foto : Isma Amalia

Ada sebuah desa di ujung timur pulau Jawa dimana saat memasuki desa tersebut maka seolah waktu terbekukan beberapa dekade ke belakang. Hidup dalam kesahajaan, berjalan santai seolah waktu tak bergerak maju dan ritme hidup yang berjalan pelan laksana seorang bayi yang tenang dalam tidurnya.

Desa tersebut bernama Temuguruh, desa dimana saya langsung jatuh cinta dengan suasananya begitu gerbang desa menyambut. Dengan bentuk residen khas kawasan perkebunan era Hindia Belanda, saya hanya bisa menduga dulunya Temuguruh merupakan salah satu dari beberapa sentra perkebunan di Banyuwangi masa itu.

Suasana di Temuguruh sangat elok, dengan latar Gunung Raung yang gagah dan persawahan hijau yang menghampar. Penduduk Temuguruh tak tampak risau dengan modernitas yang menghimpit, mereka tetap hidup sederhana dan apa adanya. Beberapa bangunan tampak kukuh terbekukan waktu dari beberapa dekade yang lalu dengan tembok tebal, pondasi kukuh dan cat yang mulai menua, cokelat.

Saya jatuh cinta dengan suasananya, tenang, sejuk, tenteram. Saya membayangkan dengan hidup seperti ini pasti penduduknya tidak memikirkan keduniawian lagi, hanya tinggal menikmati hidup. Air jernih mudah didapat, tanah nan subur dan kehidupan yang tenang. Dan maka nikmat hidup seperti apa yang hendak diingkari selain itu semua? tersaji gratis setiap hari. Saya kira dengan desa terkurung gunung, terapit sawah dan terkepung hutan penduduknya akan pandai bersyukur, nikmat Tuhan melimpah ruah dan tersedia, tinggal ambil.

Saya merasa benar-benar waktu terhenti disini, mungkin Tuhan memencet tombol pause di desa ini. Sehingga masyarakatnya seolah tidak ikut arus kencang modernitas dan materialisme. Dan saya bersyukur, Tuhan masih memelihara desa ini.

Temuguruh.

Tulisan ini membutuhkan waktu hampir 2 tahun lamanya untuk selesai. Saya jatuh cinta dengan desa ini saat pertama kali mengunjunginya untuk merayakan pernikahan sahabat saya, Isma dan Ubay. Saya waktu itu tidak sempat memfoto karena saya terbuai suasananya, sementara Isma pun tidak ada. Jadi hanya foto itu yang tersisa.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

4 KOMENTAR

  1. bisa kebayang bagaimana nikmatnya hidup didesa itu mas. dan bisa kebayang juga untuk menuliskan keindahan itu butuh waktu 2 tahun..saya lebih. sempat bertemu dengan desa seperti ini 2 tahun lalu. tapi sampai sekarang belum juga bisa terungkap…terlalu indah soale :))

  2. Ah,, saya jatuh cinta pada kalimat ini “Mungkin Tuhan memencet tombol pause di desa ini. Sehingga masyarakatnya seolah tidak ikut arus kencang modernitas dan materialisme” dan ingin menemui desa seperti itu…

    menenangkan

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here