proxy

Simpang Dago.Β  23.30. 26 – 04 -2013.

Saya terlalu telat sampai Bandung, atau tepatnya memang sengaja menelatkan diri. Hampir jam 12 malam saat perut kelaparan dan jaket tebal yang sudah begitu ketat membungkus tubuh tak kuat menahan hawa dingin Dago Atas.

Saya menyeberang di Simpang Dago dengan sangat pelan, toh hampir tengah malam, mobil dan motor lewat hanya sekali dua kali. Sambil sesekali melirik telepon seluler menanti kabar dari kawan, tempat saya menumpang barang semalam. Saat saya sibuk dengan telepon selular itulah saya tidak memperhatikan langkah, tiba-tiba kaki saya tersaruk kain dan hampir menginjak buntalan kain di sudut kios di Simpang Dago.

Saya berhenti, kain itu bergerak-gerak, kain itu tumpukan kain bekas spanduk atau apalah semacamnya itu. Saya amati lagi, di balik kain ada sesosok ibu yang menyusui anaknya, masih bayi. Sementara tangan lainnya merangkul anaknya yang satu lagi, masih balita. Seketika itu juga saya terdiam mematung. Ada sedikit rasa yang aneh yang menjalar di hati, rasa yang tiba-tiba memanas, mengular ke seluruh tubuh dan tiba-tiba sampai ke mata, tanpa sadar saya sudah mengusap air mata.

Dalam dingin Bandung, tengah malam, saya yang memakai jaket gunung windbreaker saja masih kedinginan, si ibu dan anak-anaknya berjibaku melawan dingin bandung hanya dengan menyumpal tubuhnya dengan kain bekas seadanya, beralaskan kardus, meringkuk di emperan kios. Saya harus banyak – banyak bersyukur masih ada yang mempersilakan saya tidur di kamarnya, barang semalam dua malam.

Saya tidak mau peduli, apakah itu anaknya, atau itu anak yang ia sewa, praktik yang marak sekarang ini. Saya tidak berpikir sejauh itu, apa yang saya lihat dari dekat itu menampar saya sejadi-jadinya. Membuat saya terjaga hampir sampai sepertiga malam terakhir.

Demi melihat kondisi ibu itu, saya lalu berpikir. Apa saya berbangga hati demi pernah tidur di stasiun, di airport, di terminal, di tempat umum, apa saya perlu mengabarkan itu semua? sementara si ibu setiap hari tidur di emperan kios, menghalau dingin, dibayangi ketakutan akan terkaman aparat bernama Satpol PP, emperan kios itu juga perlindungannya akan hujan yang kadang menggenangi Simpang Dago dan juga tempatnya meringkuk, berharap tidak ada serigala-serigala bernama preman yang memerasnya. Apalah yang bisa saya banggakan dengan itu semua?

Kemiskinan yang dialami ibu itu mungkin selama ini hanya saya anggap angin lalu. Dimana saya yang selama ini tidak peduli? Saya lebih peduli dengan harga tiket promo maskapai penerbangan yang terkadang masih dikeluhkan terlalu mahal, dibandingkan dengan pencapaian teman-teman lain yang mungkin bisa dapat lebih murah. Tiket murah yang harganya mungkin saja sama dengan uang yang bisa digunakan ibu itu untuk memberi makan anaknya selama beberapa hari, uang untuk membeli tiket promo yang seperti enteng saya keluarkan dari kantong atau semudah memasukkan nomor kartu kredit ke situs maskapai penerbangan, uang seperti itu yang diperjuangkan ibu itu, hanya untuk makan dan bertahan hidup hari ini.

Dibandingkan ibu itu, saya lebih berkelimpahan, dan saya masih mengeluh harga tiket promo yang mahal? memalukan sekali saya. Saya pernah bangga mengaku backpacker, tidur di stasiun, di bandara, di terminal, kebanggaan yang harusnya tidak untuk saya sematkanΒ  ketika melihat orang lain bahkan tidur di stasiun, di bandara, di kolong jembatan di keseharian mereka, tidur dalam kesengsaraan setiap hari.

Apa yang saya kira kebanggaan adalah tidur di tempat umum dengan backpack harga jutaan, jaket ratusan ribu, sepatu trekking mulus, uang saku ratusan ribu bahkan jutaan. Ibu itu sama tidur di tempat umum, dengan baju yang mungkin ia beli setahun sekali, tasnya hanya tas kresek tempat menaruh barang-barangnya, beralas kardus dan mungkin belum tentu mengantungi uang hari ini? Kebanggaan semu.

Kemiskinan yang dikesankan dibuat-buat, seolah-olah dalam perjalanan memang tidak punya uang sepeserpun. Sementara di sebagian lain saya bertemu orang yang memang tidak punya uang sepeserpun. Pencitraan kemiskinan yang dilakukan oleh pejalan yang kadang saya lakukan sendiri, sementara sebulan saya bergaji nol enam digit? Saya tak pantas bangga dengan itu semua, saya malu.

Ibu di Simpang Dago telah menampar saya. Dalam malam Bandung yang dingin saya tidak bisa menghapus memori tentang ibu yang saya temui, saya gelisah sampai mata saya menyerah.

Dan pagi ini saya terbangun dalam sedih, saya ceritakan apa yang saya temui pada kawan saya yang memberi tumpangan. Saya terkenyum kecut dan terngiang pertemuan semalam. Pertemuan itu adalah tamparan. Tamparan bagi saya untuk lebih arif saat menjadi pejalan, tamparan untuk lebih bersyukur.

Apalah tiket pesawat promo saya? Yang jika saya berikan pada ibu itu, itu bisa menyambung hidupnya beberapa hari? Saya harus banyak-banyak berterima kasih masih bisa menumpang tidur, masih punya uang untuk tidur di hotel termurah sekalipun, saya malu untuk mengeluh sementara ada sebagian dari kita saking tidak punya uangnya harus berjibaku di jalanan.

Saya malu.

Tabik.

Dipati Ukur – 27 April 2013. 09.30. Kamar Endra Rintovani.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

23 KOMENTAR

  1. trend menjadi miskin di antara pejalan semakin trend, tapi apa benar kita semua mengalami kemiskinan itu?
    kamu mengajak pembaca refleksi lebih dalam…
    saya selalu suka dengan tulisan-tulisanmu.

  2. kalau menurut saya anda bukan cukup hanya sadar tapi harus secara nyata anda berubah. karena kalau hanya sadar banyak yg sebatas omongan saja atau sesaat saja.

  3. aku juga sering merasakan seperti yang kowe rasakan cil, cuma semakin kesini, semakin banyak orang-orang seperti ibu itu, dan aku jadi bertanya-tanya.. apa memang harus begitu? sesungguhnya kemiskinan itu gak ada, adanya pemiskinan yang dibuat oleh sebuah sistem, orang-orang dianggap miskin, dijadikan miskin karena mereka tidak punya uang. aku selalu bertanya tanya, apakah ditempat asalnya, benar benar mereka tidak mampu? ataukah mereka terpengaruh dengan tayangan di televisi yang menjual kebahagian haruslah seperti ini seperti itu dan akhirnya mereka yang mungkin tadinya bahagia hidup sederhana jadi merasa miskin?
    dan masih banyak pertanyaan lain…

    • hai des..thanks sudah mampir. πŸ™‚
      saya mencoba menyingkirkan pertanyaan2 yang menghantui des..sama, pasti ada pertanyaan begitu.
      hanya saja mungkin saya lebih beruntung dari ibu itu dan saya harus banyak2 bersyukur.

  4. kita tidak bisa memillih dengan siapa kita akan bertemu selama kita berada di perjalanan. mungkin si Ibu dan bayinya memang ditugaskan untuk bertemu dengan sampeyan, sekedar memberikan sebuah pemahaman lebih atas kalimat “syukur”. saya pun sering mengalami hal seperti ini. πŸ™‚

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here