DSC_0089

Beberapa bagian dari Indonesia akhir-akhir ini mungkin sudah alpa dengan perkara toleransi. Bangsa yang katanya memegang prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa sekarang meninggalkan prinsip itu hanya sebagai bahan ajar di bangku sekolah. Dipelajari, sekedar tahu lalu dibiarkan menguap dari ingatan, dan tidak dimaknai dalam sikap. Ya, kata dalam bahasa sansekerta itu sekarang tak lebih dari tulisan di pita burung garuda yang tertempel di tembok-tembok instansi pemerintah sampai berdebu. Entah, tulisan itu mungkin hanya dibaca dan sekedar lewat begitu saja. Padahal jika ingin jujur, amanat agar bangsa ini untuk bertoleransi sudah didengunkan berabad lampau oleh nenek moyang bangsa kita sendiri. Ya, tapi mungkin orang Indonesia agak takut dengan sejarah atau entah malas menguak pesan-pesan dalam sejarah masa lalu. Tentang ini banyak buktinya, tanyai saja siswa-siswa di SMA yang katanya malas belajar sejarah karena harus menghafal tahun, atau tengok aktifitas fakultas sejarah di universitas yang gaungnya makin sepi, kalah dengan fakultas bergengsi semacam fakultas ekonomi.

Kembali soal bertoleransi, setidaknya ada satu bukti bahwa toleransi sudah diamanatkan untuk dijaga sejak abad ke-9. Kala itu agama di Indonesia belum sebanyak yang diakui oleh negara seperti sekarang. Hanya ada 2 yang dianut oleh bangsa Indonesia, Hindu dan Budha. Setidaknya itu yang tercatat dalam prasasti-prasasti dari abad-abad terdahulu.

DSC_0123

Sebenarnya kita perlu akui, bangsa kita di jaman dulu memang sangat brilian dalam merangkum pesan untuk disampaikan ke keturunannya. Pesan toleransi ini disimbolkan dalam sebuah bangunan yang harapannya akan abadi, pesan toleransi diguratkan pada batu andesit, pada sebuah candi. Dan beruntunglah, harapan nenek moyang terdahulu agar pesannya sampai ke generasi berikutnya terwujud. Walaupun pesan itu sampai sekarang belum terangkai sempurna, tapi pesan itu bisa terbaca dengan jelas.

Candi yang menjadi simbolisasi, pesan dari leluhur adalah Candi Plaosan. Tidak jauh dari Prambanan, dikelilingi persawahan, berlatarkan dua giri paling utama di Jawa Tengah, Yogya dan sekitarnya, Merapi dan Merbabu. Memang candi ini belum utuh semua, sebagian masih berupa bongkahan-bongkahan batu andesit tak tersusun. Mungkin dulu sempat hilang terkubur debu vulkanik karena letusan besar Merapi yang menamatkan riwayat Kerajaan Mataram Lama. Namun pesan yang baik akan tetap terjaga, pesan yang baik akan tersampaikan. Candi Plaosan relatif bisa diselamatkan dan sebagian sudah berdiri dengan megah.

Mengenai pesan toleransi di Candi Plaosan ini, adalah Hatta, seorang pemerhati sejarah di Borobudur yang memberi tahu saya tentang hal ini. Hatta, dalam sebuah obrolannya dengan saya menjelaskan bahwa Plaosan ini adalah penanda kerukunan antara Hindu – Budha di era Mataram Lama. Penasaran dengan penjelasan Hatta, saya mengonfirmasikan hal ini pada ibu saya. Ibu saya mengaminkan argumen Hatta, menurut ibu saya yang pada masa mudanya pernah riset di Plaosan dan setahun terakhir kembali ke Plaosan untuk mempelajari kembali sejarah Plaosan, memang candi ini adalah tonggak simbol toleransi Hindu – Budha kala itu.

SS

DSC_0144

DSC_0148

Candi Plaosan bukan tentang candi yang utuh dan megah, tapi adalah bangunan dengan candi utama dan sisanya adalah reruntuhan badan candi yang tersebar begitu saja. Itulah yang berhasil diselamatkan dari era panjang Candi Plaosan. Bongkahan batuan candi tersebar di area candi. Bagian stupa, bercampur reruntuhan lainnya membentuk baris lurus berpola. Dari reruntuhan itu saya bisa membayangkan bagaimana denah candi yang dulu megah itu.

Bentuk stupa yang genta menandakan itu adalah Candi Budha. Jika diamati benar, Stupanya berbeda dengan stupa candi Budha yang umum. Stupanya lebih runcing, ramping, mirip stupa situs-situs Budha di Thailand, Kamboja dan Myanmar. Apabila diperhatikan dari jauh dan dalam siluet, saya malah membayangkan bahwa Candi Plaosan ini mirip benar dengan kompleks candi di Bagan, Myanmar. Bentuk stupa yang tidak umum ini bisa dianalisa lebih jauh, bahwa dulu Budha memang berkembang pesat di Asia Tenggara dan saling mempengaruhi satu sama lain. Pasca era Mataram Lama, kita bisa ingat bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat perkembangan ilmu agama Budha di Asia Tenggara. Disitu bhiksu-bhiksu dari seantero Asia Tenggara bahkan China mampir untuk mendalami agama Budha.

Mari berandai-andai, kawasan Candi Prambanan ini dalam bentangan aerial beberapa kilometer tersebar banyak sekali candi. Ada yang sudah dieskavasi sampai direstorasi bentuk aslinya, ada yang benar – benar hancur sampai batu-batunya ada yang dijadikan pondasi rumah. Jika saja tidak ada letusan besar Gunung Merapi yang menurut geolog Reinout Willem van Bemmelen menjadi penyebab runtuhnya Kerajaan Mataram Lama dan terkuburnya banyak candi di era itu, kita bisa membayangkan sekarang ini kawasan Prambanan sampai Magelang dan sekitarnya adalah kompleks dengan ribuan candi, bisa jadi lebih besar dari kompleks Bagan atau Angkor Wat yang termasyhur itu. Dan itu juga bisa jadi menjadi kompleks candi yang sangat besar dan luas.

DSC_0096

DSC_0094

DSC_0095

DSC_0087

Lalu dimana letak pesan toleransi yang terdapat di candi ini. Sebelum sampai kesitu, perlu menengok dulu kisah muasal Candi Plaosan terlebih dahulu. Candi ini dibangun untuk memperingati pernikahan antara Rakai Pikatan dan Pramodyawardhani. Rakai Pikatan ini beragama Hindu, aliran Syiwa dari wangsa Sanjaya, sementara Pramodyawardhani adalah putri beragama Budha aliran Mahayana dari wangsa Syailendra.

Dalam sejarah populer Kerajaan Mataram Lama memang terdiri dari 2 wangsa yang saling berpengaruh, Syailendra dan Sanjaya. Beberapa kali 2 wangsa ini saling memperebutkan pengaruh di Mataram Lama. Dalam beberapa teori, pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramodyawardhani ini adalah pernikahan politis untuk menyatukan 2 wangsa. Serta mengakomodasi kepentingan 2 wangsa tersebut, berarti juga merukunkan agama Hindu dan Budha yang menopang Kerajaan Mataram Lama.

Bentuk toleransi terwujud dalam bentuk bangunan Candi Plaosan. Candi ini Candi Budha, semacam penghormatan untuk Pramodyawardhani, terujud dalam stupa-stupanya. Sementara tubuh Candi Plaosan ini adalah tubuh khas Candi-candi Hindu. Jadilah ini adalah bentuk toleransi Hindu-Budha di Era Mataram Lama. Bentuk bersatunya 2 agama besar kala itu, Hindu dan Budha.

Jika mau mengamati lebih luas lagi, bentuk umum sistem percandian di Mataram Lama sebenarnya sudah mengakomodasi antara Hindu-Budha. Sebagai contoh, di sekeliling candi agung Prambanan yang Hindu terdapat sebaran candi Budha, seperti Plaosan sampai Candi Kalasan. Sementara di sekeliling candi agung Borobudur yang Budha juga terdapat sebaran Candi Hindu, seperti Candi Asu Sengi, Lumbung dan Pendem. Jadi di setiap candi agung agama Budha juga terdapat candi Hindu, sebaliknya di candi agung Hindu terdapat juga candi Budha yang mengelilinginya.

Menengok reruntuhan Candi Plaosan, mau tak mau kita harus belajar bahwa dahulu simpul-simpul toleransi dibangun dengan berbagai cara. Dengan pernikahan yang mungkin politis namun berhasil menyatukan 2 golongan dalam 1 wadah, dengan membangun candi-candi yang mengakomodasi 2 simbol golongan tadi. Petilasan-petilasan dari masa lalu ini adalah saksi bisu bagaimana dulu leluhur bangsa sudah membangun toleransi dalam kehidupan bernegaranya.

Namun di luar soal toleransi, pikiran saya liar berkelana memikirkan bisa jadi candi ini adalah monumen tanda cinta Rakai Pikatan dengan Pramudyawardhani. Jika Shah Jehan membangun Taj Mahal untuk habibinya, Mumtaz Mahal, maka saya mengandaikan bahwa Candi Plaosan ini adalah wujud cinta dari Rakai Pikatan pada Pramodyawardhani. Dan memang di masa lalu, tetenger akan suatu periode peristiwa apalagi oleh seorang pembesar akan diwujudkan dalam sebuah bangunan sebagai simbol, dan bisa saja saya berkhayal kalau ini memang wujud cinta dari Rakai Pikatan pada Pramodyawardhani.

DSC_0128DSC_0102

Saya rasa kunjungan singkat ke Plaosan mengingatkan kembali agar toleransi harus terus dipupuk keberadaannya. Bahwasanya leluhur-leluhur terdahulu sudah memberikan pesan indah pada anak cucunya kelak, memberikan contoh dan memberikan monumen simbol toleransi. Mungkin orang-orang dulu berharap keturunannya kelak akan tetap rukun, tetap hidup damai dan tetap mau belajar dari apa yang mereka wariskan.

Maka kembali bicara toleransi yang mungkin sekarang sudah makin asing. Ada saatnya kita kembali menengok ke diri kita sendiri, menengok ke belakang sebagai pembelajaran untuk memandang dan hidup lebih baik lagi di masa depan. Maka ada baiknya, sejarah dipelajari bukan sebagai sesuatu yang usang dan membosankan. Bahwasanya sejarah dikaji ulang untuk mendapatkan pesan luhur yang ditinggalkan untuk masa depan.

Tabik.

DSC_0155

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

4 KOMENTAR

  1. Sangat menarik untuk mengamati candi-candi ‘kecil’ di kawasan Jogja, Klaten, dan Magelang, Mas. Lebaran kemarin saya dan keluarga mencari Candi Ijo di sekitaran Prambanan juga, lokasinya di atas bukit gitu. Karena waktu itu udah kesorean akhirnya ga jadi ke Candi Ijo, malah ke Candi Barong.

    Salut sama Mas Farhan ini, sampai punyai pemikiran bahwa Candi Plaosan ini adalah wujud cinta dari Rakai Pikatan pada Pramodyawardhani..

    • betul mas..sebaran candi di sekitar Klaten, Jogja, Magelang dsb memang sangat menarik diobservasi mas..semoga akan terus ditemukan candi-candi selanjutnya..

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here