumpah, saya tak bisa melihat ibu saya menangis. Saya sudah terlalu banyak menyusahkan ibu. Saya pun mau berusaha seperti apa, pasti tak bisa membalas segala budi baik ibu. Kasih ibu tak akan pernah ada habisnya, dan kasih anak tak akan bisa membalasnya.

Maka pilihan saya untuk berbakti kepada ibu adalah hal yang wajar. Logika saya, jika saya sudah mapan maka sudah waktunya saya berbakti kepada ibu. Toh, kewajiban berbakti kepada ibu adalah kewajiban saya sebagai seorang muslim.

Di usianya yang kepala lima, impian ibu adalah naik haji. Menunaikan rukun islam yang terakhir adalah targetnya. Tidak ada impian yang melebihi itu, bagi ibu mengantarkan anak-anaknya bisa sekolah sampai tuntas adalah kewajiban, bukan impian. Dan saya harus ikut berjuang untuk mewujudkan impian ibu tersebut, impian ibu ke Baitullah. Maka ketika kemarin ibu mengutarakan niatnya kepada saya, saya pun langsung mengiyakan. Tak ada kebahagiaan paling besar bagi seorang anak selain melihat ibunya tersenyum bahagia.

Pembelajaran-pembelajaran dari ibu tiada habisnya. Ibu adalah mutiara kehidupan bagi saya.

Seorang anak pasti menaruh hormat takzim kepada ibundanya dan seorang ibu adalah makhluk terhebat yang pernah diciptakan Tuhan Yang Kuasa. Seorang ibu rela menukar nyawa demi kehidupan anaknya.

Maka tidak berlebihan jika saya bilang kalau ibu saya adalah guru yang terhebat bagi saya, guru yang menginspirasi saya dalam banyak hal. Bukan sekadar guru dalam hal akademik, namun juga guru dalam hal kehidupan. Tidak ada raport yang saya terima jika saya belajar dari ibu saya, namun selalu ada hal yang bisa saya ambil dari pembelajaran.

Ada kalimat yang selalu terkenang di hati saya “dibalik kesuksesan seorang pria, pasti ada wanita yang hebat”. Dan saya rasa ibu sayalah wanita hebat itu. Saya mencapai level sekarang ini dimana saya sudah mandiri tak lepas dari jerih payah ibu.

A good teacher is like a candle – it consumes itself to light the way for others.  ~Mustafa Kemal Atatürk.

Ya betul sekali kata-kata Kemal Ataturk tersebut, guru adalah seorang yang berkorban demi orang lain, dia adalah pahlawan. Dia adalah penerang, jalan bagi orang lain untuk mendapatkan pengetahuan.

Begitupun ibu saya, dia akan senantiasa berkorban untuk saya dan adik, untuk anak-anaknya. Dia membukakan jalan untuk kesuksesan anak-anaknya, mengantarkan anaknya mengarungi kehidupan lalu tersenyum melihat kesuksesan anak-anaknya.

Ibu menjadi guru dalam segala hal, guru akademis, guru petualangan dan guru kehidupan. Sungguh tidak ada guru terbaik bagi saya, selain ibu saya sendiri.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

14 KOMENTAR

  1. Subhanallaah….

    Mas,, matur nuwun untuk catatan indah ini…. saya jadi sadar, kekhawatiran Ibu saya yang mungkin berlebihan adalah karena beliau mencintai saya… apalagi Ibu juga sendiri.. *ah jadi curcol 🙂 🙂

  2. I blog frequently and I truly appreciate your information.
    Your article has really peaked my interest. I am going
    to take a note of your website and keep checking for
    new details about once a week. I subscribed to your RSS feed too.

  3. Pretty great post. I simply stumbled upon your blog and
    wished to say that I’ve really enjoyed surfing around your weblog posts. After all I will be subscribing to your feed and I’m
    hoping you write once more soon!

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here