IMG_0741

Stumbu akan selalu menjadi tempat favorit bagi saya di Magelang. Setiap pagi di Stumbu adalah dinamika yang berbeda-beda. Mungkin Stumbu tak sekedar rutinitas bangun bersamaan dengan bedug shubuh, kemudian mengambil jaket dan membelah jalanan melawan dingin yang menyerbu sekujur badan. Stumbu adalah romantisme mengecap pagi, menikmati rona jingga yang perlahan menyemburat garis demi garis di langit dan saya tidak akan pernah bosan walau sudah berulang kali menikmati terbit mentari di Stumbu.

Tak sekedar romantisme, menikmati matahari terbit adalah tentang perjuangan. Disaat manusia-manusia lain sedang bergumul dengan selimut dan dipeluk kasur tebal, saya sudah penuh peluh mendaki sampai puncak bukit. Kadang ditemani bintang dan bulan yang masih enggan berganti dengan matahari, kadang hanya berteman desir dedaunan dan binatang malam yang hendak undur diri.

Stumbu adalah kisah dimana Tuhan melukis cahaya secara perlahan-lahan, sementara manusia dengan sabar menanti di puncak bukit. Stumbu adalah kisah tentang moleknya pertunjukan alam yang tak akan bosan-bosan ditangkap dengan lensa kamera atau tak akan habis dituliskan dengan beratus-ratus kata.

Tapi Stumbu tak melulu soal pertunjukan cahaya atau kabut yang membentuk tirai-tirai diantaranya pepohonan. Stumbu adalah kisah tentang bagaimana masyarakat mengelola dan mengembangkan pariwisatanya secara swadaya. Stumbu beberapa tahun yang lalu adalah bukit yang ala kadar, berjalan meraba dalam gelap atau terpaksa membawa senter sendiri, dan penjaga yang mengutip semacam retribusi seikhlasnya tanpa tarif tetap dari pengunjung yang datang.

Lambat laun para penduduk belajar mengelola secara mandiri. Dari tarif seikhlasnya sekarang untuk menuju Stumbu pengunjung dikutip 15.000. Mahal? Tidak, justru murah karena ternyata masyarakat mengusahakan banyak perbaikan dari uang kutipan pengunjung. Jalan yang mulus sampai tempat parkir dan bisa dilalui mobil, sehingga pengunjung tidak harus berjalan jauh karena parkir mobil harus di ujung jalan.Β Selain itu pengunjung tak harus berjuang meraba dalam gelap sampai puncak, sepanjang jalan telah dipasang lampu neon untuk penerangan, pendarnya sudah mumpuni untuk menerangi jalan setapak sampai puncak.

Di sisi belakang pun berdiri bangunan toilet bagi pengunjung. Dulu menahan kencing di atas bukit adalah derita dan harus segera berlari ke semak-semak untuk menuntaskan hajat. Namun sekarang sudah ada toilet bagus yang bisa dipakai. Sayang ada sedikit kerusakan karena longsornya tanah tempat pondasi bangunan itu, semoga saja segera dibenahi.

Perbaikan-perbaikan dan penambahan fasilitas di Stumbu adalah perwujudan masyarakat yang berdikari merawat aset daerahnya sendiri dan ini berarti suatu langkah bagus yang patut kita dukung. Tak hanya disitu saja, di atas nanti sudah menanti teh dan/atau kopi panas serta gorengan yang bisa dinikmati secara cuma-cuma oleh pengunjung dengan hanya membayar 15.000 sebelum memulai pendakian ke puncak. Maka nikmat seperti apa yang hendak ditolak? Bukankah firdaus kecil adalah saat menikmati matahari terbit ditemani segelas kopi pekat panas?

Sesungguhnya Stumbu adalah wujud nyata pengelolaan wisata berbasis masyarakat, tanah milik masyarakat, dijaga oleh masyarakat dan untuk masyarakatnya itu sendiri. Stumbu adalah transformasi dari bukit biasa-biasa saja menjadi taman bermain penikmat cahaya untuk memuaskan hasratnya akan binar mentari pagi hari. Stumbu adalah sebuah contoh kecil bagaimana masyarakat bisa begitu dekat merawat dan menjaga aset wisatanya sendiri.

Tabik.

Album Stumbu saya ada disini.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

11 KOMENTAR

  1. Ke Setumbu waktu ramadhan tahun lalu, modal gps alhamdulillah gak nyasar, tapi mendung 😐

    Bulan yang pas buat ke Setumbu bulan apa ya mas?

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here