bswitlkigaaazm5

Artikel ini bukan untuk justifikasi pekerjaan, tapi sedikit gambaran kerja saya sebagai PNS Direktorat Jenderal Pajak.

***

Saya tahu, sebagai PNS saya tidak boleh menuntut, kadang tidak boleh mengeluh dan sering harus sabar menerima keadaan. Memang saya rasa settingan default PNS seperti itu, terkadang saya merasa bahwa menjadi PNS berarti membuang jiwa manusiawi dan berubah menjadi robot yang siap menerima perintah tanpa membantah. Seperti ketika saya menerima surat penugasan bahwa saya harus ke pesisir selatan Garut selama 3 hari berturut-turut.

Bagian selatan Garut selama ini menjadi momok pegawai-pegawai di kantor. Bagian selatan itu berarti harus menyiapkan diri untuk menempuh perjalanan jauh yang merontokkan pinggang, jalanan yang meliuk-liuk yang membuat kepala bisa pusing tujuh keliling atau migrain bahkan vertigo. Walaupun tak bisa dibantah bahwa sepanjang jalur menuju selatan Garut terhampar pemandangan yang super indah, mulai dari gunung, sawah, kebun teh, air terjun dan berakhir di laut selatan. Dan tanpa bisa menolak suatu apa, saya mendapat penugasan ke Kecamatan Bungbulang bersama 2 orang senior saya di kantor. 1 tim ini akan melaksanakan penyuluhan perpajakan untuk guru dan bendaharawan sekolah di area Bungbulang dan sekitarnya.

Tangkapan layar penuh 28082013 182152.bmp
A = Kota Garut, B = Bungbulang

Jarak Garut ke Bungbulang faktualnya adalah 71 kilometer dengan waktu tempuh normal 3 jam. 3 jam untuk 71 kilometer? ya benar, waktu tempuh itu sama dengan Garut – Jakarta dengan kondisi nir macet dan lancar. Jika Garut – Jakarta yang 211 kilometer dan Garut – Bungbulang yang 71 kilometer membutuhkan waktu tempuh sama-sama 3 jam, berarti ada sesuatu yang salah di jalur dari Garut menuju Bungbulang.

Secara kontur, Bungbulang ada di bagian pegunungan yang membentang di selatan Garut. Menuju Bungbulang saja harus melewati kawasan yang diapit Gunung Cikuray dan Papandayan, 2 gunung tersohor di Garut. Setelah itu melewati kebun teh dan melewati jalan yang mengiris punggungan bukit. Medannya tergolong lumayan berat, naik turun dengan kemiringan jalan yang lumayan curam.

Kondisi jalan pun tak bisa dibilang bagus. Jalan mulus hanya dari Garut sampai Cikajang, lepas Cikajang sampai Pamulihan jalanan yang ada hanyalah jalan aspal tipis yang bopeng-bopeng, senada dari Pamulihan sampai Pakenjeng yang juga jalannya serupa dengan muka wanita yang jerawatan, pun ditambah jalur yang mengular, berkelak-kelok. Ruas terakhir dari Pakenjeng di kanan-kiri jalan tumbuhannya lebih rapat, teduh menuju gelap kondisinya, secara kontur ruas Pakenjeng – Bungbulang didominasi turunan yang membuat rem berdecat-decit.

Ironisnya di Bungbulang sendiri jalannya malah masih jalan tanah. Dulu pernah diaspal, tapi hilang sudah bekas aspalnya, hanya tersisa jalan tanah yang cokelat berdebu. Parahnya kondisi ini berlanjut sampai ke pesisir selatan Garut. Dari Bungbulang ini memang ada jalan tembus sampai ke Pantai Rancabuaya, bisa ditempuh dari 2 jalur, yang pertama via Cijayana dan yang kedua via Cisewu. Kondisinya? terakhir saya melewati ruas Bungbulang – Rancabuaya via Cijayana yang jaraknya hanya kisaran antara 15 – 20 kilometer, perlu waktu 3,5 jam untuk menempuhnya. Rasanya bisa dibayangkan sendiri bagaimana kondisi jalan dengan jarak 15 – 20 kilometer tapi perlu berjam-jam untuk melewatinya.

Masalah ada diatas dan sudah saya tuliskan, ketika seorang PNS terkadang harus menerima sarana yang disediakan tanpa banyak menuntut. Tapi rasanya jika kita terus menerima kondisi hasilnya bisa jadi bunuh diri. Jadi serba salah, ingin melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh tapi fasilitas yang dimiliki tak memadai. Bukan ingin menuntut lebih, tapi rasanya kondisi seperti ini perlu perhatian dari level yang lebih tinggi.

Persoalan yang membuat pelik adalah kondisi mobil dinas yang suram. Rem yang dalam, kata sopir kantor “Mas, maaf ati-ati kalo pake mobil ini, remnya kadang ada kadang engga, harus dikocok”, jelas memang rem tidak dalam kondisi sempurna. Membawa mobil dengan kondisi rem yang sudah tidak sempurna melalui jalur selatan mungkin lebih mirip tindakan mati konyol. Ingin menuntut, tapi khawatir banyak yang nyinyir “Pahlawan aja berani mati demi negara, lha kamu gitu aja nuntut lebih..” Tapi pak…

Sebenarnya bukan tidak melakukan perbaikan, setiap tahun memohon tambahan kendaraan operasional kantor ke Jakarta. Tapi dikabulkan pun tidak, ingin rasanya kantor mendapat fasilitas yang memadai seperti mobil 4 WD, menyesuaikan kondisi jalanan Garut yang belum semuanya bagus karena lebih mirip jalur rally dunia atau jalur lomba offroad. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk menjangkau sampai kecamatan terjauh seperti Peundeuy, Singajaya atau Talegong. Rasanya ingin menyeret orang-orang di Jakarta untuk datang ke Garut dan sesekali ikut kami berdinas ke kecamatan yang keberadaan sinyal handphonenya saja masih timbul tenggelam.

Tapi daripada menuntut nir-hasil. Dengan fasilitas seadanya kami tetap berangkat ke Bungbulang, berangkat dari Garut jam 7 pagi, dengan saya di belakang kemudi memantapkan diri dengan kendaraan dinas seadanya. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya saya sampai ke Bungbulang jam 10 siang. Setelah beramah-tamah barang sebentar, kami setting alat dan memulai acara, penyuluhan perpajakan bagi guru-guru dan bendaharawan sekolah dasar.

Penyuluhan perpajakan dihadiri oleh sekitar 100 guru, gabungan dari 4 kecamatan di sekitar Bungbulang seperti Caringin, Cisewu, Pakenjeng dan Talegong. Dibilang sekitar Bungbulang pun rasanya tidak tepat juga, karena Talegong sendiri jarak ke Bungbulang adalah 3 jam. Ya, Talegong berbatasan langsung dengan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Orang Talegong jika ke Garut justru lebih senang melalui Bandung terlebih dahulu daripada lewat Garut, lebih dekat kata mereka. Hal ini pernah dibuktikan oleh senior saya di kantor yang sekarang sudah promosi ke Sumatera sana. Senior saya pernah dinas sampai Talegong dan terpaksa harus menginap di kantor kecamatan, karena saking jauhnya.

Sosialisasi diadakan di sebuah sekolah dasar di Bungbulang. Hal ini karena UPTD Dinas Pendidikan yang menaungi wilayah Bungbulang tidak punya aula yang memadai. Sekat-sekat antar kelas dibuka dan jadilah 3 kelas digabungkan menjadi satu. Siswa-siswa terpaksa dipulangkan lebih awal demi acara ini. Mereka bahkan tidak punya infocus/proyektor, beruntung kami sudah mengantisipasi dan membawa proyektor sendiri. Dan guru-guru yang datang dari pelosok-pelosok Garut menyimak dengan antusias. Rasanya perjalanan jauh sebelumnya yang membuat keringat dingin terus mengucur bisa terhapus sejenak dengan senyum dan pertanyaan yang dilemparkan guru-guru yang mengabdi di pelosok Garut.

Saya bercakap sebentar dengan pasangan suami istri Kepala Sekolah seusai acara. Saya terkaget-kaget dibuatnya karena mereka berdua masing-masing berasal dari Jogja. Si Bapak berasal dari Sleman dan si ibu dari Bantul. Bagaimana mereka bisa sampai ke Garut? ceritanya panjang. Dimulai pada tahun 1977 ketika mereka berdua lulus dari SPG di Jogja, mereka kemudian ikut program pemerintah untuk menyalurkan guru-guru ke daerah dan mendapat daerah penempatan di Garut, tentunya bukan Garut Kota, tapi pelosoknya.

Si ibu kenyang berdinas di Singajaya dan Bungbulang, sementara si bapak pernah bertugas sampai ke Cisewu, Caringin dan Bungbulang. Kesemuanya di pelosok Garut. Saya belajar soal dedikasi dari mereka. Dari lulus kuliah sampai menjelang pensiun, dari seorang guru sampai sekarang di puncak karirnya sebagai kepala sekolah, mereka bertahan di pelosok Garut. Rasanya orang yang sangat skeptis dengan PNS harus dipaksa angkat topi dengan perjuangan mereka berdua.

Dalam bahasa jawa yang halus pada saya (mereka segera menggunakan kromo inggil pada saya setelah tahu saya asli Magelang dan saya langsung dianggap saudara lazimnya orang Jawa yang bertemu di rantau, kata mereka susah nemu orang Jawa di Bungbulang. Sementara saya terheran-heran, di Bungbulang pun masih ketemu orang Jawa) mereka bercerita, 30 tahun yang lalu Bungbulang masih tak bisa dibayangkan, jalanan yang hancur, terkadang tidak bisa dilalui dan bahkan kata si bapak jika kondisi rusak dari Bungbulang menuju Garut baru bisa dicapai dalam waktu tiga hari perjalanan. Beruntung sekarang sudah tidak seperti dulu lagi, sudah lebih baik walaupun tak bisa juga dibilang baik. Sambung mereka sambil menebar derai tawa. Saya hanya tersenyum, dalam hati saya angkat jempol untuk mereka berdua.

Mendengar kisah mereka, saya langsung kecil. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka berdua yang sudah melayani negeri, memberi pendidikan anak-anak negeri lebih dari 3 dekade lamanya. Saya memilih untuk membayangkan masa tua mereka yang manis, pensiun kembali ke Jogja dan menikmati masa tua berdua.

BSwJMLFCcAAsDeq

Ironi disini adalah saya seorang pegawai pajak tapi saya tak sanggup mengeluarkan penjelasan tentang manfaat pajak bagi mereka. Mau bilang apa? Saya hendak bilang pajak untuk pembangunan, tapi faktanya infrastruktur disini masih banyak yang belum dibangun, jalanan rusak, jauh dari layanan kesehatan. Saya mau bilang pajak untuk bangun sekolah, tapi faktanya saya melihat di depan mata ada sekolah negeri yang bangunannya hampir rubuh. Bagaimana saya mau bilang pajak untuk pembangunan, sementara mereka yang setiap bulan gajinya dipotong untuk pajak tidak pernah merasakan nikmat pembangunan seperti di kota.

Entahlah, saya lebih memilih berpahit-pahit diri menjelaskan kewajiban perpajakan yang mungkin akan dianggap beban bagi mereka daripada saya menjelaskan propaganda bahwa pajak untuk pembangunan namun kondisi di lapangan jauh dari pembangunan, nanti saya dikira tukang kampanye partai politik, doyan umbar janji nihil realisasi.

Melihat jalanan rusak, akses susah dan berbagai ketertinggalan di daerah yang saya kunjungi membuat saya rasanya ingin mencekik orang-orang yang sudah diberi amanah untuk membangun dengan dana dari pajak namun ternyata pembangunannya mandheg, tidak sampai ke daerah. Kemana larinya uang pajak yang sudah kami kumpulkan susah-susah sampai dimaki-maki orang? Ghaib.

Pada akhirnya menjadi PNS lama-lama harus belajar ikhlas atau pura-pura bodoh. Entahlah, beda tipis. Saya mungkin akan ikhlas jika saya bekerja dengan benar dan tidak peduli dengan ghaibnya uang pajak yang katanya untuk pembangunan atau yang kedua, saya pura-pura tidak tahu padahal tahu bagaimana rakusnya mereka yang digelontori uang pajak namun justru lari ke kantong sendiri.

Ah, sudahlah. PNS kan harus nrimo ing pandum batin saya kecut. Kembali saya mikir ke persoalan dedikasi. Dedikasi seseorang sebenarnya tak bisa diukur, berbeda satu sama lain. Amat sangat naif jika ukuran dedikasi hanya diukur dari angka-angka yang dimasukkan ke program penghitungan nilai kerja. Karena dedikasi tidak bisa diukur. Bagaimana anda mengerjakan job desk yang sebenarnya bukan pekerjaan anda, atau bagaimana anda menihilkan prestasi individu demi prestasi kolektif tempat kerja. Rasanya saya ingin berteriak ke bos-bos di Jakarta yang dengan egoisnya membuat ukuran kinerja individu yang justru membuat individu-individu saling egois, melupakan kepentingan bersama dan bahkan saling menikam satu sama lain.

Saya pun tak tahu soal dedikasi di Jakarta yang katanya setiap hari banyak bicara tentang macet-macet di jalan, tentang gangguan pada KRL yang membuat telat saat menuju tempat kerja, banyak bicara soal desak-desakan di gerbong wanita, bicara soal AC mati dan membuat orang-orang kepanasan di kantor, banyak bicara soal diskon di mall sebelah tempat kerjanya yang rupanya sudah habis. Semua soal susahnya di Jakarta, semua yang di Jakarta harus tahu. Bah, apa kata dunia, belum pernah ke Garut rupanya!

Di akhir saya mungkin ingin berkata, dedikasi ini tidak semudah membuat slogan instansi. Ada moral, ada komitmen, ada harapan dan ada totalitas. Dedikasi juga bukan sebanyak anda ikut workshop atau seminar motivasi sampai muntah muntah menelan kata-kata mutiara dari mulut motivator, dedikasi adalah soal panggilan dan kesadaran pribadi. Dan ketika nanti ada yang mempertanyakan dedikasi saya, ah sudahlah mari ikut saya ke Garut. Titik.

Tabik.

BSwJyD6CQAAdopF

BSvjFSZCEAAFiBg

BSwJn2KCYAAP9pI

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

55 KOMENTAR

  1. yang di Jakarta mari ikut saya ke Watampone (sudah pernah ya? hahaha ) dan jalan2 ke Kecamatan Bontocani, atau kecamatan Kahu.. dengan jarak 40km dan butuh 5 jam perjalanan…dan saat musim hujan tiba hanya bisa menggunakan motor saja.. jalanan berbatu bijih besi dan licin minta ampun

  2. Dengan kondisi jalanan seperti itu aja kita banyak pertimbangan ketika tugas ke sana, gimana para guru dan bendaharawan yang kita inginkan untuk menunaikan kewajiban perpajakannya secara rutin ya. Terlalu kikuk kayaknya memohon kepada mereka dengan kondisi infrastruktur seperti ini 🙁

  3. Wah 3 jam mas ? saya pikir jalanan di jawa udah bagus semua… saya dr kpp bangko ke kp2kp sungai penuh (kerinci) 160km 6 jam, alhamdulillah jalan udah lumayan bagus jadi “cuma” 4 jam.. di garut ada kp2kpnya gak mas?
    Saya juga kadang mikir, pegawai di jawa terutama kanpus sudah dininabobokan dengan sejuta kenyamanan, sindrom “ogah keluar Jakarta” dan seperti tidak memandang bahwa djp ada dari sabang-jakarta.. macet aja ngeluh 😮
    disini juga masih ada anggapan gitu, kalo bayar pajak orang pajak tambah kaya, kalo gak bayar pajak orang pajak jadi miskin -_-
    salam hangat dr kpp bangko – jambi 🙂
    ganbatte!!

  4. Emang kalo di daerah Garut sampe pelosok tuh butuh mobil 4 WD mas, untung di kantor saya difasilitasi. Karena jalan ke SUTT/SUTET bukan jalur biasa juga 🙂

  5. PNS ga boleh ngeluh dimutasi nasional, PNS ga boleh ngeluh HPnya disadap, PNS ga boleh ngeluh penempatan luar homebase tapi ga dikasih uang kontrak, pns ga boleh ngeluh asuransi layak bayar sendiri, pns ga boleh ngeluh kalau berprestasi malah dikasih kerjaan lebih berat gaji tetap, PNS ga boleh ngeluh duit abis buat kesehatan dan ongkos mudik, PNS ga boleh ngeluh pisah dengan keluarga karena sudah terikat kontrak… Bener kata Mas, PNS sepertinya robot…. ga salah pegawai Depkeu dari 26rb pegawai 6rbnya mengajukan resign, karena ga ingin jadi robot… sisanya banyak yang lagi utang sebanyak-banyaknya di bank untuk bikin usaha. saat usaha sudah jalan dan menghasilkan siap-siap gelombang resign datang. tapi Depkeu ga perlu kuatir… Pencari kerja banyak yang antri masuk DJP. 🙁
    kalo saya sendiri masih kerasan dan bersyukur di DJP, tapi miris melihat keadaan rekan-rekan lain. Semoga saja saya ga ditempatkan dipelosok, kalau iya ya bersiap-siap utang bank buat bikin usaha. Hidup saya dedikasikan untuk keluarga…. untuk apa gaji besar tapi keluarga kurang bahagia. Bekerja untuk negara… OK Pasti! tapi kalau aturan bisa membahagiakan pegawai, saya yakin motivasi kerja akan bertambah. Penerimaan negarapun akan meningkat. Pegawai bahagia=kinerja meningkat… rumus sederhana ini sepertinya susah di terapkan di institusi tercinta ini.

    Semoga keadaan kedepannya makin baik…. Petinggi juga makin mempertimbangkan sisi manusiawi

  6. Saya jadi ingat bagaimana pertama kali ngirim buku ke Manusela. Meskipun saya tidak ikut berangkat, tapi saya tahu persis bagaimana kondisi di Manusela. Sebuah sekolah dengan seorang guru honorer tanpa gaji yang sudah mengajar bertahun-tahun. Akses jalan pun sulit, hanya bisa dengan jalan kaki 4 hari.

    Dan yang paling lucu adalah ketika seorang staff di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berkata, “Semua Maluku Tengah saya tahu sekolahnya dan saya hafal daerahnya.”. Kemudian Rosa bertanya, “Bapak tahu Manusela?”. Dengan entengnya si Bapak bilang, “Manusela? Dimana ya?”.

    Saya rasa tak perlu jauh-jauh melihat bagaimana kesemrawutan bos-bos di Jakarta, bahkan pegawai kelas kabupaten pun belum tentu tahu bagaimana kondisi di wilayahnya. Memang ada benarnya dengan pernyataanmu bahwa menjadi PNS itu membuang jiwa manusiawi dan menjadi robot. Tapi, harapan saya kelak suatu saat PNS-PNS muda sepertimu bisa mengubah itu.

    Tetap menjadi manusia masbro. 🙂

  7. ane kpp pratama ternate
    disisi lain setuju, kurangnya perhatian dari yg diatas.

    disisi lain.. mmm
    belum pernah ke luar jawa ya gan?
    klo dibaca temen2 yg diluar jawa..
    bisa di bombardir..
    coba posting di fordisum (perpajakan)

    • hai mas ussamah. salam dari Garut. posting ini sebenarnya juga untuk memancing teman-teman agar jangan hanya diam. saya percaya tulisan kalaupun tak mampu mengubah, tapi bisa menggugah.
      saya memang berdinas di Jawa, tapi saya juga sering bepergian di luar Jawa. beberapa waktu lalu saya juga mengajukan proposal tentang pembuatan dokumenter tentang teman2 di garis depan, alhamdulillah diapprove oleh P2Humas, hasilnya ada viral story teman-teman di Sintang – Badau, Batulicin, Tanjung Pinang – Ranai dan terakhir Sorong. saya sendiri ikut ke Batulicin.
      insya Alloh saya akan terus memperjuangkan teman-teman di daerah, toh beberapa kali saya pernah menyambangi teman-teman seperjuangan di luar jawa seperti Gorontalo, Taliwang – Sumbawa Barat, Palu, Pontianak, Lombok. jadi sedikit banyak tahu dengan perjuangan mereka.
      salam buat teman-teman di Ternate. 🙂

  8. Mungkin sy juga termasuk org2 yg dininabobokan dgn kemudahan kota. Sejak kecil sampe dewasa meskipun dulu tinggal di desa tp akses ttp mudah.
    Semangat Pak, every little things we do, will always have meanings behind.

  9. sangat bagus pak, semoga orang di “sono” baca tulisan bapak, saya selama ini di jakarta, mungkin termasuk orang yang kurang bersyukur, astagfirullah,,
    thx ya udah share cerita ini, 🙂

  10. Ternyata meskipun masih di pulau jawa, lokasi maupun medan yang harus ditempuh termasuk lumayan berat juga ya mas, apalagi bagi kawan-kawan yang bertugas di luar jawa sana.

    Sungguh ironi memang jika digembar-gemborkan manfaat pajak untuk pembangunan, namun nyatanya masih banyak sekolah dan jalanan yang rusak disekeliling mereka, tapi paling ndak mas bro bisa menjelaskan kalau tugas DJP hanya sebagai hanya sebagai collector uang pajak saja, untuk pelaksanaannya ya diserahkan sepenuhnya kepada kementerian atau lembaga terkait (dalam hal ini pemerintah kabupaten garut dan kementerian Pekerjaan Umum)

    Saya yakin tulisan ini akan nyampai dan dibaca para bos besar di Jakarta mas, semoga mereka bisa mendengarkan aspirasi para pegawainya, mari kita sama-sama berdoa, semoga DJP bisa menjadi semakin baik dalam segala hal di masa yang akan datang..Amiin 🙂

  11. Mantab mas Sinchan …karyanya makin hari makin pedas…
    Terkadang manusia lupa bersyukur akan rizqi yang telah diberikan padanya, di sisi duniawi lebih sering kita melihat apa yang ada di atas kita, padahal masih banyak pegawai-pegawai yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk negeri ini…
    Saya bertugas menjadi auditor di salah satu Kementerian memiliki pandangan yang mirip dengan anda, terkadang tugas lapangan di daerah terpencil selalu mengingatkan saya bahwa apa yang sudah kita peroleh selama ini adalah nikmat yang harus kita syukuri, ternyata kita tidak setiap hari harus berjuang seperti mereka untuk sekedar menjalankan tugas negara..
    Selamat berkarya mas Sinchan, kami tunggu karya anda berikutnya…
    -botol-

    • makasih mas botol. (jangan-jangan kita saling kenal?). pedas itu bumbu penyedap, masakan padang tak nikmat jika tak pedas. 🙂 selamat bekerja juga.

  12. Koq bacanya jadi miris ya,masih bnyk daerah yg susah dijangkau,di sultra jg sama,bnyk daerah yg harus dgn usaha ekstra kalo mau nyampe,
    Memang sih klo orang di pusat buat kebijakan dan aturan kurang memperhatikan kenyataan di lapangan,bikin gemas

  13. tulisanmu ini harusnya sih bisa jadi semacam alarm, reminder bagi para pembuat kebijakan ga hanya di DJP,tp hampir untuk semua..agar mereka “bangun”,membuka mata,melihat,mendengar,,fakta dan suara di lapangan,di daerah..
    Se-ma-ngat, Mas Sinchan! 🙂

  14. sepertinya saya harus banyak bersyukur :|, baru tahu juga kalau di jawa pun masih banyak tempat yang akses jalannya semrawut gitu 🙁 kirain cuma di luar jawa saja. tetep semangat mas broh 🙂

  15. baca tulisan mas farhan mengingatkan saya pada nasihan seorang guru bahwa hidup itu pasti dihadapkan pada problema yang kadang membuat kikuk

  16. Tentang ironi uang pajak untuk apa? Ni ku kutip dari http://www.pajak.go.id/content/article/kemana-uang-pajak-yang-sudah-kita-bayarkan

    Masyarakat tidak akan banyak paham tentang sifat pajak yang ‘tidak ada kontra prestasi langsung’, mereka lebih paham jika tidak ada lagi jalan berlubang atau rusak, biaya pendidikan terjangkau bahkan gratis, semua layanan instansi pemerintah memuaskan, penegakkan hukum berjalan adil, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas, kemudahan dalam perijinan, transparan dan biaya murah, keamanan di lingkungan atau di jalan, tidak ada korupsi dan hal-hal konkrit yang terkait dengan kehidupan sehari-hari mereka.

    Ketika semua institusi pemerintah bersatu padu dalam mewujudkan harapan masyarakat, maka itu akan menjadi ‘kontra prestasi langsung’ dari negara kepada rakyatnya. Sampai pada keadaan ini, pajak akan tampil sebagai sahabat bagi rakyat dan akan ada di tengah-tengah masyarakat sebagai representasi pemerintahnya. Dan masyarakat pembayar pajak pun akan dengan senang hati membayar pajak dan turut menjaga pajak sebagai representasi nadi kehidupan negeri ini. Mereka akan berkata, “Ini hak kami untuk turut berkonstribusi sebagai bakti untuk negeri”.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here