316128_2513660251855_747706822_n

Tidak usah berpanjang kata soal sosok ini, twitnya adalah halilintar dan tulisan-tulisannya adalah rentetan mesiu dari senapan mesin. Arman Dhani namanya, sosok yang jika sepintas terlewat mungkin akan mirip dengan Sai Baba ini adalah seorang fenomena baru di dunia literasi. Buku baginya adalah seperti pemuas syahwat lelaki, jika mungkin banyak lelaki akan melampiaskan syahwatnya dengan menonton film biru misalnya, Dhani memuaskan syahwatnya dengan membaca buku.

Siapa tak kenal Dhani? Apalagi bagi para traveler yang panas telinga, panas hati karena mungkin selama ini terkena sasaran tembaknya. Jika selama ini mungkin hanya membaca tulisan Dhani dan penasaran dengan tokohnya, maka ini saya bawakan Dhani dari dekat sekali. Saya peringatkan, berpikirlah dua kali sebelum membaca postingan ini. Selamat menikmati!

Saya / S : Dhan ki tak wawancara gelem ra kowe?

Dhani / D : Ayo sudah!

S : Dhani kan seorang pecinta buku, apa sih yang membuat Dhani suka buku?

D : Aslinya suka membaca. Ndak cuma buku, karena buku medium paling enak. Dipegang bikin tegang, dilihat bikin senang jadi ya gandrung buku. Sebenarnya juga baca majalah, artikel koran dan jua tulisan internet.

S : Kriteria buku seperti apa yang dibaca seorang Arman Dhani?

D : Buku yang kalau dibaca sejak kalimat pertama sudah bikin nagih.

S : Contohnya dong?

D : Tergantung jenisnya. Apakah novel, cerpen, puisi. Esai ataukah tulisan ilmiah. Kalau puisi buku2 Subagio Sastrowardoyo dan Abdul Hadi WM itu magis sekali. Kalau Novel malah suka sekali dengan Umar Khayam dan Kuntowijoyo. Cerpen gak ada yang bisa ngalahin kemampuan diksi Seno Gumira, Eka Kurniawan dan Puthut EA. Esai tentu saja Mahbub Djunaedi, MAW Borouwer, GM dan Alberto Manguel.  Tulisan ilmiah Dhaniel Dakidhae, Ignas Kleden dan George Junus Adi Condro itu enak sekali dibaca. Terakhir baca yang bikin ketagihan itu Nukila Amal – Cala Ibi. Itu lebih bangsat daripada novel Sitok yang overrated itu.

S : Okay dhan..kiranya bacaanmu itu multi genre.. menarik sekali.. nah, kiranya apakah yang kamu dapatkan dari bacaan-bacaanmu itu?

D : Gak ada, tenan. Pacar ya dapet dari belas kasih, kuliah ya telat. Purely baca buku gak dapet apa2 kecuali buang duit dan waktu.

S : Lha terus kenapa masih baca buku kalo itu semua hal yang sia-sia?

D : Justru karena sia-sia itu perlu dilakukan. Kalau punya arti malah seharusnya tidak dilakukan. Misal nih, kita tahu pada tataran paling kecil. Menolak suap tilang itu harus dilakukan. Karena itu salah.

Tapi toh kebanyakan dari kita menganggap ah udahlah buat apa juga dilawan.Itu sia-sia. Besok juga bakal ditilang lagi. Atau ah kenapa sih harus sekolah ntar juga ijasah gak dipake, tapi karena dianggap sia-sia itu menjadi penting.

S : Jadi sebenarnya yang sia-sia itu justru harus dilakukan ya?

D :  Loh bagiku iya, kuliah buat dapat IP tinggi tapi saat kerja hampir cuma 10 persen yang dipake. Sisanya malah nguap. Apa yang diterima di bangku kuliah adalah versi ideal dari apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Aku gak tau kalau di STAN bagaimana, tapi di universitas-universitas kesia-siaan itu yang dicari dan dirayakan. Berapa sarjana teknik yang kerja di bank? Berapa sarjana sastra yang akhirnya jadi sekretaris? Mereka melakukan hal sia-sia selama kuliah buat mendapatkan yang sebenarnya apa yang dicari. 

Sama aja, aku sadar baca buku itu buang waktu. Tahu banyak soal eksistensialisme, roh waktu atau teori ledakan besar tidak akan membuat aku diterima sebagai CEO Bank Mandiri. Tapi itu menyenangkan.

S : Beralih dari soal buku, Dhani kan sekarang dikenal sebagai kritikus..kritikus apa saja.. sebenarnya apa sih yang membuat seorang Dhani memilih untuk menjadi kritikus?

D : Itu label bukan aku yang bikin.. hahahahaha .. pler kui garapane Simbah. (Simbah = @LukmanSimbah)

S : Lho..walaupun begitu tapi benar.. apakah kritis itu sudah ada dalam darah seorang Dhani?

D : Oh ndak.

S : Terus?

D : Asline seneng ikut campur ursan orang saja. terutama orang yang sok tau dan keras kepala. Menyenangkan sekali menjadi orang dominan dan tau. Toh kalau aku ngarang-ngarang hanya sedikit yang mencoba mencari tahu.

Misal tentang traveling. Kelemahan orang Indonesia mereka hanya melihat apa yang ada dimuka. Ketika kubilang traveling itu merusak, jawaban yang ada malah cuma “iri, sok tau dan sebagainya”. Tapi gak ada yang modal dikit ketik ke google manfaat besar pariwisata. Dari data tersebut tesis traveling merusak bisa patah, tapi ya itu orang kan cuma bisa ngejek dan marah tanpa bisa dengan tenang menangkis jawaban.

Aku menikmati menindas orang sok tau dan pemalas macam ini. hahahahaha.

Sama dengan kritik sastra, kritik sastra yang serius itu melibatkan banyak hal. Harold Bloom misalnya ia menjelaskan soal karakteristik karya, diksi puisi dan konteks penciptaan karya. Kemarin pas nulis kritik buat 5 buku kan emang niat nge-bomb. Dangkal sekali analisanya dan yang benar-benar merespon dengan kepala dingin hanya 2-3 orang. Sisanya udah kemakan marah dan makian.

Gini ini yang bikin nagih, ngetawain orang bodoh dan marah-marah.

S : Secara ga langsung tulisanmau itu bisa untuk membaca pola pikir seseorang. Omong-omong Dhan, kenapa sering sekali mengkritik traveler? apa sih salah mereka?

D : Banyak! Secara serius demam traveler itu repetisi dari obsesi penindasan masa kolonial. Jka dulu kredonya Gold, Gospel And Glory. Maka sekarang Instagram, Buku dan Folowwer. Nah, traveler hari ini melihat destinasi hanya sebagai sebuah daerah taklukan. I came, i photo, i tell it for my follower and get money from it. Itu relasi penaklukan total. Bedanya kalau dulu JP Coen pas datang ke Jawa gak bawa I-phone buat posting di Instagram. Sekarang kebanyakan, 99 % dari traveler hanya memuaskan ego untuk penaklukan destinasi. 

Belum soal bicara taik kucing soal makanan, budaya dan omong kosong lainnya. Belanda datang karena rempah, dia bilang “Wow makanan inlader keren dan unik” apa bedanya dengan “Cita rasa makanan lokal begitu eksotis” ? 

Atau “Wow pemandangan nya sangat indah lo semua harus datang ke mari” ?apa bedanya dengan kabar ketika Marcopolo balik ke Spanyol terus bilang “Kami menemukan dunia baru yang barbar penuh dengan keindahan dan emas” sampai melahirkan tragedi pembantaian di Amerika Latin oleh bala tentara Cortes. (Cortes yang dimaksud adalah Hernan Cortez, yang menaklukkan Tenochtitlan)

Jika dahulu yang direbut adalah emas dan rempah. Maka sekarang identitas sosial dan lokasi hidup. Be good traveler, datang gak usah pake pamer dan cerita-cerita itu simpen buat diri sendiri. Karena gak semua orang bisa sebijak kalian yang datang cuma buat diving, buat menikmati bercengkrama dan menikmati waktu secara wajar. 

Gak semua orang punya otak buat memperlakukan masyarakat lokal dengan setara. Miskin dan bodoh bukan berarti tidak bahagia. Berapa ribu orang Papua yang mati dulu gara-gara Pak Harto mewajibkan mereka pake sabun dan pake baju? Ternyata tubuh resisten orang papua terbangun dari daki dan lumpur yang mereka pakai.

Kita gak tau apa masalah lokal dan jangan sok tau bilang dengan pariwisata orang bisa makmur. Penyakit dari traveler yang melihat lokasi eksotis dan kemiskinan hari ini menggeneralisasikan penilaian atau melakukan justifikasi terhadap sesuatu atau fenomena yang kenyataannya sangat kompleks dan tak bisa dibicarakan secara simplifikatif.

Itulah, tapi asline yo iri mergo ra iso mlaku2 sisan.

S : Lho Dhan.. tapi kan kalau digunakan dengan benar, pariwisata bisa untuk menopang kemakmuran masyarakat itu sendiri dan kan banyak contoh traveler yang arif, malah ada yang kamu review bukunya. Nah, menurut Dhani gimana sih traveler yang ideal? yang bijak.

D : Iya. Itu satu sisi, banyak kok yang kemudian menjadi sangat terbantu.

Makanya aku bilang gak semua traveler punya otak. Sebagian cuma ingin sensasi bukan isi. Traveler yang bijak traveler yang kalo jalan gak usah cerita dan pamer foto. Simpen buat dirinya sendiri atau hanya ceritakan kepada mereka yang dinilai bijak. Soal standar bijak? masin-masing orang tentu punya standarnya sendiri-sendiri.

S : Misalnya untuk Dhani, seperti apa standarnya?

D : Supir truk dan supir bus. Melakoni perjalanan sebagai hidup tanpa perlu pamer dan membincangkan hal itu berlebihan. 

S : Jadi intinya tanpa dipamerkan?

D : Gak juga. Itu loh seperti pepatah jawa. Pamer tapi tanpa mameri. Orang sudah tau reputasi dan ceritamu tanpa kamu cerita, pamer-pamer. 

Ah, aku lali opo jenenge. Menang tanpo ngarosake opo ya?

S : Contohnya siapa Dhan traveler seperti yang kamu maksud itu?

D : Don Hasman mungkin atau yang baru-baru ini Coki Nasution alias si Rahung

S : Apa yang membuat mereka ideal? konsep travelingnya?

D : Gak. Konsep traveling itu personal. <au jadi turis, backpaker atau pelancong terserah. Tapi seberapa besar seorang bisa menyerap pengalaman dari destinasi yang ia terima. Mark Twain pernah traveling pake koper sebagai turis. Toh dia bisa dengan lugas menyerap apa yang ada disekitarnya.

Don Hasman dan Rahung punya kesamaan. Yaitu fokus tentang apa yang mereka cari. Rahung mencari rempah dan bicara soal realitas sosial masyarakat yang direpresi. Mau disebut idealis atau gak itu peduli setan. Sedangkan Don Hasman dia bicara soal etnografi dan bagaimana menjelaskan peristiwa antropologis melalui foto. Mungkin yg menarik hari ini si Agustinus Wibowo, dia bicara dari kacamata jurnalistik gonzo. (Tentang apa itu Jurnalisme Gonzo, bisa dibaca disini)

S : Dan dari situlah mereka menjadi legenda?

D : Lho bukan perkara legenda Chan, perkara tujuan. Kamu jadi traveler karena ingin jadi legenda? Wah mending kalau gitu ke Tanah Lot terus kencingin aja puranya pasti jadi legenda instan. Tapi buat apa?

S : Terus?

D : Status itu gak penting. Serius. Mau backpacker, turis, pelancong, tukang jalan. Yang penting kamu dapet apa dari perjalanan itu? pengalaman? folower? kontrak buku? atau yang klise kedewasaan?

Itu yang bikin kalian para pejalan jadi beda.

S : Bagi Dhani sendiri yang cukup lumayan jalan-jalan, apa yang dhani dapat dari traveling?

D : Capek.. Hahahahaha

S : Capek thok? Nir Makna?

D : Nir makna, capek aja.

S : Tentang traveler seleb, pendapatmu gimana?

D : Suruh pulang….

S : Hahaha…

D : Tahu banyak di negara orang, tapi aku ragu mereka kenal 5 tetangga kanan kiri depan belakang mereka.

S : Hahaha…..

D : Lho bener, Koh Agustinus Wibowo itu kemarin ngobrol gitu. Dia gak kenal siapapun di kampungnya, jadi asing. Meski ya ada kompensasi bahwa perjalanannya menahun di negara orang memberi banyak pelajaran. Tapi itu ada akibat fatal. Kalau nanti sudah selesai jalan dan gak kenal siapapun di rumah terus mati, njuk sopo sing arep yasinan karo ngubur?

S : Atau dalam lingkup luas, kenal negeri orang, tapi ga kenal negeri sendiri? begitu? ironi?

D : Iya, bisa jadi.

Satu lagi yang sangat fatal adalah buzzer yang asal mengendorse destinasi karena merasa dibayar merasa harus promo. Apakah karena dibayar mereka tidak melakukan AMDAL? Analisis Mengenai Dampak Lingkungan? Kalau Jailolo diendorse gila-gilaan lalu ribuan orang datang. Tanah mahal dibikin resort. Lantas apa mau jadi Bali ke 2? Kaya mendadak, foya-foya duit abis miskin jadi gelandangan? Lalu degradasi kebudayaan, contoh tari-tarianan yang sebenarnya adi luhung karena ada bayaran turis dimainkan seenaknya, sebisanya dan seadanya. Mau seperti itu?

Seleb travel mbok makek pake otaknya yang kecil itu, mengendorse destinasi sembarangan hanya karena dibayar itu gak jauh beda sama intelektual yang dibayar Bakrie buat bilang bahwa Lapindo itu bencana alam. Nalar sama nuraninya udah jadi keset.

S : Dan travel agent?

D : Tentu, semua lini. Pemerintah dalam hal ini Kemenparekraf dan travel agent.

Dalam tataran bahasa paling kasar. Satu destinasi itu pekerja seks komersial yang aduhai dieksploitasi secara berlebih gak peduli mereka itu hamil atau datang bulan atau sakit. Yang penting turis datang dan bawa duit. 

S : Okay Dhan.. Eksploitasi berlebih memang justru bisa menjadi buah simalakama. By the way kamu dapat salam dari Sastri.

D : Ah salam doang. Kapan cintanya?

S : Lho memangnya apa sih yang membuatmu tertarik pada Sastri? Sastri sebagai traveler tentunya.

D : Sastri sebagai traveler? aku malah gak suka. hahahahaha.

Detik travel, Wego dan sejenisnya itu malah melanggengkan apa yang aku khawatirkan tadi. tapi itu kan pilihan, kita gak bisa gigit tangan yang ngasih makan kita. Kebijakan perusahaan.

Lagipula label itu menyesatkan, Sastri ya Sastri aja. Kenapa sebagai traveler? Kowe yo Farchan, Farchan wae. Kalau sebagai traveler mau ku maki soal Newmont kemarin.

S : Hahaha..aku wes nebak, kamu pasti marah sama aku soal Newmont..hahaha. Kalo gitu kamu harus ikut ke newmont November nanti..

D : Gak mau, buat apa? Aku ada rumah di sana. Kalau sekedar CSR yo bakal ditunjukin yang bagus-bagus. Aku ada 14 sanak keluarga yg tinggal di area Newmont dan apa yang ga keliatan pas CSR ya aku tau lah.

S : Balik soal Sastri, jadi apa yang kamu suka dari Sastri?

D : Nah itu dia, repot. Kenapa ya suka Sastri?

S : Tuh kan repot sendiri soal Sastri?

D : Tapi Sastri.. Duh..Kalau itu produk Freeport wis aku meneng..

S : Kog jadi gabisa berkata-kata soal Sastri?

D : Wah..Repot.. Beberapa hal itu gak bisa dijelaskan keindahannya dan gak butuh alasan juga.

S : Hahaha…Okay Dhan, terakhir nih. Bagaimana sih kamu memandang dunia traveling Indonesia sekarang ini yang menurutku sendiri sudah ramai sekali dan apa harapanmu soal traveling / traveler ke depannya?

D : Mereka gede karena ada social media, internet. Taik kucing kalau gak ada twitter dan sejenisnya. Subkultur pejalan ini gak bakal segede sekarang.

Kedepan? kita akan lihat Bali-Bali baru. Lokasi yang diperkosa kapital, budaya yang hilang dan matrealisme masyarakat. Dan aku gak punya harapan, semoga cepat hancur aja. Jadi biar gampang nunjuk muka orang-orang yang sok bilang pariwisata itu baik.

S : Soal beberapa orang yang menurutmu traveler yang baik gimana? Ada pesan untuk mereka?

D : Buat Rahung, udah tutup akun twitter. berisik! hahaha. Kalo Don Hasman. Pulang aja maen ama cucu. Udah cukup banyak ngasih ilmu. Giliran nikmati idup.

S : Okay Dhan, semoga setelah membaca wawancara ini lalu banyak yang akan tersadarkan dan melahirkan Rahung atau Don Hasman baru..begitu?

D : Gak, moga makin banyak yang follow aku dan mensyen ngejek atau bahkan ngajak twitwar.

S : Hahahaha..

Demikian wawancara singkat dengan Arman Dhani, semoga bisa memberi pencerahan. Jika ingin kenal lebih dekat dengan Arman Dhani, bisa langsung mention di twitternya @arman_dhani atau baca-baca blognya disini.  Karena sesungguhnya jika kenal dekat lagi, dia adalah sosok yang menyenangkan dan penuh cinta.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

36 KOMENTAR

  1. “Aku gak tau kalau di STAN bagaimana, tapi di universitas-universitas kesia-siaan itu yang dicari dan dirayakan”

    Salam deh kalo gitu dari FISIPOL UGM, Fakultas Ilmu Selo dan Ilmu Piknik Pol-polan

  2. Salut untuk mulut besarnya, mas. Selalu salut dengan orang-orang yang bisa bicara sangat banyak, dan disaat yang sama bertindak sangat sedikit.

    Karakter-karakter ‘cendekia’ seperti mas Arman Dhani ini memang tipikal sekali. Sudah sering saya jumpai sejak bangku kuliah. Biasanya berakhir tenggelam dimakan kutipan-kutipan cerdas buku bacaannya. 🙂

  3. hahahahahasyu, jos tenan iki, cerdas, omongane yo masuk akal, nek meh ngajak perang kudu pinter juga, hahahha

  4. “Aku menikmati menindas orang sok tau dan pemalas macam ini” hahaha, betul banget memang terkadang sangat mengasyikan menindas orang-orang macam ini…

    salam dari Bandung mas bro

  5. mwahahaha,, mantap kang. sedikit demi sedikit sisi lain mas dhani terbuka. semoga wawancara ini memudahkan langkahnya buat jadi selebtwit. setiap seleb butuh gosip.

  6. pedes banget masnya…pasti karetnya dua -_-*

    Kayaknya diskusi ama orang ini bakalan berasa lagi akupunktur ya, tertusuk-tusuk…haha
    Tapi suka dengan pola pikirnya yang cerdas & jujur…. follow twitternya ahhhh 😀

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here