IMG_0441

Pekan lalu saya menghabiskan weekend di Bandung, sebentar saja tak lebih dari 3 hari. Menjelang berbuka, bosan tiba-tiba melanda, ditambah hawa dingin tiba-tiba menyergap, mungkin karena mendung yang sudah mengurung Bandung sejak siang. Tak ingin terjebak dingin di kamar tanpa berbuat apapun, saya segera menyambar jaket dan ngabuburit sejenak di jalanan Bandung. Motor saya segera meraung merayapi meter demi meter jalanan Bandung.

Di tengah kota yang penuh sajian kuliner menjelang berbuka puasa, saya mendadak tak selera. Rasa-rasanya makanan yang disajikan di gerai ternama, resto terkenal atau franchise makanan di mall besar membuat saya kehilangan selera, saya tiba-tiba ingin santapan buka puasa saya adalah sesuatu yang merakyat, di pinggir jalan, sambil menyeruput segelas teh panas. Akhirnya saya pun hanya berputar-putar tak jelas di sekitar Bandung menanti saat berbuka puasa tiba, tak jelas hendak makan apa.

Sampai akhirnya saat saya melewati ruas Pasteur ke arah Universitas Maranatha, mata saya sekilas menangkap gerobak kayu dengan makanan di atasnya ditata sedemikian rupa. Tak salah lagi pasti itu angkringan, ingin memastikan saya segera putar haluan, motor kembali saya arahkan ke arah Pasteur dan benar, ada gerobak angkringan yang sudah ditata dan menanti pembeli tiba. Akhirnya saya parkirkan motor dan memutuskan makan di angkringan itu, impian sajian berbuka yang saya idamkan akhirnya kesampaian, segera saya pesan teh manis panas untuk sajian berbuka puasa, menyesuaikan anjuran agama untuk membatalkan puasa dengan sesuatu yang manis.

IMG_0444

Ternyata angkringan ini bernama Angkringan Koboi. Terletak di depan pool travel Transline dan menempati halaman ruko-ruko yang tutup di kala malam. 2 gerobak tersebut menyajikan nyamikan khas angkringan seperti gorengan tahu-tempe, sate usus, sate telur puyuh, bacem, sate kulit, perkedel, dan tak lupa yang paling utama adalah nasi kucing beraneka isi. Pilihan tepat berbuka disini, Bandung yang dingin harus dihantam dengan segelas teh manis panas yang nikmat. Makin mendekati waktu berbuka, angkringan tambah ramai. Pengunjung mengambil tempat di tikar plastik yang sudah disediakan, berjajar, menunggu berbuka dengan sajian yang mereka inginkan sendiri-sendiri.

Segera waktu berbuka tiba, saya menyeruput teh manis panas saya. Hmm..nikmat disambung dengan gorengan yang sudah saya sisihkan. Pas sekali, walaupun tampak diatas mendung menggelayut dengan manja, saya tak khawatir. Segelas teh manis hangat, disambung sebiji dua biji gorengan serta ronde dua nanti, satu dua bungkus nasi kucing akan memupus kekhawatiran saya. Ya, bahagia itu sederhana, sesederhana menemukan angkringan nikmat di belantara Bandung.

Begitu matahari menggelincir sempurna, pengunjung makin menyemut dan memenuhi tikar yang tergelar. Tiba-tiba ada sesosok pria kurus bervespa yang menyambangi angkringan. Meletakkan helm, berbicara dengan orang-orang angkringan lalu beranjak menyalami satu persatu pengunjung angkringan termasuk saya. Lalu beberapa saat setelah itu dia sibuk mencatat di balik angkringan, tenggelam dalam buku catatan kecilnya.

mas dwi

Saya lalu membuka obrolan. “Sibuk mas?”

“Iyo iki mas, maklum malem minggu..Wes pesen to mas?” jawabnya.

Ternyata dia adalah pemilik angkringan ini, pemilik angkringan koboi yang tampilannya jauh dari kesan koboi yang gagah dan kekar, sebaliknya dia adalah seperti pria jawa kebanyakan, murah senyum, mudah tertawa. Kami lalu bertukar obrolan lama dan akrab, maklum di Bandung agak susah bertemu dengan sesama orang Jawa, dengan mas pemilik angkringan saya bicara bahasa jawa dengan bebas, sesekali saling cela berujung ketawa.

Namanya Dwi Riyatno, owner Angkringan Koboi. Lelaki asli Purwodadi ini merantau mengadu nasib ke Bandung awal 2000-an. Dari kampungnya jauh-jauh ke Bandung terkadang membuatnya tersergap rindu kampung halaman, termasuk makannya. Itulah mungkin awalnya dia terpicu untuk membuka angkringan di Bandung, karena rindu kampung halaman.

“Aku bingung dulu mas, di Bandung cari makanan yang merakyat susah. Kenapa kalo orang-orang di Bandung ke tempat makan harus rapi, wangi. Lha wong padahal ya cuma makan. Iya to?”

Saya mengiyakan kata-kata mas Dwi, dia benar. Kultur makan di Bandung memang juga membuat saya agak kurang sreg , terlalu banyak cafe dan kedai dengan tampilan indah, kurang sederhana, kurang njawani, terlalu formal dan kaku dengan makanan yang kebarat-baratan.

Mas Dwi melanjutkan “Susah cari tempat makan yang bebas, ga perlu mikir pake baju apa, ga perlu mikir pake sepatu mana, kaosan dan sendal jepitan cukup. Comot, makan, lalu ketawa bareng teman-teman”

Itulah diantara alasan kenapa Mas Dwi membuka angkringan di Bandung pada pertengahan dekade pertama era 2000. Mas Dwi sesungguhnya menggugat kultur makan di Bandung kala itu yang kurang merakyat. Dia lelah dengan esensi makan yang plastik, baginya sesungguhnya makan tinggal makan, tak perlu berpikir panjang, sesederhana itu. Gugatan itu berwujud dalam angkringan, tempat makan yang sesungguhnya populer di Jawa, ada di setiap sudut kampung, di pinggir jalan, dimana-mana. Dimana tak perlu sungkan makan di angkringan, dimana bos dan rakyat jelata bisa makan dalam satu gerobak yang sama. Tak perlu risau engkau bersepatu kulit buaya atau hanya bersendal yang beda warna. Semua bisa makan, kenyang dan murah – meriah, berbonus keakraban.

IMG_0438

Di Jawa angkringan awalnya adalah tempat makan yang diakrabi golongan grassroot, mahasiswa dan pegawai rendah. Tapi karena itu pula, angkringan kemudian diakrabi banyak kalangan. Di Jakarta, angkringan naik kelas menjadi tempat makan yang juga diakrabi eksekutif muda. Bahkan di Jogja, angkringan di dekat Stasiun Tugu sudah menjadi icon kuliner dan seolah menjadi tempat kuliner wajib kunjung saat ke Jogja. Dari sebuah nasi kucing, idiom untuk menggambarkan sajian nasi di angkringan yang hanya sekepal dan berisi teri menjadi tempat makan semua kalangan. Dari gerobak penyelamat nasib mahasiswa, kemudian menjadi favorit semua orang. Orang kemudian menjadi akrab dengan nasi kucing, sate usus, bacem dan gerobak bertelpal kuning.

Tanpa bermaksud meminggirkan peran angkringan, dahulu angkringan memang didesain untuk memenuhi kebutuhan perut masyarakat menengah ke bawah, nasi sekepal dengan topping ikan teri, sambal atau tempe. Tempe goreng yang diiris kecil-kecil sampai sate usus dan kulit. Semua adalah makanan yang bisa didapat dengan murah dan bisa dijual murah, terjangkau oleh golongan akar rumput. Angkringan menjamin semua orang bisa makan tanpa perlu khawatir memikirkan harganya, sebuah konsepsi kebersamaan yang datang dari sajian kuliner di Jawa.

IMG_0449

Kultur angkringan pun merebak, harganya yang manusiawi bagi rakyat kecil membuatnya laris manis. Peduli amat soal gizi, yang penting perut kenyang, hati tenang. Tidak ada aturan baku makan di angkringan, bebas, mau kakinya jogang atau tertawa terbahak-bahak sampai pagi buta juga silakan saja. Inilah yang membuat angkringan kemudian dicintai, dicari oleh masyarakat. Maka angkringan pun mengglobal, dari sudut-sudut kampung di Jogja, Jawa Tengah atau di Solo ia disebut Hik, angkringan kemudian menyebar ke penjuru Nusantara. Dari Jakarta yang metropolitan sampai di Jayapura, ujung timur Indonesia pun tak lepas dari virus angkringan yang merebak cepat dan menjadikannya populer.

Tapi menurut Mas Dwi, ketika dia berinisiatif membuka angkringan di Bandung kira-kira 6-7 tahun yang lalu, orang Bandung tidak kenal apa itu angkringan. Perjuangan di awal berat, mengenalkan kultur makan di angkringan tidak mudah karena banyak yang belum ngeh apa itu angkringan. Mungkin bisa dikatakan saat itu angkringan Mas Dwi menjadi pelopor angkringan di Kota Bandung. Awalnya, Mas Dwi pun bisa dikatakan nekat, tidak tahu seluk beluk angkringan dia mencoba – coba membuat menu, tapi hasil uji cobanya kini berbuah manis, setiap malam pengunjung datang silih berganti. Saking larisnya bahkan saat saya berbincang pun dia permisi sebentar, katanya ada anak buahnya mau mengantarkan tambahan nasi untuk gerobak angkringannya.

Embrio Angkringan Koboi itu terus ia pupuk. Dari awalnya yang datang adalah teman-teman dekatnya yang menggunakan angkringannya untuk bertukar cerita dan berkumpul bernostalgia, lambat laun pelanggannya bertambah banyak. Datanglah orang-orang Jawa yang merantau di Bandung menyambangi angkringannya, tombo kangen kata Mas Dwi. Dari Gethuk Tinular inilah kemudian angkringannya semakin dikenal dan laris manis. Mas Dwi sendiri termasuk jeli dalam memilih tempat, dia memilih membuka angkringan di dekat universitas dan sentra pondokan mahasiswa, strategi yang jitu. Angkringannya menjadi favorit mahasiswa yang kelaparan dengan uang pas-pasan.

Mas Dwi adalah orang yang tak pernah lelah untuk berinovasi. Awal 2011 dia kemudian membuat branding baru angkringannya, melakukan ekspansi dan menata ulang manajemen angkringannya. Lahirlah Angkringan Koboi yang seperti sekarang. Salah satu upaya Mas Dwi adalah membuat variasi menu baru, maka lahirlah menu seperti Nasi Merah, Nasi Cumi, Nasi Ayam Suwir. Di lini cemilan tak kaku dengan menu standar seperti sate usus, sate kulit dan sate telur puyuh, Mas Dwi memulai membuat sate bakso, sate sosis dan menyajikan perkedal. Lini minuman pun dia perkuat, dengan menambah variasi minuman dengan menambah menu wedang tape, es gula asem, es beras kencur dan es sirup. Ternyata selain diversifikasi, tambahan menu itu mampu memikat urang Bandung untuk mencoba angkringannya.

Obrolan terus berlanjut walau malam telah larut. Mas Dwi bahkan tak segan mengunjungi angkringan di beberapa kota lain untuk perbandingan, demi majunya angkringan yang ia kelola. Menu khas angkringan tradisional seperti Nasi Teri, Wedang Jahe, Kopi Hitam, Gorengan, Bacem dan Sate kulitdia pertahankan, karena menurut Mas Dwi itu esensi dari angkringan, namun juga tidak menutup mata dengan menu baru. Menyajikan mix antara menu angkringan tradisional dengan menu yang lebih modern membuat konsumen memiliki banyak pilihan.

Inovasi tak berhenti disini, Angkringan Koboi setiap seminggu sekali atau kadang sebulan dua kali kedatangan musisi keroncong yang akan menghibur pengunjung sekaligus menghidupkan suasana Jawa di angkringannya. Lambat laun, budaya makan angkringan diterima di Bandung. Memang sepengamatan saya sudah mulai muncul beberapa angkringan di sudut-sudut lain, salah satunya adalah Angkringan di YPKP yang pernah saya tulis sebelumnya.

IMG_0447

Saya akui manajemen Angkringan Koboi bagus. Pegawai-pegawai yang bekerja di angkringan diberi 1 mess sendiri. Selain sebagai tempat tinggal mess itu berfungsi sebagai tempat memasak makanan yang disajikan di angkringan. Sengaja dipusatkan agar kualitas dan pengawasannya bisa terjaga. Setiap pagi, makanan untuk hari ini dimasak dan sorenya didistribusikan ke beberapa lokasi Angkringan Koboi selain di Maranatha yang sedang saya kunjungi ini seperti di Monumen Dipati Ukur, Gasibu dan kawasan kampus ITB. Dengan begini Mas Dwi bisa lebih mudah mengawasi dan menjamin menu di angkringannya terjaga rasanya.

Tanpa disadari obrolan terus berlanjut sampai lewat jam 9 malam. Bandung makin dingin dan saya sudah menambah menu berkali-kali, ini gelas ketiga yang saya teguk. Kali ini bukan teh panas lagi, tapi jahe panas untuk menangkal dingin Bandung yang makin malam makin jahanam. Mas Dwi masih tetap menebar senyum dan sesekali tertawa terbahak-bahak dengan para pegawainya. Kultur di Angkringan Koboi memang sangat cair, sangat terbuka, pelanggannya yang multikultur semakin menambah cari suasana.

Di angkringan ini, kekeluargaannya memang sangat terasa, sejalan dengan filosofi yang dipegang Mas Dwi. “Mangan ora mangan asal kumpul.” itulah filosofi yang dia pegang di angkringannya, tidak mempedulikan pengunjung datang untuk makan atau hanya sekedar minum saja, Mas Dwi telah memberi ruang untuk berinteraksi dan berkumpul. Seperti angkringan di Jawa yang tak sekadar tempat makan, tapi juga menjadi tempat untuk ngobrol, gojeg dan mendiskusikan banyak hal. Mas Dwi memberikan ruang bagi setiap orang untuk merasakan kebiasaan orang Jawa, untuk saling berkumpul, saling bertanya kabar satu sama lain. Mas Dwi mengakui bahwa dia memang berusaha menyediakan tempat berkumpul yang egaliter, tanpa memandang sekat satu sama lain. Itulah mengapa tutur Mas Dwi, banyak sekali lintas komunitas yang mampir di angkringannya.

Saya sudah mengantuk dan hendak pamit sebenarnya. Tapi suasana kekeluargaan di angkringan ini benar-benar menahan pantat saya untuk tidak beranjak, saya betah berada disini, rasanya hangat, tak hanya hangat teh panasnya, namun suasananya juga hangat, begitu hidup, begitu guyub. Mas Dwi masih terus bercerita liku-liku usahanya, mulai dari makanan yang tidak habis jika hujan melanda. Ya, Angkringan Koboi di depan Maranatha ini mirip bioskop misbar (gerimis bubar), jika terkena hujan ya pengunjung harus menyelamatkan diri masing-masing dan lantas sepi. Jika itu terjadi kata Mas Dwi sambil tertawa, solusinya ya cuma pasrah.

Ketika kantuk semakin pekat walaupun saya sudah menambah gelas keempat yang isinya Kopi Joss. Kopi yang diseduh panas-panas kemudian dimasukkan bara arang. Saya akhirnya benar-benar minta pamit ke Mas Dwi. Buka puasa kali ini sangat berkesan, berawal dari ketidaksengajaan sampai akhirnya menemukan tempat buka puasa yang penuh suasana kekeluargaan dan bertemu banyak teman. Tak perlu risau soal harga, toh ini angkringan, makan semaunya masih bisa tetap murah. Range harga disini mulai 500 sampai 2500 rupiah per item makanan, relatif sama dengan angkringan di sudut-sudut Jogja, Solo atau sekitar Jawa Tengah lainnya.

Beruntung sekali saya kali ini, bisa mengenal Mas Dwi, sosok dibalik Angkringan Koboi. Visinya untuk menyediakan alternatif tempat makan di Bandung berhasil sudah. Dari angkringannya publik Bandung mengenal bagaimana kultur grassroot di Jawa saat makan di angkringan, perjuangan panjang dari Mas Dwi untuk mengenalkan angkringan dari nol kini berbuah manis. Kini angkringannya semakin dikenal dan pelanggan makin ramai. Mungkin jika suatu saat sedang ke Bandung, mampirlah di Angkringan Koboi dan temuilah Mas Dwi yang tak pernah lupa tersenyum ramah kepada siapa saja.

Tabik.

Twitter : @angkringankoboi

Lokasi Angkringan Koboi.

1. Surya Sumantri, depan pool Transline Travel

2. Gasibu, depan Gedung Sate

3. Monumen Dipati Ukur, dekat Unpad.

4. ITB, seberang pintu utama. Depan gedung FSRD.

Ciri khas angkringan koboi selain Surya Sumantri adalah masih mempertahankan senthir / lampu minyak di gerobak angkringannya. Selain angkringan, Mas Dwi juga membuka Kedai Koboi di Gelapnyawang, ITB dengan konsep kedai makan.

?

IMG_0459

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

12 KOMENTAR

  1. ” Angkringan menjamin semua orang bisa makan tanpa perlu khawatir memikirkan harganya…”

    Justru ini jebakannya. Karena murah sering gak sadar ngambil gorengan selusin dan sate usus berpuluh tusuk. Begitu dihitung gak jauh sama makan di Sederhana. :p

    Oh ya, kalimat-kalimat yang panjang dan beranak kayak, “Rasa-rasanya makanan yang disajikan di gerai ternama, resto terkenal atau franchise makanan di mall besar membuat saya kehilangan selera, saya tiba-tiba ingin santapan buka puasa saya adalah sesuatu yang merakyat, di pinggir jalan, sambil menyeruput segelas teh panas” mending dipotong aja. Kalimat yang baik adalah bisa dibaca dalam satu tarikan nafas saja.

    Just my two cents 🙂

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here