IMG_2017

Sampah yang mengambang liar, air yang hitam kelam, bau anyir yang menyengat dan kerumunan ribuan orang menanti kapal. Itulah salam dari Muara Angke kala akhir pekan. Pelabuhan rakyat untuk menyeberang ke Pulau Seribu itu mendadak menjadi ramai, semua tumpah ruah di tepi dermaga yang aspalnya sudah bopeng entah kemana. Tapi itulah Indonesia, dimana untuk menggapai sebuah keindahan kita harus bersusah-susah, dihadapkan dengan pelabuhan yang lebih mirip pasar dan berbagai infrastruktur yang menyedihkan.

Tapi sudahlah, lupakan itu semua. Kita hendak menyongsong keindahan, bukan meratapi keadaan. Sebagai kaum ploretar yang ingin liburan, Muara Angke adalah pilihan terbaik. Jika saja saya seorang berkantung tebal dengan banyak kapital, tentunya mana sudi lewat Muara Angke, lebih baik lewat Marina, dengan yacht berpendingin ruangan dan disuguhi red wine serta caviar. Tentunya sebagai proletar, kapal kayu penuh sesak yang mengingatkan saya dengan Tampomas adalah opsi terlogis. Walaupun harus seruangan dengan puluhan orang, duduk berjejalan, tidur kaki ketemu kepala, kepala ketemu kaki, itulah nasib proletar yang ingin liburan.

Menuju Kepulauan Seribu adalah perkara kesabaran dihantam gelombang di lambung kapal kayu. Muntah adalah hal biasa, panas? itu santapan utama. Dengan kapal kayu yang lamban, dari Jakarta menuju Kepulauan Seribu memang butuh waktu berjam-jam. Hati pun berdesir setiap kapal bergoyang dihantam gelombang. Sementara mata menatap nanar dari jendela kecil, hanya biru lautan sejauh mata memandang.

Lepas Jakarta seolah hanya bahagia. Dengan ongkos empat puluh ribu rupiah dan tahan untuk lewat Muara Angke maka sebenarnya kita bisa menyongsong firdaus di utara Jakarta. Firdaus dimana kita bisa menatap biru lazuardi, menikmati pasir putih dan debur ombak. Damai, santai sembari memutar musik anak pantai, dari musisi reggae kenamaan era 90-an, Imanez. Sekumpulan surga berserak di perairan utara Jakarta, bukan kumpulan, tapi mungkin ribuan. Sehingga orang-orang lalu menyebutnya Kepulauan Seribu.

Kepulauan Seribu sendiri akhir-akhir ini sudah menjadi destinasi populer di Jakarta. Berbondong-bondong manusia menyeberang lautan dari ibukota menuju pulau-pulau yang terserak di perairan Jakarta ini. Walaupun banyak yang belum tahu bahwa sesungguhnya bahwa beberapa wilayah di Kepulauan Seribu adalah kawasan Taman Nasional. Seperti dikutip dari portal wisata Kemenparekraf / Indonesia.Travel beberapa bagian yang zonasinya sebagai bagian dari Taman Nasional diperuntukkan sebagai zona konservasi bahari. Sehingga seharusnya di tengah eksploitasi wisata, konservasi juga dipikirkan baik-baik.

IMG_1965

Saya lalu teringat dengan konsepsi surga dalam agama yang saya anut. Salah satu konsepsi surga adalah ketika sebelum masuk surga, seorang ummat harus melalui penyucian dulu di neraka. Berarti harus merasakan siksa, sebelum masuk surga. Lalu jika saya kemudian mengandaikan perjalanan ini adalah surga dan neraka, maka saya harus menempuh neraka sebelum mencapai surga. Dimulai dari rombongan yang saling terpisah karena salah kapal, banjir di Muara Angke, gelombang yang tinggi sebelum mencapai surga, Pulau firdausi yang menjadi tujuan perjalanan ini.

Pulau Perak, adalah firdaus yang hendak dituju. Terletak di tak jauh dari Pulau Harapan. Konon adalah pulau tak berpenghuni dan hanya ada 1 penjaga disana, untungnya pulau ini tak masuk dalam zonasi Taman Nasional sehingga masih boleh dikunjungi. Pasir putih, ketenangan dan hidup santai yang bisa disantap hanya 4 jam dari hiruk pikuk Jakarta. Dan bagi makhluk proletar seperti saya, Pulau Perak amatlah tepat dijadikan tempat melepas penat. Dekat, murah dan indah.

Tenda didirikan, matras digelar digelar di tepi pantai berpasir putih. Di sore yang tenang sesampai di Pulau Perak. Tubuh direbahkan, punggung dihadapkan matahari, lotion tanning diusapkan ke kulit, lalu pejamkan mata seolah berada di Copacabana atau Bora-bora. Beruntung Pulau Perak bukan destinasi populer di gugusan Kepulauan Seribu, setidaknya tidak cukup populer dibanding pulau lainnya. Hanya ada beberapa rombongan yang datang, mampir sebentar berfoto lalu pergi lagi. Sementara lebih masuk ke dalam, hanya ada 2 rombongan yang menginap. Beserta rombongan saya berarti 3 rombongan. Lumayan, mungkin begitu kata penjaga pulau, ada teman di pulau barang semalam.

IMG_1988

IMG_1994

IMG_2002

Warna emas mulai merangkak ke langit, pertanda senja telah tiba. Semerbak kuning emas memenuhi lazuardi dan matahari sudah hendak balik kandang ke peraduan. Para pengunjung Pulau Perak seolah terkesima oleh senja emas nan merona. Perlahan kamera dibidikkan untuk menangkap potongan senja, sebagian lainnya memilih menikmati senja tanpa berbuat apa-apa, hanya menikmati turunnya mentari saja. Apapun itu, senja di Pulau Perak seolah meruntuhkan sejenak kepenatan Jakarta.

Ketika senja turun menjadi malam, pulau makin sepi. Tinggal penunggu pulau dan rombongan menginap yang tinggal. Menikmati bintang, beralaskan pasir putih dengan hiburan berupa simponi debur ombak utara Jakarta. Mungkin tidak ada malam yang sesyahdu malam itu. Tenda yang didirikan akhirnya hanya menjadi tempat menaruh barang dan tas. Badan-badan yang terpapar sinar mentari seharian memilih tidur beratap langit dan memeluk rembulan.

Malam itu angin mati. Di kejauhan sana mungkin nelayan sedang cemas karena kapalnya tak bisa beranjak di tengah samudera. Tapi di pantai, itu berkah bagi kami. Bahkan tanpa selimutpun saya bisa tidur tanpa rasa khawatir. Semesta mendukung, Tuhan sedang membahagiakan hambaNya dengan begitu sederhana.

IMG_1970

IMG_1966

ย 

Hari sudah terang ketika saya terbangun. Bau pisang goreng nan harum menyeruak, demi perut lapar segera saya cari bau pisang goreng yang rupanya disajikan di warung penjaga pulau. Saya comot satu dua beserta segelas teh manis pagi. Menikmati dua potong pisang goreng dan segelas teh manis panas di pinggir dermaga. Ugh, begitu nikmat. Soal harga memang lebih mahal dari pisang goreng di Jakarta sana, tapi tak apa. Ini di pulau, tak berpenghuni pula. Pisang goreng bisa jadi sebuah nikmat yang paling sederhana yang bisa didapat.

Pulau ini entah milik siapa. Penjaga pulau bungkam ketika saya tanya. Tapi saya cukup sedih ketika mendengar cerita bahwa pulau-pulau di Kepulauan Seribu menjadi milik individu super kaya dan bahkan beberapa bukan dari Indonesia. Yang bebas kepemilikan individu mungkin hanya pulau-pulau yang masuk dalam area Taman Nasional. Diluar kawasan itu tidak ada yang menjamin.

Sudahlah, negara ini memang kadang memihak mereka yang punya kuasa. Mereka bisa membeli apa saja, jika saja mereka bisa membeli nyawa dari Tuhan pasti mereka akan membelinya agar bisa menikmati harta yang mereka punya dalam keabadian. Saya lantas melupakan fakta itu dan memilih untuk menikmati pagi yang merambat siang.

Hari kedua adalah hari minggu, hari ramai Pulau Perak tutur penjaga pulau. Dan benar, bahkan ketika jam belum beranjak dari angka delapan, serombongan pengunjung sudah datang. Kapal merapat ke dermaga dan tiba-tiba pantai yang tenang menjadi riuh rendah. Begitulah minggu pagi di Pulau Perak, rombongan datang, berenang sebentar lalu pergi lagi ke pulau yang lain. Begitulah tipikal pelancong sekarang. Hanya mengecap keindahan sesaat. Lalu pergi. Hanya mengagumi sekejap, lalu minggat. Padahal sesungguhnya keindahan baru tampak ketika kau tak hanya melihat dan menyicip sesaat. Keindahan sesungguhnya baru tampak saat kau tinggal barang sejenak.

IMG_1985

Saya sempatkan berkeliling Pulau Perak. Pulau ini indah. Jujur. Pasirnya putih, airnya biru jernih dan tenang. Di bagian dalam pohon-pohon tumbuh tinggi tanpa khawatir ditebang. Tidak ada bangunan permanen di pulau ini. Satu-satunya yang permanen adalah dermaga tempat kapal merapat. Sisanya adalah bangunan kayu yang didiami penjaga pulau. Tak sampai sejam pun pulau ini bisa dikhatamkan. Herannya, pulau ini seolah luput dari perhatian. Setidaknya pengunjung yang datang tak sebanyak pulau lain.

Ada 2 sisi mata uang. Sepi berarti Pulau ini masih terjaga, asri dan tidak tercemar sampah yang sering hanya dibuang seenaknya. Tapi sepi juga berarti bapak penjaga pulau tak mendapat tambahan uang dari pisang goreng yang ia sajikan atau dari minuman dingin yang ia tawarkan. Silakan saja akan melihat dari sisi mana tentang pulau ini. Tapi percayalah, ini salah satu yang terindah di Kepulauan Seribu. Datanglah dan pastilah tak ingin beranjak pergi dari sini.

Tapi waktu terus merambat dan memang tak akan bisa dihentikan. Siang sudah menepi dan mempersilakan sore untuk berganti. Berarti ini pertanda untuk kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitas, kembali ke dunia yang penuh hiruk pikuk.ย Rasanya tak rela berpisah dengan Pulau Perak. Saya bahkan sempat tak rela ketika memasukkan barang-barang ke kapal untuk kembali ke Jakarta. 2 Hari rasanya cepat, walau sebenarnya sudah cukup mengusir penat. Tapi tampaknya bersantai sejenak di Pulau Perak adalah oase ditengah egoisme Jakarta yang mungkin setiap hari mengikis jiwa. Pulau Perak adalah soal bagaimana mengembalikan jiwa yang penat tanpa harus menghabiskan banyak uang. Pulau Perak sesungguhnya bagi orang Jakarta adalah tentang bagaimana taman bermain di belakang rumah yang sudah dilupakan, dan memilih bermain di rumah orang.

Tabik.

Post Scriptum :

 

Foto diambil dengan Canon Ixus 230 HS. Edit pada Picasa untuk menaikkan Saturasi.

Be responsible. Beberapa bagian Kepulauan Seribu adalah Taman Nasional. Jagalah perilaku, minimal jangan buang sampah sembarangan.

How To :

Muara Angke – Pulau Harapan : Kapal Ojek 40.000,00

Pulau Harapan – Pulau Perak : lewat guide. Pak Bob 087781660853. Soal harga nego saja, paket lengkap mulai dari mengantar sampai disediakan makanan. Full Service dan sangat direkomendasikan.

IMG_1978

IMG_2007

IMG_2001

IMG_1983

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

12 KOMENTAR

    • iya..kalo rombongan malah jadi lebih murah yu…kalo sendiri jadi mahal.. ๐Ÿ™‚
      mahal di sewa kapal ke pulau peraknya dari pulau harapannya..
      kalau akomodasi dan makan sih mudah, tinggal nenda dan masak sendiri aja.

  1. Kata teman yang memang asli warga pulau, bahkan presiden kita punya satu pulau pribadi di sana, dan beberapa kepemilikannya ada yang atas nama partai. ๐Ÿ™

  2. Ih enak banget Bang Chan habis bangun tidur langsung nyomot pisang goreng di pantai. Helaaawww. *mupeng* Keren Bang. Pantainya juga enak yah, gak ramai. Pas dapat senja yang merona pula. Aihhh mantep. ๐Ÿ˜‰

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here