Suatu pagi, saya dan teman saya Budhi tiba di Kudus, di Kudus jadwal kami hanya transit sebentar. Selesai menunaikan sholat dan sarapan di warung pinggir jalan yang menyajikan menu nasi, ayam dan teh manis hangat seharga 7.000 rupiah saja. Tak ingin membuang waktu yang sebentar di Kudus,  saya pun bergegas menuju Masjid Kudus, icon Kota Kudus yang tersohor dan menjadi tujuan bagi ribuan peziarah setiap tahunnya.

Masjid ini tampak ramai, peziarah lalu lalang, datang dan pergi. Sebagian tidur-tiduran di selasar masjid, sebagian lagi khusyuk membaca ayat-ayat suci, tampaknya di Kudus yang sepi ini, suasana di masjid tampak kontras, sibuk, ramai dan penuh aktivitas tiada henti. Masjid Kudus adalah nadi yang selalu berdenyut siang dan malam di  jantung Kota Kudus.

Kudus berasal dari bahasa arab Quds, suci. Sejak dulu memang sudah seperti menjadi kota suci bagi umat muslim di Indonesia. Disini adalah salah satu kota dimana agama Islam menyebar di tanah Jawa. Sejarah berdirinya Masjid Kudus inipun tak lepas dari upaya syiar Islam ke tanah jawa.

Dikatakan bahwa Masjid Kudus ini dibangun oleh Sunan Kudus dengan batu yang dibawa dari Tanah Palestina, Baitul Maqdis atau Al Quds. Dari situlah asalmula penamaan Kudus, dari Al – Quds. Masjid inipun menjadi penanda tumbuh – kembangnya Kota Kudus dari masa ke masa.

Gaya arsitektur Masjid Kudus ini menggambarkan bagaimana syiar Islam berkembang di Jawa masa itu. Islam masuk dengan akulturasi dengan budaya-budaya yang sebelumnya sudah ada Jawa. Bagaimana menara Masjid Kudus yang memiliki corak arsitektur candi Hindu lengkap dengan Candi Bentarnya di bagian depan. Ini adalah bukti bagaimana para penyebar Islam di masa lalu menyebarkan Islam menyesuaikan kondisi dimasa itu.

Masjid Kudus masih elok dengan konstruksi batu bata kunonya yang menjadi unsur utama pembentuk bangunan lama Masjid Kudus. Penasaran dengan bangunan Menara Masjid Kudus, Budhi kemudian menyambangi marbot masjid untuk meminta ijin masuk ke menara masjid, dan beruntungnya kami, kami mendapat ijin masuk ke menara masjid.

Saya tak menduga saya bisa masuk ke salah satu bangunan penting dalam sejarah syiar Islam di Jawa ini. Dengan hati-hati kami masuk dan menapaki tangganya satu per satu. Bagian dasar menara ini berbentuk persegi dan makin ke atas bentuknya mirip dengan konstruksi candi-candi Hindu era Majapahit, dengan konstruksi dasar batu bata.

Di beberapa sudut menara terbenam porselin-porselin cantik, mungkin dari Cina, saya hanya bisa menduga-menduga. Budhi tampak khusyuk mengamati bangunan batu bata yang sebagian sudah tampak berlumut ini. Pada bagian tengah bangunan terdapat pintu kecil dari kayu jati tempat relung yang bisa dimasuki untuk naik ke puncak menara.

Dengan hati-hati kami masuk ke relung tersebut, di dalamnya terdapat tangga kayu yang terbuat dari kayu jati untuk naik ke puncak. Kayu jati tua ini terlihat kokoh dan kuat walau umurnya mungkin sudah berabad-abad. Tangga kayu jati berujung pada sebuah lubang di puncak menara, cukup kecil tapi masih muat untuk badan saya yang besar ini.

Sampailah saya di puncak menara Masjid Kudus, syahdu sekali. Saya hanya mensyukuri keberuntungan kami yang bisa diizinkan masuk sampai puncak menara. Sungguh ini mungkin adalah momen yang cukup menakjubkan dalam sekejap perjalanan kami ke Kudus.

Menara masjid di masa lalu adalah bukan sekedar bangunan megah begitu saja. Dari menaralah syiar Islam disebarkan ke penjuru kota. Di 5 waktu sholat, muazin bergegas naik ke atas, membunyikan bedug dan mengumandangkan adzan dengan lantang. Memberi tahu agar umat muslim di Kudus agar berbondong-bondong datang ke Masjid. Konon di masa lalu selain sebagai menara masjid. beberapa menara juga difungsikan sebagai menara intai dan mengamati suasana kota. Tapi saya tidak tahu bagaimana dengan menara Masjid Kudus, apakah juga berfungsi demikian.

Saya tidak tahu berkah atau keberuntungan apa yang menghampiri saya dan Budhi. Kami berdua diizinkan masuk ke menara masjid yang sebenarnya selalu digembok dan tidak sembarang orang bisa masuk. Entah apapun itu, kami bersyukur sekali. Tak ada pagi yang lebih syahdu dari ini. Tak ada pagi yang semengesankan dari ini.

Dari puncak menara, saya melayangkan pandang ke sekeliling kota. Horizon nun jauh di ujung kota dan imajinasi saya melayang ratusan tahun ke belakang, saat bedug ditabuh dan muazin bergegas ke atas mengumandangkan suara azan dengan lantang ke seluruh penjuru kota. Menara Masjid Kudus tetap tegak berdiri membawa sejarah syiar Islam ratusan tahun lamanya.

Tabik.

 

 

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

4 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here