Tangkapan layar penuh 20032013 205022.bmp
Halmahera, sekitar 1915, KITLV.

 

“Tulisan ini diikutkan dalam Jailolo, I’m Coming!” Blog Contest yang diselenggarakan oleh Festival Teluk Jailolo dan Wego Indonesia.

Saat sejarah Indonesia masih sibuk mencatat soal kejayaan Majapahit dan sedang mencari jati diri sebagai bangsa maritim. Agaknya ada sedikit keping sejarah yang terlupa, di Jailolo  seharusnya sejarah kembali menengok kembali, ada kisah panjang dan kebanggaan, sebuah sejarah panjang tentang kehidupan, kemakmuran, kejayaan dan kemasyhuran Jailolo sejak berabad-abad lampau.

Ikhtisar tentang Jailolo di dunia luardimulai pada tahun 1512, saat armada Portugis mulai menjelajah ke Timur untuk mencari apa yang disebut sebagai tumbuhan emas. Ya, kala itu harga rempah-rempah di jazirah Eropa memang senilai dengan emas, sehingga kepemilikan atas rempah adalah sesuatu yang bergengsi dan harga rempah memang sangat mahal di Eropa sana. Armada inilah yang tercatat sebagai armada yang berhasil mencapai Ternate, sepelemparan batu dari Jailolo untuk membuka rute rempah-rempah dari Maluku ke Malaka.

Sejak itulah Maluku menjejakkan diri di dunia sebagai daerah yang menarik perhatian bangsa Barat karena pesona rempahnya. Sehingga bangsa Barat berusaha mencari rute ke Maluku. Satu dekade kemudian, Dom Jorge de Menezes di tahun 1526 akhirnya berhasil mencapai Jailolo dari Malaka dan kemudian menjabat Kapten di Maluku yang merupakan perwakilan resmi Portugis di Maluku.

Tapi kemilau rempah-rempah ini juga mengundang efek buruk. Kejayaan dan bayangan kegemilangan rempah-rempah ini mengundang kerakusan manusia untuk menguasai bangsa lain demi sumber dayanya. Jadilah kemilau itu ingin sepenuhnya dikuasai oleh Portugis demi kepentingan ekonomi, politik dan agama, sehingga mulailah mereka berusaha menancapkan kukunya untuk menganeksasi Ternate, Tidore, Jailolo dan seluruh Maluku, demi memuaskan nafsu akan rempah.

Rasa lapar akan rempah di bumi Maluku Utara ini bahkan membuat dua negara tetangga Portugis dan Spanyol saling sikut, saling rebut saling berebut kuasa. Dari sekedar perebutan rempah sampai berperang. Perebutan rempah berujung pertikaian antar negara ini juga melanggar perjanjian suci antara mereka yang sudah ditetapkan oleh Paus Alexander VI pada 1494 yang membuat garis batas bahwa Maluku adalah wilayah jelajah Portugis dan Kepulauan Filipina adalah wilayah penjelajahan pelaut-pelaut Spanyol. Dan akhirnya aneksasi demi rasa lapar berlanjut ke era-era kedatangan bangsa barat setelah era Portugis – Spanyol.

Lupakan sejenak soal cerita kelam bangsa barat terhadap aneksasi yang berawal dari rasa tamak akan rempah. Mari kita baca sebuah cerita tentang kemolekan Jailolo, pantai-pantainya yang indah, nyiur melambai nan aduhai dan angin pantai segar membuai. Pada era dimana  seseorang yang duduk di pojokan kota kecil bernama Panarukan butuh waktu seminggu lebih untuk menggapai Batavia dan mungkin belum tahu ada apa di luar Pulau Jawa, seorang berkebangsaan Inggris telah mencatatkan sebuah kisah tentang firdaus kecil di Utara Maluku, sebuah catatan tentang persinggahannya selama 7 bulan yang ia tuangkan dalam catatan perjalanannya.

Pria itu datang bersama seorang asisten pribumi dan rekan inggrisnya tiba di Jailolo dan  menjelajah Jailolo antara Oktober 1858 sampai April 1859. ia tinggal di sebuah rumah yang ia dapatkan atas kemurahan Residen Ternate saat itu. Tak ingin membuang banyak waktu, kurun waktu 7 bulan di Jailolo adalah tentang eksplorasi alamnya yang molek dan kemudian digoreskannya pemandangan firdaus itu huruf demi huruf, kata demi kata sehingga membentuk sebuah bab tentang keindahan Jailolo.

Pria itu bernama Alfred Russel Wallace yang menuliskan kisah di Jailolo dalam mahakarya berjudul Malay Archipelago. Kisahnya di Jailolo adalah tentang penjelajahan hutan-hutan yang masih perawan, begitu yang ia tuliskan. Alfred Russel Wallace kemudian mencatat tentang burung-burung cantik di hutan-hutan Jailolo,  kisah tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Jailolo yang beragam, cerita tentang interaksi antara penduduk lokal, buruh-buruh Tionghoa, dan pedagang-pedagang Ternate. Dan konon dalam catatannya di Jailolo – nya dari pengamatan atas penduduk pribumi Jailolo-Halmahera, orang-orang Alifuru, dia berhasil menemukan garis batas pemisah antara ras bangsa Melayu dan ras bangsa Papua.

Tangkapan layar penuh 20032013 211206.bmp
Alifuru, 1867, KITLV.

Kisah soal Jailolo juga berlanjut dengan kisah keberanian pelaut-pelaut Jailolo. Dalam catatan dari abad ke 17, orang-orang di Halmahera bahkan belum mengenal budaya laut, masih berdiam jauh dari pantai karena seringnya diserang bajak laut. Atas alasan keamanan mereka bermukim jauh dari pantai.

Tapi jaman berubah, sifat defensif yang ditunjukkan dengan bermukim jauh dari pantai bertransformasi menjadi sikap ofensif, agresif. Catatan berikutnya menyebut pada abad ke 19, orang-orang Halmahera telah menjadi pelaut-pelaut yang tangguh. Hanya dalam 2 abad, orang-orang Halmahera berubah dari orang yang menjauhi laut menjadi pelaut-pelaut pemberani.

Pelaut-pelaut dari Halmahera kemudian diketahui berlayar jauh sampai ke Bawean, Jawa dan lautan di sekitarnya, kemudian merambah ke perairan Flores. Keberanian dan daya jelajah para pelaut dari Halmahera yang cukup jauh juga membuat para pelaut Halmahera menjadi unsur kekuatan penting angkatan Laut Sultan Nuku dari Tidore.

Kisah-kisah di atas adalah hanya sebagian kecil dari kidung panjang soal Jailolo. Jika diibaratkan sebuah kitab maka, tulisan di atas tak lebih dari satu ayat. Masih ada banyak sekali kidung tentang Jailolo sepanjang garis waktu yang berjalan dari masa silam sampai sekarang. Jailolo adalah sebuah kidung yang tak henti mengeluarkan cerita-cerita baru yang mempesona.

Maka saya adalah seseorang yang ingin menapaktilasi catatan-catatan tentang Jailolo yang dituliskan oleh orang-orang terdahulu. Mengunjungi Jailolo adalah menyesap kisah sejarah berabad-abad lampau. Melihat alam Jailolo adalah perihal merasakan alam molek yang dilihat Wallace, menikmati rempah adalah bagaimana mendengar cerita panjang tentang kejayaan rempah di masa lalu yang kelam, bertemu dengan orang-orang Jailolo adalah tentang kisah mereka mengarungi lautan Nusantara berabad-abad lampau.

Zaman berubah, manusia berubah, waktu merubah cara pandang manusia. Jika dulu orang berbondong-bondong ke Jailolo karena rempah, maka sekarang orang mendamba Jailolo karena pantainya yang indah, bawah lautnya yang menawan dan budayanya. Maka orang Jailolo sekarang bangga dengan apa yang dipunya, menunjukkan kebanggaan akan kekayaan budaya dan keindahan alamnya melalui sebuah festival tahunan bertajuk Festival Teluk Jailolo.

Festival dimana semua orang Jailolo berpesta, pesta untuk Jailolo pesta untuk Halmahera. Saat pantai-pantai indah menjadi latar, tari-tari kolosal adalah hiburan utama, rakyat Jailolo berpesta bersama para pendatang. Dan di lubuk terdalam saya ingin datang ke Festival itu, Festival Teluk Jailolo. Menikmati sejarahnya, melepas pandangan melihat pantainya, menceburkan diri dan larut dalam keindahan bawah airnya, mendengar cerita-cerita lokal dan bercengkerama dengan penduduk Jailolo serta menikmati hidangan Jailolo yang kabarnya membuat air liur meleleh tanpa henti dan benar-benar menggoda lidah.

Dengan kisah histori yang panjang, Jailolo adalah sumber sejarah panjang yang belum banyak digali. Maka Jailolo bisa memposisikan sejarah sebagai daya tarik. Selain soal pantai, kuliner, bawah laut dan sejarah, beberapa kisah sejarah yang sudah tertulis adalah daya tarik yang bisa membuat orang-orang penasaran lalu mengunjungi Jailolo.

Manusia tak boleh lupa bahwa kecantikan memesona Jailolo dimulai sejak berabad-abad lampau. Orang tidak boleh lupa bahwa di masa lampau pun orang sudah terpikat dengan pantai-pantai, alam indah Jailolo. Maka dari itu Jailolo perlu memberikan kisah sejarahnya bagi mereka yang belum mengenal Jailolo.

Ada kisah – kisah tentang Kesultanan Jailolo yang konon saling bersaudara dengan Ternate, Tidore dan Bacan. Ada sebuah kisah yang saya yakin pasti banyak yang tidak tahu, bahwa Jailolo pernah menjadi pangkalan angkatan laut Australia di era Perang Dunia II, untuk mendukung tentara sekutu pimpinan Mc Arthur. Pangkalan angkatan laut ini kondang bernama HMAS Gilolo dan menjadi salah satu pangkalan penting angkatan laut Australia di era Perang Pasifik.

Jailolo harus mempromosikan ini, mengemas sejarah dan mempromosikannya ke khalayak. Bahwa ada kisah sejarah panjang di Jailolo, kisah sejarah yang membawanya ke kemasyhuran dan segala pasang surutnya hingga sekarang. Bahwwasanya ide untuk mengemas sejarah juga merupakan salah satu ide untuk mengenalkan suatu daerah kepada masyarakat luas.

Tabik.

nb : Postingan ini saya ikutkan untuk “Jailolo, I’m Coming!” Blog Contest yang digelar oleh Wego Indonesia, untuk meramaikan Festival Teluk Jailolo 2013. Harapan saya bisa datang ke Jailolo, mengikuti festival tersebut, menikmati alam, bertemu penduduk lokal, mencicip hidangan kuliner dan tentu saja menguak kisah sejarah yang selama ini belum terkuak. Sebagai penggemar sejarah saya berharap bisa datang dan menikmati setidaknya kisah-kisah sejarah panjang Jailolo.

sumber :

a. Gambar : KITLV / Koninklijk Instituut voor taal- Land- en Volkenkunde.

b. Tulisan :

  • Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Adrian B Lapian, terbitan Komunitas Bambu.
  • Malay Archipelago / Kepulauan Nusantara. Alfred Russell Wallace.
  • keping sejarah HMAS Gilolo, saya dapat dari forum sejarah perang dunia 2. Jujur sangat susah sekali menelusuri jejak HMAS Gilolo ini karena sedikitnya informasi. Semoga di Jailolo sana bisa menemukan jawabannya.

Tangkapan layar penuh 20032013 222733.bmp

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

14 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here