DSC_0096
Tim Speed Boat menuju Sebuku

Dinamika perjuangan rekan-rekan fiskus di daerah tentunya sangat beragam, tingkat kesulitan yang dialami juga berbeda-beda, kontur medan dan daerah penempatan yang terkadang mungkin terdengar antah – berantah bagi sebagian orang adalah tantangan yang setiap hari nyata dihadapi serta sudah menjadi menu wajib rekan-rekan di daerah. Untuk itulah, kali ini DJP ingin mengangkat kisah-kisah tentang perjuangan rekan-rekan fiskus di daerah, menceritakan kembali perjuangan di daerah yang entah orang pernah mendengarnya atau belum.

Proyek ini dibagi beberapa tim yang melaksanakan proyek ini secara berbarengan bersama rekan-rekan dari media. Ada 3 tim yang bergerak bersama, dalam kurun waktu yang sama, yaitu di Natuna, Putussibau dan Batulicin. Saya sendiri mendapat bagian untuk membantu proyek ini di Batulicin, Kalimantan Selatan selama beberapa hari ke depan. Untuk mencoba merasakan perjuangan dan merekam kisah mereka selama berjuang demi negara.

Kemarin lusa (21/5) tim yang terdiri dari P2 Humas Kantor Pusat, rekan-rekan AR dari KPP Pratama Batulicin, pendamping dari Kanwil Kalselteng dan rekan-rekan media sudah bersiap. Dijadwalkan perjalanan dimulai dari pukul 7 pagi dan dilepas oleh Kepala Kantor KPP Pratama Batulicin. Tujuan kali ini adalah Pulau Sebuku, salah satu pulau terluar di wilayah Kalimantan Selatan yang menghadap langsung dengan Selat Makassar. Waktu tempuh diestimasikan 3-4 jam, tergantung tinggi gelombang di laut nanti.

Bahwa perjuangan itu nyata di Batulicin, jangan bandingkan dengan di Jakarta. Tantangannya berbeda, jika mungkin di Jakarta mengeluh karena macet yang menyebabkan telat kantor, itu belum apa-apa. Di Batulicin, tantangan bisa berupa tinggi gelombang, kapal terbalik, kapal mati di tengah laut, dan kondisi alam yang benar-benar tidak bisa diprediksikan. Untuk menuju Sebuku dari Batulicin saja harus melalui jalan berliku, dari Batulicin menyeberang menuju Pulau Laut, lama perjalanan dengan speed boat sekitar 1 jam. Kemudian di Pulau Laut harus melanjutkan perjalanan dari Kotabaru menuju pelabuhan rakyat untuk menuju Sebuku, perjalanan darat kurang lebih 40 menit, setelah itu kembali dilanjutkan dengan perjalanan menyeberang dari Pulau Laut menuju Sebuku dengan speed boat lagi kurang lebih 1, 5 jam perjalanan.

Jangan bayangkan speed boat adalah speed boat yang besar dan cepat. Speed boat untuk mengarungi lautan dari Batulicin ke Sebuku adalah speed boat kecil berbodi fiber, bermesin tunggal dan maksimal hanya bisa membawa 5 penumpang. Kursi di speed boat adalah kursi kayu dengan busa yang seolah hanya ditempelkan sekedarnya saja. Body speed boat yang jika dilihat sekilas pasti akan mendatangkan keraguan apakah speed boat ini tahan diterjang gelombang, dari cerita-cerita sebelum perjalanan saja sudah cukup menyeramkan, mulai dari speed boat terbalik, dihantam gelombang 2 meter, mati mesin dan hal-hal yang membuat jeri untuk melangkahkan kaki menuju speed boat.

Bahkan untuk naik speed boat saja harus bergelut, di Pelabuhan Batulicin tawar menawar dan saling tarik ulur untuk menentukan harga speed boat yang cocok. Begitu harga cocok dan deal, maka tim segera masuk ke speed boat untuk segera berangkat menuju Pulau Laut. Juru mudi segera menyalakan mesin, mesin meraung-raung, bahkan mungkin lebih tepatnya melengking tinggi. Dan speed boat kecil ini segera menyongsong lautan lepas di depan sana. Saya bahkan keheranan, dengan speed boat kecil, perjalanan cukup lama, saya bahkan tidak diberi vest. Ah, ini saatnya lillahi ta’ala, entah apa yang terjadi semoga tidak terjadi hal-hal buruk.

Dan benar, begitu di tengah perjalanan apa yang saya lakukan hanyalah memegang besi pegangan dengan erat, bahkan terkadang mendekapnya. Speed boat ini terbang melayang beberapa meter di atas air, dan saat turun maka benturan keras menerpa body speed boat dan menjalar pada punggung, rasa sakit dan kagetnya aduhai. Apalagi saat menerjang gelombang, body speed boat akan oleng ke kanan kiri, sementara juru mudi dengan tenangnya terus melajukan speed boat sementara 2 penumpang di belakang sudah pucat pasi ketakutan. Pun sepertinya nasib sial sedang berkawan akrab dengan saya, mesin speed boat yang saya tumpangi rupanya bermasalah. Beberapa kali juru mudi menghentikan mesin di tengah laut dan pergi ke bagian belakang untuk membetulkan mesin, sementara kapal terdiam pasrah digoyang – goyang gelombang.

DSC_0015
Pelabuhan Speed Boat Batulicin

Waktu yang tepat untuk menyeberang adalah pagi hari saat arus tenang, dan jangan pernah menyeberang di atas jam 4 sore kalau tidak mau kena hantam gelombang. Perjalanan menuju Pulau Laut memang cukup menegangkan apalagi bagi saya dan teman-teman P2 Humas yang tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. Namun kompensasi ketegangan itu adalah langit biru cerah dan pemandangan yang indah. Jujur, suasana pagi di kala penyebarangan memang cukup menyenangkan, nun jauh terdapat bagan-bagan ikan yang dipasang di tengah laut, sementara di sisi lainnya adalah laju speed boat yang seolah berlomba menjadi yang pertama tiba. Nyiur yang berderet melambai juga menambah indah suasana penyeberangan pagi itu.

Tak lama tim merapat di Dermaga Speed Boat Kotabaru, saya naik dermaga dalam kondisi bergoyang-goyang, pusing setelah perjalanan di speed boat. Tapi kami tak boleh berlama-lama, segera kami berganti naik mobil menuju dermaga speed boat yang akan membawa kami dari Pulau Laut ke Pulau Sebuku, lokasinya agak jauh, sekitar 1 jam dari Kotabaru. Kondisi jalan tidak bisa dibilang bagus, tapi juga tidak jelek-jelek amat, standar lah. Di suatu ruas masih mulus, tapi di beberapa titik masih ditemui jalan berlubang cukup besar.

Kotabaru dulunya di era Belanda adalah salah satu pusat tambang batubara, sampai sekarang tinggalannya masih ada beberapa titik dan terbengkalai di beberapa titik. Masyarakat Kotabaru percaya seluruh pulau itu memiliki kandungan batubara, hanya saja di Kotabaru tidak diizinkan penambangan, benar-benar tidak ada tambang sama sekali. Kotabaru sendiri termasuk kota yang ramai, ekonomi berjalan pesat, bangunan-bangunan baru tumbuh bak jamur. Namun kami tak sempat menikmati kota Kotabaru, kami segera menepi menuju pinggir kota menyisir pinggiran pantai dengan deret ribuan nyiur dan perbukitan di sisi lainnya, menuju pelabuhan Speed Boat ke Sebuku.

DSC_0080
Pelabuhan Speed Boat Pulau Laut

Dermaga speed boat untuk menuju Pulau Sebuku jauh dari keramaian. Hanya ada beberapa rumah termasuk rumah si empunya speed boat. Dermaganya pun terlihat keropos dengan kayu-kayu landasan yang sudah hampir habis termakan usia. Jika tidak berhati-hati bisa saja saya terperosok. Segera kami berganti ke Speed Boat yang akan membawa ke Sebuku, kali ini wajib vest karena speed boat akan melewati lautan dengan gelombang yang lebih ganas, melewat sebagian Selat Makassar. Beberapa cerita pegawai KPP Pratama Batulicin bahkan speed boatnya bisa terbang sampai beberapa meter jika terhempas gelombang. Duh, ngeri.

Angin kencang menerpa wajah, lengkingan mesin speed boat menyertai perjalanan. Sementara bapak juru mudi anteng saja sambil merokok di belakang setir speed boat. Baginya laut adalah sirkuit yang menyenangkan, dia tak segan membalap speed boat lainnya yang tak lain anak-anaknya sendiri. Ya, kami dibawa dengan 3 speed boat, dipimpin sang bapak, sementara 2 speed boat lainnya dikemudikan anak-anaknya. Gelombang disini memang lebih galak, namun juru mudi pun lebih ganas mengemudi. Tak ada kata berbelok menghindari gelombang, semua ditebas diterabas sampai kapal kecil fiber ini tanpa ampun terbang sesaat di udara dan mengocok penumpangnya.

Perjalanan di speed boat ini memakan waktu 1,5 jam. Jadi sudah 3,5 jam kami di jalan hanya untuk mencapai Sebuku, dengan dua kali Speed boat satu kali jalan darat. Saya dan teman-teman tim P2 Humas saja sudah kepayahan, sementara bagi rekan-rekan di KPP Pratama Batulicin ini adalah menu sehari-hari. Menerjang resiko yang boleh dibilang menyerempet maut saat bertugas demi negara tanpa mengeluh, tanpa menuntut, hanya menjalani tugas dengan tekad buat walau banyak keterbatasan. Perjuangan mereka benar-benar membuat saya berpikir bahwa perjuangan saya tak berarti apa-apa dibandingkan mereka, saya tak pantas mengeluh dengan apa yang saya nikmati mereka di Jawa, sementara rekan-rekan saya di Batulicin berjuang 10 kali lipat dibandingkan saya tanpa mengeluh, tanpa menuntut, ikhlas.

DSC_0296
Speed Boat Pulau Laut – Sebuku

Tiba di Pulau Sebuku bukan berarti perjalanan sudah usai, kami masihΒ harus menembus kawasan pertambangan dengan kondisi jalan tanah lempung yang liat. Kendaraan yang membawa kami sampai meraung-raung kepayahan, sementara deru truk-truk besar pengangkut material tambang pun tak berhenti menyapa kami. Sudah hampir 4 jam digempur di perjalanan dan bahkan kami belum sampai ke lokasi.

Sekitar pukul setengah satu siang barulah kami mencapai lokasi tambang, disini istirahat sebentar untuk menunaikan shalat dhuhur dilanjutkan dengan visit area pertambangan. Yang menjadi objek visit adalah stock pile, area pengolahan batubara, mining pit dan port. Visit ini dilakukan untuk mencocokkan data wajib pajak dengan kondisi nyata di lapangan. Pencocokan ini kurang lebih memakan waktu sekitar 2 jam, sampai agenda di tambang selesai sekitar jam tiga sore. Itu berarti kami harus segera kembali secepatnya ke Kotabaru dari Sebuku sebelum jam lima sore, atau jika tidak alamat akan jadi daging cincang di perjalanan karena harus melawan gelombang tinggi.Β 

DSC_0198
Area Pertambangan Pulau Sebuku

Perjalanan sore walaupun indah karena menjelang senja, namun juga berarti perut kami harus menerima tekanan 2 kali lipat karena gelombang sudah mulai tinggi. Perjalanan pulang pun menjadi lebih lama karena juru mudi harus benar-benar bekerja 2 kali lipat mengendalikan speed boat. Pada perjalanan pulang tak jarang speed boat kami terkena gelombang dari samping yang membuat speed boat terhuyung kehilangan kendali terdorong arus, ini yang membuat saya tak mau melepas pegangan dari besi speed boat, teman sebelah saya pucat dan juru mudi sibuk menstabilkan kapal.

Untungnya tidak terjadi apa-apa saat perjalanan pulang, hanya saja speed boat yang satunya memang sempat terbang cukup tinggi karena menghajar gelombang. Dan itu momen paling mendebarkan yang pernah saya lihat. Di bagian perjalanan ini saya hanya bisa memasrahkan nasib saya pada Yang Kuasa. Dan ketika senja makin memerah, speed boat perlahan merapat ke dermaga, saya kembali berjumpa dengan nyiur, daratan dan siksaan speed boat sudah lewat. Melihat saya yang kepayahan, teman-teman dari KPP Pratama Batulicin hanya tertawa-tawa, seorang yang merupakan senior saya di kampus dan teman main basket bahkan mengejek saya, baginya hal ini sudah hal biasa dan santapan sehari-hari, bagi saya ini adalah neraka yang menguras emosi dan menghadirkan titik ketakutan saya barada pada titik tertinggi. Di Batulicin, teman-teman fiskus sudah bertransformasi menjadi manusia-manusia yang tangguh dan berjuang tanpa pernah mengeluh.

Menjelang maghrib saya termenung dalam mobil yang membawa rombongan kembali ke Kotabaru dari dermaga. Perjalanan baru separuh, belum usai, belum boleh berlega hati, masih ada penyeberangan Kotabaru – Batulicin yang harus dilewati. Coba jika teman-teman di Batulicin memiliki kapal sendiri, atau katakanlah fasilitas penunjang kerja yang lebih baik, tentunya mereka tak perlu menyewa speed boat yang harganya mahal, tak perlu harus menyerempet bahaya menantang laut. Jika mereka berjuang untuk negara, tak bisakah negara memberikan sesuatu agar mereka lebih layak berjuang? Tak rela rasanya perjuangan mereka tak dihargai semestinya dan dihamburkan untuk hal-hal yang sia-sia di Jakarta sana.

Lepas maghrib rombongan merapat ke KP2KP Kotabaru untuk beristirahat sebentar, suguhan sederhana dari teman-teman KP2KP berupa gorengan hangat sudah merupakan sambutan yang luar biasa bagi kami. Dari jam enam sampai jam delapan malam selain beristirahat di gedung KP2KP, tim juga melakukan pengambilan video wawancara pada pegawai KPP Pratama Batulicin, tentang suka duka mereka selama di Batulicin, walaupun di mata saya pasti banyak dukanya, banyak kisah-kisah pedihnya. Ada banyak kisah yang dituturkan, ada banyak keharuan yang terekam di kamera, ada banyak kisah di luar nalar yang tertuang, tertutur mengalir begitu saja tanpa rekayasa.

DSC_0307
Wawancara

Setelah mengambil gambar, maka rombongan kemudian kembali menuju Batulicin. Rombongan 2 mobil yang kembali menuju Batulicin kemudian menembus jalanan Kotabaru yang dirundung gerimis. Mungkin hujan adalah anugerah yang mendinginkan hati karena perjalanan yang sudah panas. Sebelum menuju pelabuhan ferry, karena malam hari tidak mungkin dengan speed boat. Rombongan mampir untuk makan malam sebentar, sekadar menambal perut yang kosong dan kembali mengisi energi yang sudah terkuras hebat seharian.

Jam sembilan malam tim bertolak menuju pelabuhan ferry, teman-teman yang kelelahan segera tertidur di kursi mobil, termasuk saya. Saya memang sudah tak sanggup menahan mata untuk tetap terbuka, perjalanan hari ini benar-benar menghabiskan semua energi saya. Rupanya level kesabaran teman-teman dari Batulicin sudah 1 level di atas manusia rata – rata, kali ini ujian menerpa saat perjalanan pulang. Lampu salah satu mobil yang digunakan ternyata rusak, sehingga sangat redup di jalan. Sementara dari Kotabaru ke pelabuhan penyeberangan ferry masih kurang lebih satu jam menembus hutan nan sepi. Alamak, benar-benar mereka berhati baja, kebetulan saya bersama salah satu pegawai senior KPP Pratama Batulicin yang berkata hal-hal seperti ini adalah hal biasa di Batulicin. Saya hanya tersenyum kecut.

Akhirnya mobil berjalan beriringan, mobil yang lampunya rusak berada di depan sementara mobil yang saya tumpangi di belakang untuk memberi sorot lampu dan panduan bagi mobil depan. Kawasan menuju pelabuhan ferry memang sangat sepi sekali, hanya satu dua rumah yang tampak di tepi jalan. Rencana perjalanan satu jam menjadi molor 2 kali lipat, 2 jam. Dan perkiraan bahwa rombongan akan tiba di Batulicin jam 10 malam hanyalah sekedar perkiraan kosong. Rombongan baru benar-benar merapat di pelabuhan ferry setengah jam sebelum tengah malam.

Kapal meninggalkan Pelabuhan Kotabaru tepat pada tengah malam, saya berada di Muster Station kapal ferry bersama teman-teman peliputan viral story, teman-teman dari KPP Pratama Batulicin dan orang Kanwil Kalselteng. Sebagian karena sudah lelah tetap berada di dek bawah untuk beristirahat. Dengan pemandangan laut lepas berteman bulan dan bintang di langit, saya mengakhiri perjalanan 17 jam untuk meliput perjuangan teman-teman di Batulicin yang memang nyata adanya.

Mau tidak mau dalam hati saya harus mengakui teman-teman di Batulicin adalah patriot-patriot institusi dan seharusnya diberi apresiasi lebih, diberikan fasilitas yang memadai untuk menunjang kinerja mereka yang luar biasa berat. Institusi tidak seharusnya seolah tidak tahu, menutup mata dengan pegawai-pegawai yang berjuang di garis tepi, di kawasan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jika di kota besar mungkin mengeluh dengan macet, telat absen, take home pay dipotong dan keluhan kota besar lainnya. di Batulicin mereka sudah tak mau mengeluh, mengeluh tidak akan merubah kondisi, perubahan hanya dilakukan apabila bertindak. Untuk apa mengeluh tidak ada listrik, tidak ada internet, jalan rusak, kendaraan tidak memadai, cuaca buruk, gelombang tinggi, mereka sudah kebal dengan hal itu semua. Alih-alih mengeluh yang tak akan merubah kondisi, mereka terbiasa untuk bertindak mengatasi masalah itu agar pekerjaan tidak terganggu.

Jika mau adil, jika mau berkaca, jika mau melihat lebih dekat. Sesungguhnya di daerah yang sering disebut antah-berantah ada pejuang-pejuang yang terus berjuang dengan tulus demi negara, mereka bukan oknum yang memperkaya diri sendiri, tamak dan memperburuk institusi. Mereka adalah orang yang rela jauh dari keluarga dan mungkin hanya bertemu sebulan sekali, hidup terpisah dirundung sepi. Semoga dengan adanya liputan ini yang nanti akan berbentuk viral story, semoga akan terbukakan mata tentang perjuangan dan kehidupan rekan-rekan di daerah.

Tabik dari Batulicin.

DSC_0247
Rombongan berfoto bersama

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

39 KOMENTAR

  1. keep fighting, chan ..
    mudah2an benar-benar membawa perubahan, bukan cuma proyek mercusuar yang bakal ditinggalkan ketika popularitasnya sudah menyurut .. πŸ™‚

    • saya malah ga mikir sampai kesitu lho mbak. πŸ˜€
      yang penting saya bisa mengabarkan sesuatu yang selama ini tidak diketahui banyak orang.

  2. thank you for sharing Chan! Salut utk teman-teman di Batuicin & Kotabaru. Ternyata dapet penempatan/kerjaan di tempatku sekarang masih “mendingan” dan belum ada apa-apanya dibandingkan di Batulicin atau tempat-tempat lain yg mungkin lebih ganas lagi. XD

  3. sama seperti saat suamiku pulang dari Batulicin, membawa sebongkah cerita penuh makna dan berakhir dengan ucapan “alhamdulillah”

    cuma ceritanya ala ala masku yg disampaikan secara langsung, soale gag iso nulis..hihi..

    nice chand!!

  4. saya sampe mbrebes mili bacanya.
    sejak terlibat cukup aktif ngurusin VG, mata saya jadi terbuka kalo di sudut, di pelosok, di perbatasan, sungguh berat perjuangan dalam bekerja. Apalah arti keluhan take home pay yg tak berbanding lurus dengan mereka yg harus rela jauh dari keluarga, fasilitas minim dan kadang harus bertaruh nyawa?

    noda itu hanya setitik, bukan berarti semuanya jadi tercela. masih banyak yang bekerja dengan tulus, tanpa pamrih…

    *melipir dulu ah, terlalu serius bahasanya*
    πŸ˜‰

  5. Masih Alhamdulillah mas….perjuangan nya ada yang meliput,dan setahu saya baru kali ini,padahal saya juga pernah bertugas di KPP Banjarmasin yang pada waktu itu wilayahnya mencakup Batulicin…sampai pulau sebuku,syukur lah ada yang mau bercerita tentang perjuangan ini….

  6. batulicin is biasa-biasa saja, kpp-nya juga diisi fiskus yang biasa-biasa saja, semuanya biasa saja.

  7. Tulisan inilah yang memecut semangat saya untuk menyusun reportase sejenis tentang pebuatan video di Putussibau. Saya kagum dengan energi penulis yang demikian sigap dan runtut menceritakan apa yang barusan dialami. Makasih inspirasinya, mas Ichan…
    Tak penting kita bertuga dimana, yg jauh lebih penting adalah kita mampu memikul tanggung jawab yg sudah diletakkan di pundak kita oleh institusi yg menghidupi anak istri kita. Eh sampeyan belum punya istri ding ya…hehehe…

  8. ke pulau sebuku sebenernya masih terbilang enak. kemarin sempet diusulkan ke Mangium, Indocement atau Sawita yang medannya lebih parah. tp karena mendadak, hanya BCS yang siap didatangi….

    dan tulisan di atas menururt saya agak sedikit berlebihan bagi kami yang sudah lama ada di batulicin.

    dan kalo dibilang orang2 di sini tidak mengeluh, justru orang-orang yang anda ceritakan yang biasanya tiap hari mengeluh dengan kondisi di sini.

    Syukurlah mereka pindah, karena , males denger mereka mengeluh tiap hari di sini

    • tulisan ini hanya berdasar observasi saya selama beberapa hari. jadi saya tulis yang saya amati selama beberapa hari ini.
      terima kasih atas komentarnya, mungkin jika ada kesempatan lebih lama, bisa jadi reportase yang lebih objektif lagi.

  9. Luar biasa perjuangan temen2 sekalian, Kami dari fiskus juga, kebetulan AR juga dari Kep. Babel, paling dua minggu sekali kena gelombang laut kalo naik kapal cepat atawa ferry ketika lagi nengok keluarga di Palembang, Saluut buat temnen2 sekalian, kami naik ferry atawa kapal cepet pun kalo pas gelombang besar sudah deg2an …. Tatap semangat…..

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here