IMG_0761
Karst Menoreh, sisi Borobudur.

 

 

Ada satu jalur perbukitan di sisi selatan Magelang yang namanya sudah sangat terkenal. Perbukitan itu membentang di sisi selatan Magelang, sampai menembus Kabupaten Kulon Progo dan Purworejo. Menoreh menjadi batas sisi selatan Magelang dan menjadikannya benteng alam yang mengurung Magelang dengan jalur gunung api dan perbukitan yang kukuh berdiri.

Menoreh merupakan jalur karst, terbentuk alamiah Β dan diduga terbentuk dari hasil pengangkatan dasar laut menjadi dataran di masa silam seperti karst-karst yang lain. Memiliki bentangan seluas 15 kilometer persegi dan masuk ke dalam bagian Kulon Progo, Magelang dan Purworejo. Bentuk rangkaian Karst Menoreh berupa perbukitan yang curam dan runcing pada puncaknya.

Bagi masyarakat Jawa tradisional yang tinggal di Magelang terutama di sisi selatan, Kulon Progo dan beberapa wilayah Purworejo, Karst Menoreh ini memiliki nilai mitologis. Puncak tertinggi Karst Menoreh yang disebut Suroloyo adalah sebuah tempat yang dipercaya sebagai titik tengah pulau Jawa adalah kahyangan tempat dewa-dewa bersemayam. Penduduk lokal juga meyakini bahwa Semar, seorang tokoh Punakawan dalam dunia pewayangan bersemayam di Puncak Suroloyo.

Keberadaan Suroloyo dalam dunia spiritual masyarakat Jawa tradisional di tempat – tempat tersebut cukup kuat. Hal ini bisa dilihat pada saat 1 Suro, dimana banyak yang melakukan tradisi berjalan kaki sampai Puncak Suroloyo sebagai laku ngalap berkah. Pada 1 Suro itu juga di Puncak Suroloyo menjadi tempat upacara sakral bagi masyarakat di desa-desa sekitar Suroloyo, Menoreh dan daerah-daerah sepanjang jalur Karst Menoreh, orang – orang berbondong-bondong datang dan mengikuti upacara tersebut.

Panorama Karst Menoreh pun sangat memukau mata. Bentang bukit kapur berbaris dengan gagah, konturnya garang dengan hutan yang cukup rapat. Jika sampai pada titik tertinggi Menoreh tadi, maka akan tampak sekali panorama yang menggetarkan dada. Jika dilihat dari kejauhan atau dari dataran yang lebih rendah, maka Karst Menoreh ini tak ubahnya seperti benteng raksasa yang memanjang dari ujung ke ujung.

Perihal bentang alam Menoreh yang mirip benteng ini juga telah mencatatkan Menoreh dalam kisah sejarah bangsa. Pada era Perang Diponegoro, Pegunungan Menoreh ini dijadikan basis pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro dalam melawan serdadu-serdadu VOC. Karst Menoreh telah menjadi benteng alami bagi pasukan Pangeran Diponegoro dan menjadi tempat menyepi dan mengatur strategi.

Petilasan perjuangan Pangeran Diponegoro di Menoreh ini sekarang masih bisa ditelusuri jejaknya di Salaman, Kabupaten Magelang. Di Salaman terdapat Langgar Agung Pangeran Diponegoro, dimana dahulu di Langgar itulah Pangeran Diponegoro mengatur strategi melawan VOC. Di areal perbukitan tak jauh dari Langgar Agung itu juga terdapat Gua yang dikenal dengan Gua Lawa. Konon katanya, dulu adalah tempat Pangeran Diponegoro menyepi, bermunajat dan meminta petunjuk pada Yang Kuasa.

Dalam dunia sastra, Karst Menoreh juga memiliki catatan yang harum. Beberapa dekade lalu, ribuan orang menanti terbitnya koran Kedaulatan Rakyat setiap harinya demi mengikuti serial Api Di Bukit Menoreh karya sastrawan kondang, Singgih Hadi Mintardja. Tak jarang orang-orang membeli Kedaulatan Rakyat hanya demi membaca kisah bersambung dari Api Di Bukit Menoreh itu.

Singgih Hadi Mintardja yang kemudian kondang dengan nama pena S.H Mintardja adalah salah satu maestro cerita silat. Karya monumentalnya Api Di Bukit Menoreh tadi mencapai 396 episode, 1 episodenya bisa disamakan dengan sebuah buku dengan tebal 80 halaman. Termasuk salah satu cerita bersambung terpanjang dalam sejarah sastra modern Indonesia yang mulai tayang di Kedaulatan Rakyat di era 1970 – an dan baru berhenti pada era 1990-an saat meninggalnya S.H Mintardja. Bahkan Api Di Bukit Menoreh pun sebenarnya belum berakhir ceritanya, nggantung. Dan dipaksa berakhir karena meninggalnya sang pengarang.

Api Di Bukit Menoreh yang mengambil setting di Karst Menoreh ini bahkan sempat menjadikan roman tadi sebagai mitos. Tak jarang banyak yang menganggap cerita tersebut adalah fakta sejarah. Hal ini merupakan hasil kepiawaian S.H Mintardja meramu kisah silat dengan setting sejarah di era kerajaan Mataram Islam. Beberapa nama yang merupakan tokoh di cerita tersebut bahkan sampai melekat erat bagi sebagian pembaca dan menganggapnya benar-benar ada.

Menoreh tetap kukuh berdiri sampai sekarang, pegunungan yang gagah di selatan Jawa ini sebenarnya memiliki posisi yang cukup strategis dan potensial dikembangkan. Dengan berbagai macam kisah – kisah tentang Menoreh tadi, banyak sekali keindahan dari Menoreh yang bisa dinikmati. Sebuah Karst dengan potensi unik ini sebenarnya adalah harta karun yang dimiliki oleh Magelang dan sekitarnya.

Sayang sekali, banyak yang belum ngeh dengan Menoreh. Di Magelang sendiri, beberapa wilayah di Menoreh identik dengan ketertinggalan dan akses yang rusak. Selain itu kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap potensi Karst Menoreh masih minim. Kita bisa melihat ketidakpedulian tadi ada pada beroperasinya pabrik marmer di Salaman, berdekatan dengan Langgar Agung Diponegoro. Dimana lokasi pabrik marmer tersebut satu kompleks dengan Gua Lawa yang konon tempat semedi Pangeran Diponegoro. Bukit – bukit disitupun digerus untuk marmer, walaupun kabarnya Gua Lawa masih dipertahankan sampai sekarang.

Bagi masyarakat Magelang, Menoreh adalah sebuah keindahan di sisi selatan, tampak cantik dipandang dari Borobudur ataupun dari kejauhan. Bentang alam tadi menunggu polesan untuk dikembangkan. Beberapa yang jeli bisa mengolah kecantikan Karst Menoreh menjadi semakin bersinar, seperti contohnya Amanjiwo, sebuah hotel kelas dunia yang bertempat di Menoreh.

Menoreh, sama cantiknya dengan bentang alam lainnya di Magelang. Dan sebenarnya banyak sekali tempat menarik di sepanjang jalur Karst Menoreh. Jika berkesempatan, saya sarankan jelajahilah Menoreh dengan trekking/hiking. Di era 1990-an, Karst Menoreh adalah salah satu tempat favorit tujuan hiking, biasanya mengambil rute dari Borobudur dan finish di Suroloyo, mengikuti jalur para pelaku lakon muncak ke Suroloyo di malam 1 Suro orang-orang Jawa tradisonal. Dengan kecantikannya dan daerah yang sepi nan membuai, Karst Menoreh adalah alternatif lain untuk berkontemplasi di Magelang.

Tabik.

nb :

– Tentang SH Mintardja

– Tentang Karst Menoreh

– Tentang Pangeran Diponegoro, sudah menjadi semacam kisah rakyat di daerah Salaman dan sekitarnya, beliau dan pasukannya sudah menjadi local hero di sekitar Salaman. Bahkan beberapa barang-barang peninggalannya masih ada yang menyimpan hingga sekarang di sekitar Langgar Agung Diponegoro.

– Laku 1 Suro di Suroloyo merupakan tradisi yang sudah berlangsung lama. Almarhum bapak saya pernah menceritakan bagaimana perjalanannya jalan kaki dari Borobudur ke Suroloyo di masa mudanya, untuk mengikuti upacara malam 1 Suro tersebut.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

6 KOMENTAR

  1. jaman SMP pernah hiking ke perbukitan menoreh di Salaman, lewat tambang marmer itu juga… tapi ya belum menyadari akan sejarah, potensi maupun sisi geografis nya. asal jalan… next, kudu dicoba trekking lagi. nice post !

  2. Sekedar koreksi mas farhan, menurut saya pemakaian kata karst kurang sesuai. Mungkin nanti bisa di search di google mengenai karst. Sejauh yang saya tahu, karst merujuk pada suatu morfologi yang terbentuk akibat pelarutan batuan (umumnya batugamping). Sedangkan pegunungan menoreh sendiri secara umum tersusun oleh batuan vulkanik(dan morfologinya bukan morfologi karst, morfologi karst memiliki ciri tersendiri). Karstnya sendiri sebenarnya ada di selatan menoreh, di kulon progo, tepatnya di daerah sentolo. Di sana banyak dijumpai batugamping. Mungkin lebih baik disebut pegunungan menoreh saja daripada karst menoreh. Jadi agak rancu jadinya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here