599465_4039658948789_1028835383_n

Bismillah, semoga tulisan ini tidak dianggap menggurui.

Katanya bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran, sampai presidennya pun dianugerahi penghargaan atas toleransi beragama di Indonesia. Tapi kata memang tak seindah fakta, pada beberapa kasus dan kejadian toleransi ini hanya buih belaka, putih di permukaan tapi gelap sampai dasar. Entah apa sebab, toleransi sementara hanyalah kata-kata manis yang jika ditelan sebenarnya pahit.

Berkata soal toleransi, sebenarnya kita tidak perlu jauh-jauh belajar ke seberang. Bahwasanya di negeri sendiri masih ada orang-orang yang sadar bahwa toleransi adalah kunci kerukunan. Hanya saja, terkadang bangsa sendiri memang suka silap mata, sukanya memandang keluar dan lupa menilik kedalam. Seolah di luar itu bagus cemerlang dan yang didalam ketinggalan zaman. Tapi mari kita sejenak menengok kembali ke jati diri bangsa sendiri, ke kampung sendiri, dimana toleransi sama suburnya dangan padi yang tumbuh di sawah, dimana toleransi sama segarnya.

Saya tumbuh besar di kampung bernama Paremono, di sebuah sudut Magelang. Dari lepas kampung penduduk bisa melihat Merapi dan Merbabu dengan jelas, jika mengarahkan pandangan ke Barat kami bisa melihat Sumbing yang tegak. Mayoritas penduduk adalah petani yang rajin, selepas shubuh ke sawah, istirahat di kala siang kemudian kembali mengakrabi pacul dan panas matahari sampai senja menjelang.

Di kampung kami ada sebuah masjid besar, menampung penduduk 3 dusun yang saling berdekatan. Paremono, Trojayan dan Namengan. Setiap kegiatan agama memang terpusat di masjid ini, menampung semua aspirasi dan golongan penduduk kampung. Masjid digunakan tak sekedar sebagai tempat ibadah semata, namun lain dari itu masjid juga adalah tempat penyatuan ummat di kampung.

Selayaknya kampung-kampung di Jawa, penduduk di kampung kami mayoritas warga Nadhliyin tradisionalis, yang kedua baru Muhammadiyah seperti keluarga kami dan disusul Salaf yang oleh penduduk kampung Salaf diartikan sebagai mereka yang berjenggot lebat dan bercelana cingkrang. Namun tidak ada sekat antara 3 golongan ini, kami sama-sama shalat berjamaah di masjid yang sama. Tidak lantas membuat sekat dan beribadah masing-masing, kami semua tunduk pada imam masjid yang sama, tidak lantas mengusulkan imamnya masing-masing.

Umat muslim kampung kami bukan umat muslim dengan dandanan rapi jali, berbaju koko dan berkopiah putih. Umat muslim di kampung kami adalah umat muslim yang tergopoh-gopoh ke masjid dengan baju terbaiknya di sela-sela istirahatnya saat berladang. Umat muslim dengan songkok hitam yang sudah mulai menjadi cokelat dan terkadang sarung yang bolong karena sundutan rokok kretek, namun tetap rajin ke masjid kala panggilan azan tiba.

Datanglah saat shalat shubuh tiba, saat doa qunut dibacakan mereka yang nadhliyin akan turut berdoa, sementara yang Muhammadiyah dan Salaf tetap diam saja, tapi kami semua berada dalam satu jamaah yang sama, dipimpin oleh imam yang sama. Atau ketika terjadi perbedaan saat Idul Fitri, tidak ada keributan mana metode penentuan tanggal yang paling benar. Karena biasanya Muhammadiyah lebih dahulu merayakan idul fitri, maka yang Muhammadiyah akan tetap melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan desa, kemudian bertakbir dengan pelan dan akan menunggu perayaan lebaran keesokan harinya bersama warga Nadhliyin yang baru berlebaran keesokan harinya.

Subhanalloh, suasana di kampung kami cair sekali. Kultur saling menghormati ini sudah terjalin puluhan tahun lamanya. Contoh kecilnya ada di keluarga saya, kakek saya adalah seorang Nadhliyin totok. 2 adik iparnya adalah Ulama Nadhliyin, Kyai Basari (almarhum) yang menjadi ulama nadhliyin di kampung dan K.H Malkan Mahbub (almarhum), ulama Nadhliyin dari Jetis, Rambeanak. Sementara nenek saya adalah seorang Muhammadiyah dari daerah Piyungan, Sawangan. 2 kutub yang katanya berseberangan nyatanya bisa harmonis membentuk rumah tangga sampai kakek-nenek.

Kakek saya termasuk maju dalam pemikiran, anak-anaknya disekolahkan tinggi-tinggi tapi tetap membekali ilmu agama yang kuat. Beliau menyekolahkan ibu saya ke pesantren Pabelan, pesantren modern di Magelang asuhan KH Hamam Dja’far pada masanya, bukan di pesantren tradisional. Dan adik ibu saya disekolahkan di SMA Muhammadiyah 1 di Jogja sana. Kesemuanya demi keseimbangan antara ilmu dan amal sebagai bekal hidup nanti. Toh di keluarga kakek cukup moderat, sebagai Nadhliyin dia tidak tradisional sama sekali, dia akan mengajak dan memangku saya saat ngaji kitab kuning tapi kakek juga mengizinkan saya ikut Taman Pendidikan Al-quran besutan Pengurus Ranting Muhammadiyah.

Sepertinya ummat di kampung kami dianugerahi jiwa-jiwa yang haus pembelajaran. Setiap malam rabu penduduk desa ngangsu ilmu ke Tegalrejo mengikuti pengajian K.H Abdul Mukti, biasanya jauh-jauh datang berombongan dengan mobil bak terbuka. Atau orang-orang yang lebih sepuh ngangsu ilmu ke Watucongol mengikuti pengajian KH Ahmad Abdul Haq / Mbah Mad (almarhum) setiap minggunya terkadang dengan berjalan kaki berkilometer jauhnya. Tapi sebagai warga Nadhliyin warga kampung kami tidak membatasi mengaji di kalangan ulama Nadhliyin saja, suatu waktu malah warga Nadhliyin di kampung mengikuti pengajian H. Ngalimun Abdul Jabbar, yang merupakan pimpinan Ponpes Muhammadiyah Darul Falaah, Salaman. Ummat di kampung kami memang haus belajar agama dengan cara yang sederhana.

Keterwakilan Nadhliyin, Muhammadiyah dan Salaf pun terwujud dalam kepengurusan takmir masjid, semua dilibatkan, semua terwakili sehingga semua bisa urun pendapat untuk memajukan ummat. Bahkan masjid kami terbuka untuk siapa saja, ketika beberapa waktu lalu ada rombongan Jamaah Tabligh yang melakukan syiar di kampung kami, warga menyambut gembira dan mengikuti kajiannya dengan tekun.

Ada yang unik dari cairnya toleransi di kampung ini, 2 bulan yang lalu ketika saya terbaring lemah di rumah sakit. Ibu-ibu kampung yang tergabung dalam Muslimat NU datang menjenguk saya di rumah sakit. Saya dirawat di rumah sakit Muhammadiyah, karena sebagai warga Muhammadiyah tentunya ada sedikit previlese jika ditawat disana. Nah, rombongan ibu-ibu Muslimat NU yang kira-kira jumlahnya kurang lebih 40 orang ini melantunkan dzikir dan shalawat untuk mendoakan saya di rumah sakit Muhammadiyah, seketika itu haru menyergap luar biasa di hati saya. Toh suasana ini tak hanya sekali dua kali, toleransi sudah menjadi nafas hidup penduduk kampung kami. Misalnya saat ada warga Nahdliyin mengadakan kenduri, warga Muhammadiyah pun turut ikut mengikuti kenduri dari awal sampai selesai. Tidak ada perseteruan soal boleh tidaknya kenduri atau tidak, persatuan ummat adalah diatas segalanya.

Ibu saya sedikit unik, pernah suatu kali dia mendapat 2 undangan yang berbeda di waktu yang bersamaan. Satu dari Nasyiatul Aisyah sementara satu lagi dari Muslimat NU. Memang ibu dikenal dekat baik dengan kedua organisasi tersebut, walaupun ibu saya jelas Muhammadiyah, mengajar di sekolah Muhammadiyah tapi ibu juga akrab dengan pengurus Muslimat NU di kampung kami. Wong, di pesantren yang turut ibu kelola di Borobudur sana, ada beberapa anak warga Nadhliyin di kampung yang ia masukkan ke pesantren Muhammadiyah, warga kampung pun memasrahkan pendidikannya pada ibu, demi masa depan yang lebih baik.

Dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sisi spiritual pun ibu tidak sekedar minta pendapat dari seorang ulama, ibu selalu objektif dan meminta pendapat banyak orang untuk didiskusikan. Ibu pasti akan meminta nasehat sahabatnya, seorang pengurus cabang Muhammadiyah tapi setelah itu dia akan meminta nasehat kepada pakdhe/kakak sepupu bapak yang seorang tokoh NU Sufistik.

Jika diluar sana mungkin ada ribut-ribut soal golongan – golongan yang saling klaim paling benar satu sama lain, alhamdulillah di kampung kami tidak ada hal seperti itu. Semua hidup rukun dan damai, saling mengisi. Relung-relung relijiusitas justru sudah melampaui batas pengkotakan yang selama ini seolah memisahkan satu golongan dengan yang lainnya.

Mungkin penduduk kampung kini adalah ummat-ummat yang sederhana (atau justru luar biasa?). Ummat yang tidak memandang keislaman seseorang dari seberapa hitam jidatnya, seberapa lebat jenggotnya atau seberapa fasih bacaan ayat sucinya. Tapi penduduk kampung adalah ummat yang memahami Islam adalah bagaimana saat seorang muslim harus bertetangga dengan baik satu sama lain, memahami Islam adalah bagaimana seorang muslim turut mendoakan dan membantu saudaranya yang terkena musibah, memahami Islam adalah bagaimana saat seorang muslim yang lebih mampu membantu saudaranya yang kurang beruntung. Sesederhana itu saja.

Ummat muslim kampung kami memang sederhana, hidup di kampung dan mungkin tidak mengikuti perkembangan dunia dengan hiruk pikuknya disana. Tapi dibalik kesederhanannya mereka menjalankan Islam sebenar-benarnya sebagai rahmatan lil alamin dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Nahdliyin, Muhammadiyah dan Salaf saling bahu membahu, saling bantu membantu dan menciptakan kehidupan yang harmonis. Islam di kampung kami tumbuh dengan sejuk dan sederhana, sesederhana petani yang tergopoh-gopoh pulang dari sawah lalu bergegas ke masjid saat adzan  berkumandang.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

6 KOMENTAR

  1. menarik membaca opini kak efener tentang toleransi 🙂
    suka capek sendiri kalo ada aja yang mengkotak-kotakan perbedaan di sosmed, padahal perbedaan itu indah ya kalo bisa berjalan harmonis 🙂

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here