45ba2fe8c5ac11e28b3822000a9f15fd_7
lihat mereka yang memotret Banthe. source : instagram @gendisprimon. link : http://instagram.com/p/ZwhzPkLtqC/

Saya bersyukur saya tidak mengikuti prosesi Waisak semalam. Melihat kicauan teman-teman tentang keriuhan Waisyak sepanjang perjalanan Jakarta – Garut tadi malam membuat saya kembali miris dan sedih. Apa yang saya tuliskan tahun kemarin kembali terulang lagi dan (mungkin) lebih parah. Apa sekarang memang era dimana sebuah perayaan agama menjadi tontonan wisata?

Mari berpikir, adalah hak setiap orang beragama untuk menyelenggarakan ibadahnya di Indonesia. Jadi pilihan umat Budha untuk merayakan Waisak yang merupakan hari besar mereka di Borobudur adalah hak mereka, hak asasi paling asasi. Borobudur yang merupakan simbolisme kejayaan Budha di Indonesia memang sangat pas untuk tempat mereka melaksanakan upacara Waisak. Borobudur adalah tempat suci umat Budha dan mereka beribadah di tempat suci bagi mereka, apakah itu salah?

Saya yang semasa kecil turut menikmati keriaan Waisak terheran-heran ketika 2 tahun ini mendadak Waisyak menjadi heboh dengan segala persoalannya. Dulu di era 90-an, Waisyak itu sangat sakral, bahkan kalau dibandingkan sekarang cenderung sepi. Pengamanan Waisyak cenderung ketat, mendadak ada Tentara dan Polisi berjaga. Jalan menuju Mendut dan Borobudur sudah ditutup mulai dari Palbapang (7 km dari candi) sejak H-1. Semua kendaraan yang akan melalui palbapang di sweeping, kendaraan umat Budha silakan masuk, selain itu haram. Ini persoalan bagi penduduk desa saya yang harus melalui palbapang, penduduk desa saya bisa masuk setelah melalui pemeriksaan KTP dan menunjukkan domisilinya. Jika tidak ya tidak bisa lewat atau harus memutar lewat Blabak atau jalan tikus lainnya.

Dahulu era 90-an Waisak memang perayaan semua orang, warga desa di sekitar Borobudur berbondong-bondong takjub melihat arak-arakan dari Mendut ke Borobudur menyemut memenuhi jalanan. Dulu Waisak dianggap sebagai sebuah upacara yang menarik secara kultural bagi warga  Magelang, bukan objek turisme. Warga desa tak jarang harus berjalan kaki berkilometer jauhnya menuju Borobudur untuk turut mengikuti ritual dan keriaan Waisak, hal ini lazim setiap tahun seperti yang dilakukan oleh warga desa saya. Beberapa warga desa bahkan menganggap mengikuti Waisak sebagai ngalap berkah, ada yang meminta air suci, mengambil dupa atau bahkan khusyuk mengikuti ritualnya walaupun bukan penganut Budha.

Ritual Waisak di Borobudur itu universal. Banyak aliran dan sangha berkumpul menjadi satu di Borobudur. Ini sudah terjadi sejak dulu. Di masa kecil, saya digendong bapak menonton arak-arakan ini di Borobudur, saya takjub dengan baju-baju penganut Budha yang beraneka ragam, bhiksu-bhiksu yang datang dari berbagai negara tetangga, umat Budha pribumi yang datang dari lereng-lereng gunung di Magelang, Temanggung dan Wonosobo, bhiksu yang bule sampai bhiksu – bhiksu Jepang sampai orang-orang Tionghoa dengan baju merah-merahnya. Inilah yang membuat waisyak secara kultur menarik, banyak sangha, banyak aliran semua memusatkan hari raya-nya di Borobudur.

Warisan kultural ini menjadi menarik ketika toleransi antara penduduk lokal dengan para umat Budha ini berlangsung amat cair. Dari cerita-cerita ibu dan paman saya, dulu menjelang Waisak banyak Bhiksu-bhiksu itu banyak yang berlalu lalang di Muntilan dan Magelang. Penduduk desa juga secaara sukarela menyediakan rumahnya untuk menginap bhiksu dan umat budha lainnya. Masyarakat sekitar Borobudur turut menyambut saudara-saudaranya yang ingin merayakan hari rayanya. Bahkan ada sinkronisasi Budaya dalam rangkaian acara, ada semacam pengobatan gratis dari Walubi adalah semacam ucapan terima kasih kepada penduduk sekitar Borobudur yang sudah menyambut mereka.

Tapi itu dulu, sekarang judulnya lain lagi. Waisak sudah bergeser menjadi pertunjukan wisata dan kemudian lambat laun menjadi objek turisme, turisme yang sekarang menggejala tak terkendali dan liar. Pun banyak yang mengingatkan tapi tetap banyak yang lupa diri. Banyak yang menganggap bahwa Waisak adalah ritual yang menarik untuk ditonton, masifnya turis yang datang mungkin tidak diimbangi dengan pengamanan yang saya rasa sekarang semakin longgar, mungkin karena tak kuasa dengan banjirnya pengunjung yang datang. Banjirnya pengunjung yang datang saya kira sebelumnya harus diantisipasi dengan benar oleh penyelenggara.

Pengunjung yang menyemut tentunya bukan masalah, tapi jika sampai mengganggu orang yang beribadah tentunya dia bersalah karena mengganggu orang yang sedang beribadah, melanggar hak beribadah. Saya kira pengunjung yang datang semuanya harus memaknai itu, memaknai bahwa Waisak adalah ritual agama, sedang beribadah. Bagi pengunjung yang sudah memahami itu saya kira merekalah pengunjung yang beruntung, pengunjung yang bisa memaknai dengan benar apa arti Waisyak dan tak sekadar hanya terpikat dengan ritual di ujung berupa pelepasan lampion. Bukan sekedar pengunjung yang haha-hihi jepret kanan jepret kiri.

Riuh rendah Waisak ini bahkan sudah lantang beberapa bulan sebelum acara, di beberapa grup pejalan yang saya ikuti semua sudah tampak antusias. Beberapa kali melakukan counter opinion untuk mengingatkan bahwa Waisak adalah perayaan ritual keagamaan, tapi tampaknya tak ada hasilnya, tenggelam dalam antusiasme perayaan Waisak yang hanya dimaknai dari pelepasan lampion. Gendheng – nya ada beberapa trip Waisak yang terang-terangan dijual, komersialisasi ibadah dan mengundang wisatawan mampir? Dengan berbagai alasan mungkin bagi logika saya terdengar menggelikan. Sebagai seorang muslim saya mungkin akan terasa aneh jika ada yang menjual trip misalnya:  “Trip 3 D 2 N, menikmati Ritual Idul Fitri di Istiqlal, bersalam-salaman dan Menikmati Opor Ayam hanya 1.500.000,oo” terdengar aneh bukan?

Saya kira jika kita menengok ke belakang, pengalaman pengamanan ketat di era 90-an, saya kira itu perlu. Pengamanan penting dilakukan untuk menjamin hak orang yang beribadah supaya tidak diganggu, ini adalah kewajiban negara untuk menjamin hak orang beribadah dan harus benar dan harus benar benar dilakukan oleh alat negara. Atau jikalah mau lebih tegas, adalah hak umat Budha untuk beribadah dan melarang yang non Budha untuk tidak turut serta. Itu mutlak prerogatif mereka bukan?

Permasalahan tidak berhenti disitu, akan ada banyak perdebatan yang tak kunjung usai bahkan setelah upacara Waisak dimulai. Entah salah siapa? di dunia maya banyak yang berpendapat, ada yang menyalahkan penyelenggara, ada yang menyesalkan panitia. Perdebatan ini tak henti mengalir di timeline, di facebook dimana-mana. Lalu saya berpikir kembali, saya kira permasalahan ini bisa selesai jika penonton menempatkan diri sebagai umat yang sedang beribadah, beribadah itu harus khusyuk karena itu wilayah teritorial seorang umat dengan penciptaNya.

Saya kira semua permasalahan ini harus dimaknai dengan tegas, Waisak adalah hari raya agama, Waisyak adalah waktu dimana umat Budha beribadah. Mengganggu hak beribadah mereka berarti anda melanggar hak asasi. Untuk permisalan karena saya muslim, jika sedang sholat, disenggol sedikit saja konsentrasi buyar, lha ini difoto dengan flash, banyak lagi flashnya. Bagi yang sudah mengerti saya kira harus turut mengingatkan yang belum mengerti. Bagi yang belum mengerti, jangan sewot jika dinasehati. Jika hak asasi sudah dilanggar, jika umat lain tidak menghormati lantas apa jadinya toleransi yang ramai didengungkan? Jika tak bisa menghormati hak asasi, lantas apa bedanya dengan ormas ormas tertentu yang bertindak sembarangan.

Banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi dan butuh kerjasama dengan berbagai macam pihak. Semoga ke depannya penyelenggara bisa memaknai ini sebagai masukan dan membuat Waisak adalah ritual keagamaan yang khidmat, khusyuk dan damai. Untuk itu saya tak hendak menyalahkan siapapun, tapi ada baiknya semua pihak melakukan koreksi, ya penyelenggara ya pengunjung. Bagi saya pribadi dari kacamata orang Magelang dan kacamata pengunjung, jika ingin turut menikmati ya silakan dengan catatan harus menghormati hak beribadah, jika tidak ya mending tidak usah datang daripada mengganggu dan meninggalkan sampah yang merepotkan.

Tabik.

Tulisan terkait lainnya :

Ary Amhir : Ketika Waisak Jadi Objek Wisata 

Mualim P Sukethi : Rindu Waisak Kultural

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

47 KOMENTAR

  1. Semenjak setahun lalu banyak postingan blog yang mengabadikan waisak dan pelepasan lampion, saya sudah wanti2 tahun ini harus datang. Tapi setelah diskusi dengan orangtua, beliau malah menentang habis-habisan ide saya menyaksikan acara waisak itu karena hal-hal yang dibeberkan diatas. Dan ngerti juga sih kenapa kok setelah dipikir2 kesannya kaya yang mengganggu ‘ke khusu-an’ ibadah orang 🙁

  2. Saya muslim aja sedih lihat dan mendengarnya apalagi mereka ya beribadah ya kak tempat ibadah mereka diinjek seperti difoto itu :'( semoga tahun depan aturan dibikin lebih baik lagi

  3. Merinding aku membaca tulisanmu, Chan. Kali pertama (dan terakhir) aku mengunjungi Borobudur ketika bertepatan dengan Upacara Vesak (Waisak) adalah satu dekade lalu, masa SMA, kala itu usai menjenguk keluarga mbah kakung di Solo dan ketika Stumbu belumlah seramai kini. Di mana arak-arakan dalam Vesak, seperti yang kau tulis, adalah mayoritas penduduk setempat, bukan obyek / kegiatan pariwisata.

    Baik dalam perspektif personal maupun profesional sebagai ‘abdi’ pariwisata, aku belajar banyak (dan masih terus belajar) dan tak mengamini komodifikasi kegiatan-kegiatan terkait tradisi dan/atau reliji lainnya, khususnya yang beresensi sakral. Baik Vesak maupun upacara lain. Sama halnya ketika Paskah, aku yang merayakannya agak jengah terhadap wisatawan yang begitu heboh ingin ‘berpartisipasi’ dalam ritual kami ‘Jalan Salib’.

    Memang tak dipungkiri, sesuatu yang ‘asing’ dan ‘non-ritual’ dalam kehidupan seseorang, adalah sesuatu nan ‘eksotis’. Keindahan yang baru. Kebaruan yang indah. Setiap kita pasti pernah berada dalam fase ini, bedanya ada yang mampu mengakui, ada yang sungkan. Tapi masalahnya bukan soal sungkan atau tidak sungkan mengaku sebagai individu yang haus akan kebaruan, melainkan ada tidaknya proses menghargai dan menempatkan ritual asing tersebut sehingga menjadi sama sakralnya dengan tradisi yang tak asing (bagi kita).

    Komentar selanjutnya agak bergeser, namun dalam konteks yang sama. Soal ‘kisruh’ di media sosial, mari kita tilik, agaknya itu tak lain dari euforia, sambil nunjuk si ini atau si anu, sebab kawannya si itu membahas soal Vesak dan pengunjung-pengunjungnya yang tak punya toleransi dan rasa menghargai, maka ‘kita’ merasa perlu turun tangan (lewat ketikan jari, dalam 140 karakter). Komedi tambahannya, sesama trip organizer saling menuding, menyoal ketakbertanggungjawaban. Padahal, sama-sama mengadakan ‘itu’. The so-called pilgrimage trail. Ada yang sama-sama mengadakan tahun ini, ada pula yang lebih ‘senior’ karena mengadakannya tahun lalu dan merasa ‘juniornya’ tidaklah bertanggungjawab. Padahal, tuding-menuding itu, konklusinya, bukan soal kepedulian, melainkan kompetisi jualan dan promosi ‘responsible trip’. Sebab, kompetisi lebih mudah ketimbang kolaborasi.

    • mbak..aku kira permasalahan di Indonesia sama, mereka semua sok tahu dan akhirnya tidak mau tahu. 🙁
      sebagai warga lokal yang sejak kecil kenal dengan Borobudur, aku merasa sedih. makin kesini Borobudur makin komersil dan hilang esensi kemegahan arsitektur dan kultur Budhanya. 🙁

  4. Borobudur hanya dipandang sebagai aset ekonomi yang bisa mendatangkan uang. Bagi oknum2 tertentu, mereka tidak berpikir soal ritual-ritualan yang penting ya uang! Lebih celaka lagi melalui Kepres No.1/1994, pemda dan masyarakat sekitar tidak merasakan dampak keuntungan ekonomi dari kehadiran para wisatawan.
    Sebagaimana dirilis di buletin Suara Gemilang, dari pemasukan tiket 24 M, dulu dengan perda ttg parkir dan pajak hiburan, pemkab bisa mendapatkan bagian 2 M. Setelah perda tsb dibatalkan MA, PAD hanya mendapat porsi 200 juta. Maka jangan heran dari 21 kecamatan di Magelang, kesejahteraan masyarakat Borobudur berada di ranking 19. Jelas timbal balik khusus warga sekitar akan semakin minim. Mrk kadang hanya merasa mendapati sisa sampah dan air seni.
    Mungkin hal ini tidak terkait langsung, tetapi bisa jadi memiliki pengaruh sebagai sebuah pemanfaatan setiap peluang merauk uang.
    Mungkin bagi masyarakat sekitar, Waisyak juga tinggal dipandang sebagai momentum berkumpulnya manusia yang “bisa mendatangkan uang”. Borobudur memang sebuah permasalahan yang kompleks dan semakin rumit ketika tidak ada upaya yang adil dan memihak kepentingan bersama.

    • betul sekali mas..tampaknya semakin komersilnya Borobudur tidak disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat. itu yang membuat saa sedih dan kita semua wajib memberi perhatian pada hal tersebut.

  5. Nampaknya toleransi antar umat beragama di negeri ini semakin banyak bergeser. Saya tidak bisa membayangkan betapa tersinggungnya saya seandainya ritual agama saya dibegitukan..
    Semoga saja kejadian tahun ini dapat menjadi pembelajaran untuk semua pihak. Menurut saya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi hak kegiatan beragama untuk seluruh agama yang diakui di Indonesia..

  6. Semoga ini bisa difahami oleh semua instrumen yang terkait…Pemerintah harus itu walau tidak terkait tp ini menjadi perhatian dunia di negara lain kok bisa kenapa kita tidak?? , panitia, Media dan masyarakat…Urusan Ibadah menjadi tak Sakral lagi malah dinodai tindakan “AMORAL”…

  7. Ah tapi rasanya memang wajar jika ada yang menjadikan Waisak sebagai Wisata Religi untuk semua kalangan. Seperti yang dibilang oleh mas diatas “3d2n menikmati opor salam-salaman di Istiqlal” boleh jadi terdengar aneh untuk kita yang tinggal di negara dengan mayoritas muslim. Tapi jika di negara lain? Belom tentu.

    Kalau saja pemerintah indonesia dan daerah bisa memanfaatkan momen ini dengan baik dan benar saya rasa akan sangat menguntungkan untuk pariwisata indonesia dan tentunya untuk agama tersebut.

    • Saya tetap tidak setuju jika ibadah dijadikan tontonan. bagaimana jika umat muslim yg sedang tawaf lalu ditonton wisatawan yg ribut, menginjak2 mesjid, dll? atau ketika kita sedang shalat Ied lalu difoto dengan berbagai macam blitz? menurut saya masih banyak obyek wisata di Indonesia yg layak di tonton selain ibadah keagamaan.

  8. > Bersyukur bisa dateng di acara waisak sesuai rencana walaupun banyak sekali kekecewaan. Kalo soal macet dan smakin banyaknya yg datang mungkin itu sudah kita duga. dan ternyata memang benar sempet nanya mbak2 yg th kemaren ikutan th ini lebih rameeeeee…

    > Prepare dari kita sesuai dgn masukan dr teman2 di blog untuk lebih sopan dalam berpakaian bahkan menggunakan sepatu, bahkan dalam mengambil gambar kita terapkan karena bagaimanapun itu adalah ibadah, dan 2 rekan saya dari Canada & Polandia menyiapkan diri sebaik baiknya mereka secara detai menanyakan semuanya persiapan apa yg harus dilakukan.

    > Yang tidak terduga hujan deras membuat pelepasan lampion tidak bisa dilaksanakan…. # kecewa pasti iya tp beruntung kita dari Solo jd kalaupun th depan kita kesana masih ok lahh dan itu pun rencana Tuhan , hujan bagaimanapun adalah sebuah berkah yang harus disyukuri

    Mungkin kalo gak hujan potografer nya semakin menggila kali yaaa…….

    > Kecewa lainnya acara agak molor hanya karena kita harus menunggu para “VVIP” yang belom datang, sedangkan umat dan masyarakat sudah menunggu “mereka” dalam kondisi hujan setelah berpidato mereka pulang dan salah satu sambutannya adalah mengenai PILKADA yg akan dilaksanakan esok hari # bagusss yaaa hanya kata woooooooooooooooo yg terlontar dari masyarakat yg ada disana
    teman ku yg dari Polandia berkomentar enak sekali yaa mereka datang akhir dan langsung pulang knapa gak menunggu sampai selesai kesannya tidak menghargai

  9. Sedikit berbagi cerita, krn ikut hadir disana kemarin ketika Waisak dilangsungkan.

    1. Panitia tidak siap untuk menangani acara yang memang telah disetting sebagai acara terbuka untuk semua kalangan.
    2. Sejauh pendengaran saya, tidak ada informasi atau pengumuman yg menyatakan karpet kuning adalah khusus bagi umat yang ingin beribadah, sehingga dengan event yang terbuka seperti itu wajar adanya jika mereka merasa itu adalah tempat untuk pengunjung.
    3. Saya mendengar ada beberapa kali panitia menginfokan kepada pengunjung yang ingin berfoto untuk turun dari panggung, dan mereka turun, so.. kalau ada peringatan yang jelas dan tegas semua akan lebih baik.
    4. Celana Pendek, Sandal Jepit, Singlet, tak ada larangan untuk itu disana, ribuan mungkin kostum begitu. Tidak ada penggunaan batik sebagai penutup yang biasa dibagikan ketika masuk ke area Candi, mungkin karena ketidak tersediaan stock. Pada saat acara di Candi, juga ada pengambilan gambar oleh stasiun Trans TV, dengan lokasi shooting di area karpet kuning, dan presenter wanita dengan kostum tetap sama, rok dan celana pendek.
    5. Penyelenggara pun ikut andil dalam memassivkan pengunjung untuk lalu lalang di karpet kuning, bahkan katika panitia menyampaikan bahwa lampion sudah dapat dibeli, seketika itu juga pengunjung bergerak ke arah tenda panitia yang tentunya melewati karpet, dan ini dibiarkan saja oleh panitia.

    Etika itu sudah pasti, tidak hanya dalam sebuah event seperti ini, dalam kehidupan sehari2 pun mutlak.

    Media tidak mengangkat ketidaksiapan ini, dan yang lebih parah event itu juga sempat dijadikan “kampanye” calon Gub. Jateng yang kemudian nyatanya kalah (QuickCount) ketika pilkada esoknya.

    Persoalan yang tiap tahun ini muncul dan semakin membesar akan mudah ditangani, Jadikan Borobudur Tertutup Untuk Umum Pada Saat Waisak, dan silahkan Umat Budha beribadah dengan khusyuk. Tapi apakah pengelola siap dengan kehilangan income Milyaran (Tiket Masuk, Pasar, Ojek Payung, Warung, dll) /hari. Dan, penyelenggara siap kehilangan “syiar” karena publisitas yang luar biasa baik dari media lokal, international, atau sebatas citizen, bahkan penghobi ?

    :: ikut hadir disana, meski hanya untuk melihat lampion yang akhirnya gagal. Beberapa frame yang diambil dengan Lensa 70-200. 🙂

  10. Sempat merasakan hal yg sama ketika saya jalan2 ke pura di Bali. pas lg asik poto2, saya liat ada yg sedang sembahyang dan ada bbrp wisatawan yg mengabadikan dengan kameranya. saya cm tertegun dan ngebatin “ya ampun it org lg sembahyang loh… kok malah dipoto”. saya pun lsg bergeser ke lokasi lain supaya tidak mengganggu yg sedang ibadah.

    Posisikanlah diri kita sbg mereka, pastinya kita g mau dganggu kl sedang beribadah kan. Nice post mas! saya setuju sama mas’e, semoga tahun depan acara waisak lebih terkoordinir dan tdk merugikan pihak2 yg bersangkutan. aamiin…

  11. kalau boleh bilang, miris ya kak.

    mungkin dengan adanya teknologi yg udah maju, acara-acara ritual keagamaan. bisa disiarin di televisi. masak cuma shalat idul fitri saja yang di tanyangin secara live (shalat di istiqlal). seharusnya kita juga mendapat porsi yg sama dalam menjalani proses beragama dgn khusuk tanpa terganggu.

    semoga hal yg semacam ini, tak terulang kembali.

  12. mantap mas…. saya setuju banget sama mas, semua pihak baik penyelenggara maupun penonton harus mengoreksi diri sendiri.

    (boleh curhat ya mas hehe…)sayangnya pada akhirnya ada aja oknum2 yg mbahas tragedi ini mengait2kan dengan suatu kaum agama sebagai yg paling bersalah dengan entengnya. padahal tidak ada dasar2 yang jelas bahwa kaum agama tertentu tersebut bersalah. ini yg saya bilang malah memperkeruh suasana, padahal justifikasinya sebatas opini pribadi semata, bukan berdasarkan fakta atau data yang jelas. saya seneng mas bisa menyampaikan keprihatinan mas secara obyektif tanpa menyudutkan pihak manapun.

    makasih mas, sekalian ijin ngeshare yak ;p

  13. tulisan yang menarik mas… ketika orang berlomba2 mencari view/angle yang menarik, mereka lupa keadaan disekitarnya…

    salam,
    bernadusnana

  14. ah…biasa aja kali. Foto2 saat hari raya. Mau waisak, natal, idul fitri. silakan2 aj.asal tidak ganggu ibadah. Jangankan waisak.lha wong sholat tarawih aja disiarkan live di tv koq. di foto2 jg….. nggak ada yg aneh.biasa aja mas bro…

    • :p masalahnya adalah bagaimana angle pengambilan foto dan siaran live di tv..ada area khusus, diatur dsb dan ada akreditasi. beda kasus bung dengan waisyak.

  15. Sangat miris ketika ritual keagamaan yang notabene sakral menjadi “tontonan”, bahkan berambisi memuaskan hasrat “visual” saja.
    Menurut saya rasa pribadi, panitia tidak salah karena sudah mempunyai regulasi aturan yang telah diumumkan sebelumnya. Namun pengunjunglah yang lupa diri akan aturan yang berlaku, dan mengesampingkan etika khususnya dalam hak beribadah.
    Miris lagi ketika melihat akun sosial-media borobudur yang malah “disalahkan dan disudutkan” karena pengunjung merasa dikecewakan.

    Saya merasa etika orang Indonesia khususnya pada topik yang terkait ini sangat kurang. 🙂

    Semoga tulisan ini bisa memberi dampak positif bagi semuanya.
    Save Heritage & History in Magelang

  16. […] Rachman, blogger yang juga bekerja sebagai PNS di Garut, dalam tulisan di blognya yang berjudul Waisan dan Persoalan yang Tak Kunjung Usai, merasa prihatin dan menganggap fenomena “komersialisasi ibadah” ini […]

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here