Foto oleh : Arif Sulistyo / @kenalidirimu

Siapapun kalau pertama kali melihat foto ini pasti akan terhenyak, mungkin akan langsung bereaksi “apa-apaan ini? merusak lingkungan..bla..bla..bla?”. Memang Indonesia masih belajar dalam pengelolaan wisata, apa yang terjadi di Pindul memang sebuah kesalahan, tapi kesalahan itu adalah sesuatu yang diperbaiki.

Di Indonesia turisme massal memang sesuatu yang sampai saat ini belum ditangani dengan serius atau mungkin memang tak akan pernah serius? Karena sudah banyak kasus, mulai dari Tidung, Sempu, Waisyak di Borobudur, Semeru dan sekarang berulang ke Goa Pindul. Adalah mudah jika saling menyalahkan tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab tentang masalah ini. Tapi saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah, masalah seperti ini justru butuh solusi yang tepat agar cepat terurai.

Inti Permasalahan

Mungkin sebelum menilai permasalahan di Goa Pindul, sebaiknya harus melihat secara makro dulu seperti apa sebenarnya masalah Pindul. Untuk itu saya menghubungi Arif Sulistyo perihal hal ini siang tadi, Arif adalah salah seorang operator wisata tubing di Pindul. Arif mengelola @GoaPindul_GK, sebuah trip organizer khusus Goa Pindul, menurut Arif, merekalah yang pertama kali merintis jalur wisata di Goa Pindul. Dari yang awalnya dianggap gua yang angker dan menjadi tempat pembuangan berbagai macam sampah, oleh Arif dan tim kemudian dibersihkan perlahan, dijadikan tempat wisata dan akhirnya menjadi sesuatu yang menghasilkan secara ekonomis bagi warga masyarakat sekitar.

Memang jika hanya melihat foto tersebut sekilas, maka yang terbersit mungkin adalah keserakahan operator, ketidakpedulian pengunjung dan ujung-ujungnya penghakiman terhadap terjadinya kerusakan alam. Tapi jauh dari itu, masalah Pindul lebih kompleks dari yang dilihat di foto.

Memang mungkin tipikal orang Indonesia yang gampang tersulut, alih-alih mencari solusi bersama tapi terjebak dalam aroma salah menyalahkan satu sama lain. Ada yang menyalahkan travel writer, karena dianggap sebagai penyebar virus perjalanan dan pembuka tabir tempat eksotis, ada yang menyalahkan operator karena dianggap mata duitan atau terakhir menyalahkan pejalan yang seolah tidak empati pada kondisi tempat wisata. Saling salah menyalahkan tidak akan menghasilkan solusi, justru makin merunyamkan masalah.

Ketika saya tanya motif dibalik mengupload foto tersebut, Arif menjawab foto tersebut ia upload memang untuk menarik banyak pihak agar terbuka matanya dengan kondisi Goa Pindul yang sesungguhnya, kondisi yang menurut Arif sudah sangat memprihatinkan.

“Saya ngga tega sebenarnya mas kalo udah di dalam (Goa Pindul red), miris.” 

Menurut Arif ini adalah buah berlarut-larutnya masalah pengelolaan Goa Pindul. Sempat didera masalah kepemilikan lahan beberapa waktu silam, sampai sekarang juga belum keluar Perda untuk mengatur masalah kawasan wisata Goa Pindul ini. Padahal Perda ini bisa menjadi aturan agar sesama operator bisa duduk bersama baik untuk mengelola wisatanya ataupun menjaga kelestarian alamnya.

Ia mengiyakan terjadinya overload pengunjung. Menurutnya seharusnya per hari Goa Pindul daya tampung idealnya hanya untuk dikunjungi 200 orang, tapi disaat weekend bisa 10 kali lipatnya. Apa boleh buat, Goa Pindul memang daya tarik wisata yang sedang hits, masyarakat setempat pun seolah memanfaatkannya. Tapi jika ini dibiarkan, maka kerusakan alam di sekitar Goa Pindul sedang mengancam.

“lho mas, stalaktit di dalam itu sudah mulai rusak”

Menurut Arif itu karena terlalu banyak orang yang masuk ke dalam Goa secara bersama-sama. Karbon dioksida yang terkonsentrasi ini kemudian merusak stalaktit, membuat lapisan karst meluruh, lambat laun bisa merusak struktur batuan dalam gua. Selain itu ancaman berikutnya adalah soal Hipoksia / kekurangan oksigen. Apabila konsentrasi pengunjung dalam relung gua terlalu banyak dan berebut oksigen, maka yang terjadi saling berebut oksigen, konsentrasi oksigen di dalam makin berkurang dan muncullah Hipoksia. Begitupun jika terlalu banyak manusia yang memasuki relung goa, maka dikhawatirkan biota-biota yang hidup dan tinggal di dalam gelap goa bisa terganggu bahkan mati, itulah yang menimbulkan kekhawatiran akan rusaknya ekosistem di sekitar Goa Pindul.

Foto oleh : Arif Sulistyo / @kenalidirimu

 

Foto oleh : Arif Sulistyo / @kenalidirimu

Soal Ekonomi

“Ada 9 operator disini mas.”

Semenjak Arif mulai merintis wisata ini pada 2010 lalu, sekarang ini operator makin marak, rata-rata dari penduduk desa setempat. Mau tak mau, daya tarik wisata Goa Pindul ini telah merubah orientasi penduduk dari yang sebelumnya agraris menjadi menggarap lahan wisata, hal yang tak pernah terpikirkan oleh penduduk sebelumnya. Total tutur Arif ada 9 operator yang berbagi rejeki di Goa Pindul.

Turisme memang pada satu sisi bisa mendatangkan keuntungan dari segi ekonomi, mengangkat kehidupan masyarakat setempat, memang benar. Namun di sisi lain adalah booming yang tak terkendali, orientasi pada keuntungan semata tanpa memperhatikan aspek daya dukung alam. Kenyataan ini bisa menjadi boomerang, karena sebenarnya daya tarik pesona Goa Pindul ada pada keunikan alamnya, jika itu rusak dan hilang, apa yang bisa diandalkan dan dijual?

Banyaknya operator ini juga menimbulkan masifnya promosi untuk menarik pengunjung. Saya sendiri pernah menyaksikan sendiri, begitu memasuki Gunung Kidul baik lewat arah Yogyakarta maupun melalui arah Klaten, sudah banyak sekali papan nama menuju Goa Pindul. Beberapa menawarkan jasa tour untuk langsung tubing, sebagian menawarkan jasa penunjuk jalan dan mengantarkan pengunjung sampai ke lokasi. Memang menurut Arif, Goa Pindul sudah mampu memberdayakan warga sekitar dan menguntungkan secara ekonomis.

Tapi banyaknya operator juga mendatangkan masalah. Menurut Arif ada beberapa operator yang mengabaikan safety dan SOP dalam pengarungan/tubing di Goa Pindul. Padahal menurut Arif, ini mutlak dipahami operator untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Kadang karena terlalu banyak pengunjung mengakibatkan ada kelalaian yang timbul, dan jika ini dibiarkan maka akan menjadi sesuatu yang membahayakan.

Memang seperti hukum ekonomi, semakin banyak permintaan, akan semakin banyak penawaran pula. Ada gula, ada semut. Hal ini tak bisa dihindarkan, namun setidaknya harus dibuat regulasi untuk mengatur agar masyarakat mendapat manfaat secara ekonomi namun juga tidak muncul masalah kerusakan lingkungan kedepannya. Jika hanya mementingkan soal keuntungan materi, maka yang timbul adalah marketing yang membabi buta tanpa ada edukasi ke pengunjung tentang pentingnya menjaga kelestarian alam.

Solusi

Ini mungkin salah satu ekses negatif turisme, bisa jadi merusak alam dan lingkungan serta mengganggu tatanan yang sebelumnya sudah harmonis. Namun memang Indonesia harus banyak belajar soal turisme, bukan hanya pelaku wisatanya yang harus belajar, tapi juga pengelola objek wisatanya harus mampu membangun manajemen yang ramah terhadap lingkungan.

Yang seharusnya menjadi perhatian penting adalah sebenarnya Goa Pindul  sendiri masuk ke dalam kawasan Geopark Karst Gunung Sewu yang akan diusulkan dalam jaringan geopark Internasional Unesco. Nah jika hal ini terus berlarut-larut tanpa ditemukan solusinya, maka bisa jadi potensi wisata yang seharusnya sangat bernilai bisa menguap begitu saja.

Mungkin solusi pertama yang terpikirkan adalah membuat sistem kuota bagi pengunjung yang ingin berkunjung ke Goa Pindul. Sistem ini untuk mengakomodasi daya dukung gua dan tidak terjadi overload. Namun sistem ini harus disosialisasikan benar-benar agar diterima secara legowo oleh semua operator. Karena jika sistem ini diterapkan, tentunya ada pembatasan jumlah pengunjung dan ini akan mengurangi jumlah pengunjung yang datang.

Soal kuota ini sudah diaminkan Arif, bahkan Arif sudah menerapkan sistem kuota ini pada setiap trip yang menggunakan jasanya sebagai operator. Walaupun permintaan membludak, Arif sudah membatasi pengunjung yang akan menggunakan jasanya. Menurutnya jika bukan kita sendiri yang membatasi, maka siapa lagi? Pengunjung yang makin menyemut akan makin merusak Goa Pindul.

Hanya saja, perlu dirembug lagi dengan operator lain agar juga mematuhi aturan ini, melakukan kuota bagi pengunjung. Menurut Arif ini perlu landasan hukum yang kuat, itulah mengapa dalam hal ini Pemda Gunungkidul harus turut bertindak dalam bentuk Perda. Mengenai hal ini, Arif juga yang turut proaktif mendorong Pemda Gunungkidul agar segera menerbitkan Perda tentang Wisata Goa Pindul ini secepatnya, kalau bisa tahun depan sudah terbit, tak lain tak bukan agar ada landasan yang tegas untuk pembagian pengelolaan kawasan wisata Goa Pindul.

Opsi kedua adalah menyesuaikan tarif masuk Goa Pindul. Tarif yang sekarang menurut sekarang terlalu murah, itulah sebabnya orang-orang berbondong-bondong datang, membuat Goa Pindul tak ubahnya pasar induk. Menurut Arif memang ada wacana tarif dinaikkan, tapi itu menunggu ketok palu kesepakatan bersama. Saya pikir itu tidak masalah, toh ini hal yang penting untuk menjamin keberlangsungan wisata Goa Pindul agar tidak merusak alam sekaligus membuat pengunjung lebih nyaman, siapa sih yang mau antre seperti foto diatas? Justru itu membuat kegiatan wisata semakin tidak nyaman, lalu apa yang dicari lagi?

Tapi opsi solusi juga bukan hanya dibebankan pada operator atau Pemda. Seyogyanya ini tanggung jawab kita bersama. Toh, kita sendiri juga penikmat wisata itu sendiri. Mungkin kita harus lebih arif memandang segala sesuatu, misalkan jika destinasi sudah terlalu populer kita bisa mengurungkan niat untuk kesana, karena jika kita datang kita justru bisa memberi beban. Langkah berikutnya mungkin adalah kita perlu menghormati aturan jika kita datang ke tempat wisata. Dan memang jika ingin datang ke Goa Pindul, Arif menyarankan agar melakukan sistem reservasi dengan begitu operator bisa memilihkan hari yang pas, menerapkan sistem kuota dan tidak membebani lingkungan Goa Pindul.

Saya sendiri memiliki solusi agar menerapkan sistem zonasi di Goa Pindul, area mana yang boleh dikunjungi, area mana yang tidak. Selain itu juga perlu dibuat aturan yang tegas dan pengatahuan tentang susur gua. Bagaimanapun gua itu seharusnya disusur oleh para Speleolog dan sebenarnya. Perlu diingat konsekuensi sebuah Goa menjadi tempat wisata adalah berubahnya struktur Goa ataupun berubahnya susunan ekosistem yang hidup di dalam Goa.

Kemudian bisa juga dilakukan penutupan pada waktu-waktu tertentu selama jangka waktu tertentu. Hal ini untuk mengembalikan kondisi Goa, memberi waktu recovery bagi lingkungan Goa Pindul. Hal ini bukan hal baru, beberapa Taman Nasional menerapkan sistem ini untuk memberi waktu agar ekosistem memperbaiki diri. Ini penting mengingat Goa Pindul juga dilalui saluran air, saluran air bagaimanapun penting bagi manusia, bayangkan jika banyak sekali pengunjung yang masuk, bukankah mau tak mau air juga akan turut tercemar?

Banyak kisah pedih tentang kerusakan lingkungan atau punahnya ekosistem karena overload pengunjung. Seperti kisah punahnya beberapa spesies kupu-kupu di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung, Maros karena banyaknya pengunjung yang datang merusak aktivitas kupu-kupu sekitar Taman Nasional Bantimurung. Jangan sampai eksploitasi Goa Pindul hanya mementingkan sisi ekonomi saja tapi melupakan keberlangsungan lingkungan yang seharusnya tetap lestari.

Kesimpulan

Obrolan singkat dengan Arif tadi siang membuka banyak hal. Bahwasanya masalah Goa Pindul tidak sesederhana itu, ada beragam kepentingan yang turut disana. Saya kira perlu banyak studi lanjutan yang lebih mendalam mengenai kondisi Goa Pindul, mengingat statusnya yang unik ini. Kemudian Arif juga menunggu solusi-solusi dan diskusi-diskusi lanjutan mengenai apa yang harus dilakukan untuk menjaga keberlangsungan Goa Pindul. Bukan menanti adu argumen dan polemik yang berkepanjangan.

Sebagai seorang traveler, kiranya harus cerdas untuk membaca situasi yang terjadi. Jangan kemudian hanya menjadi traveler yang datang dan pergi dan bangga dengan kisah-kisah perjalanannya, jadilah seseorang yang bertanggung jawab, mampu mengambil nilai-nilai, tidak merusak dan meninggalkan manfaat. Edukasi sama pentingnya untuk operator, masyarakat, pemerintah dan wisatawan/traveler. Dan tanggung jawab ini dipikul bersama-sama.

Terlepas dari tulisan panjang diatas, masyarakat Indonesia masih harus belajar banyak tentang turisme massal dan belajar menghargai alam. Komersiasilasi di Indonesia masih belum diatur secara tegas dan inilah yang nanti akan menimbulkan bencana karena tidak ada penghargaan terhadap alam dan lingkungan, ironisnya jika ini dibiarkan bencana ini akan terus berulang.

Tabik.

Referensi

Detik : 1, 2, 3, 4, 5, 6

Soloposfm.

Metrotvnews

Tentang Masalah Punahnya Kupu-kupu. 

 

 

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

37 KOMENTAR

  1. sangat menarik menyimak dilema Gunung Pindul ini. Kadang-kadang turis tidak terlalu mengindahkan tata cara berwisata yang bertanggung jawab. Pun pemerintah kurang memperikan dukungan. Jadi ya intinya ini menjadi PR bersama agar eksotisme wisata tetap dipertahankan. Nice post. Salam kenal dari Kota Hujan:)

  2. Baru-baru ini sempet berencana ke Gua Pindul tahun depan, begitu lihat foto ini langsung kaget. Makasih wacananya, bener-bener menarik 😀

    Tapi saya mau sengaja off-topic. Kebetulan baru-baru ini saya juga baru baca wacana tentang memelihara Bahasa Indonesia, jadi saya ingin mengangkat sedikit perhatian. Pemakaian kata “konklusi” sebaiknya dihindari karena sudah ada padanan kata Bahasa Indonesianya, yaitu “kesimpulan”.

    • halo mbak nuri..terima kasih sudah membaca. 🙂

      tentang konklusi, terima kasih atas sarannya mbak..pemakaian kata konklusi itu sebenarnya kebiasaan saya saat membuat paper jadi terbawa sampai sekarang, saya cek konklusi pun sudah masuk di KBBI. memang kata serapan mbak. tapi terima kasih banyak atas perhatiannya.

  3. saya setuju kalau pengelolaan mass tourism di Indonesia masih belum baik, mas. bahkan di Indonesia sendiri, pariwisata masih dianggap sebagai ‘aji mumpung’ oleh masyarakat. masih banyak yang memandang pariwisata sebagai bisnis belaka, tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya.
    saya jadi ingin ikut andil menyelesaikan masalah gua pindul ini mas..
    *salam dari jogja

    • yak benar sekali. padahal jika ingin menjadikan pariwisata sebagai tumpuan ekonomi harus banyak-banyak menata pariwisata agar lebih baik. 🙂
      *salam dari Magelang.

  4. Sebulan lalu ke sana dan jujur aja, buat aku gua pindul ya so so saja. Gak gitu menarik. Apalagi ngeliat banyak org yg meskipun belum sampai kayak di foto. Jadi malas. Aku rasa sebenernya org2 itu mgkn jg udah malas tapi karena udah bayar jd mau gak mau ikut aja. Solusi lain mgkn operator sbelum nerima pembayaran dri tamu, kudu nunjukkin dlu kali ya itu kondisi lg penuh atau gak. Mungkin mas. Mungkin..

    Tabik.

  5. Ada terus ya kasus seperti ini, seakan siklus dari tempat wisata di negeri ini hanyalah sebatas tak terkenal-diekspos-dikunjungi-dirusak-ditinggalkan.
    tapi saya rasa memang sebagian besar tempat wisata di Jogja sudah overload. Perlu adanya peraturan yang memang dibuat untuk melindungi keberlangsungan tempat wisata tersebut secara menyeluruh. Mulai dari masyarakatnya, ekosistemnya, bahkan sampai ke pengunjungnya.

    Semoga saja tidak perlu sampai ada lagi tempat wisata yang jadi korban dari mass tourism untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi turis-turis di negeri ini.

    Tabik.

    • saya sependapat dengan anjar…takutnya akan jadi siklus yang terus berulang tak terkendali, mungkin edukasi memang harus menyeluruh masbro ke turisnya iya, ke pemerintahnya iya, ke pengelolanya iya..kalo ga ya suram..

  6. mungkin kasus seperti goa pindul, sempu, semeru itu beberapa dari sekian kasus overload pengunjung ya mas Efenerr..
    kalau menurut saya pribadi mungkin hal pertama ketika sebuah tempat akan dijadikan obyek wisata,yg harus di bangun adalah mental penduduk sekitar dan pengelolanya..
    karena ketika tempat itu menjadi ramai,dan pemasukan meningkat,sering kali banyak yang menjadi ‘kalap’..
    jadi sedari awal sebelum tempat itu di jadikan obyek wisata,pengelola harus sadar dan paham betul dampak positif dan negatif dari sebuah obyek wisata..sehingga ketika dampak negatif terjadi mereka siap dan bisa mengantisipasinya..ya seperti kata mas Efenerr membatasi quota pengunjung dan sebagainya..jadi semua alamnya tetap terjaga,kitanya juga senang bisa menikmati bersama..
    menurut saya si begitu Mas.. 🙂

      • oya satu lagi mas..yang perlu juga di ingat sama teman-teman pejalan mungkin..kita harus bisa jadi smart traveller atau smart backpacker..atau apalah istilahnya..setidaknya sebagai pejalan kita harus bisa pintar bersikap..kalau tau itu cagar alam,sebisa mungkin jangan kesana,kalau memang sudah overload pengunjung,jangan memaksakan tetap berwisata disana.. toh Indonesia luas dan masih ada beribu tempat indah yg bisa kita datangi..bukankah lebih menyenangkan mencari sesuatu yang baru dan membuat teat yg biasa menjadi indah,darippada mendatangi tempat yang memang sudah indah hehehe..intinya si menyelaraskan antara menikmati dan menjaga.. 😀

  7. nanti kalau udah pada jenuh pasti sepi sendiri mas, pengalaman ane yang udah 1/5 abad lahir dan hidup di Jogja :mrgreen:
    tapi emang miris juga sih, ane setuju dengan pendapat mbak Tiara Maharani 😀

  8. Saya pikir itu tergantung pengelolanya, semestinya pengelola bukan cuma mengeruk keuntungan secara materi tetapi kelestarian alam juga turut di jaga. bila memang kapasitasnya semisal 200 wisatawan, setelah dpt 200 wisatawan ya distop, jangan memasukkan wisatawan lagi. Tetapi godaanya adalah uang, kalau byk wisatawan yg mau berkunjung tentu saja pengelola merasa sayang kalau nolak….apalagi pengelolanya skrg bersaing mndapatkan pengunjung sebanyak banyaknya. 🙂

  9. Beberapa hari yang lalu aku dan istri hampir saja merapat ke Gua Pindul tapi secara tiba-tiba dan tanpa sebab mengurungkan niat dan memilih untuk turun 90 m ke dalam Gua Jomblang 🙂

    dalam pengamatanku, selain dari yang sudah diulas diatas biaya kunjungan dan akses ke lokasi secara tidak langsung juga memainkan peranannya yah kak.

  10. […] Untuk kasus Goa Pindul seharusnya bisa dong di atur seperti itu? Para traveler senang bisa menikmati Goa Pindul sampai kapanpun karena terjaga kelestariannya, dan ekonomi para penduduk lokal setempat juga terbantu karena akan selalu ada pengunjung. Bagaimana misalnya jika karena turisme massal yang tidak diatur dengan baik, kemudian ekosistem suatu destinasi wisata menjadi rusak, dan tidak ada lagi yang mau datang. Yang rugi siapa? (baca lebih lanjut tentang solusi pada Goa Pindul : http://efenerr.com/2013/11/04/bagaimana-menyikapi-carut-marut-goa-pindul/) […]

  11. Pembatasan kuota pengunjung, mungkin bisa menerapkan komputerisasi dalam pengelolaan wisata Goa Pindul melalui perda, seperti booking online dan merger operator wisata menjadi 2-3 saja. Intinya yang harus disepakati adalah semuanya untuk melindungi ekosistem, hal yang sama dirasakan semua wisata alam di Indonesia. Kapan waktu boleh berkunjung, kapan sesekali harus ditutup sekian lama untuk memberikan kesempatan alam memulihkan ekosistem,

  12. Peraturan dan pengaturan kewisataan itu memang penting,
    Namun perlu dipertimbangkan juga apa yang didapat wisatawan setelah berwisata tersebut
    Apakah ‘cave tubing’nya, ‘goa pindul’nya, atau yang lain….

  13. wah seremmm ngeliat foto pengunjung yg membludak….
    beruntung rombongan kami dtg ke goa pindul hari jumat, 12 Sep 2014, jadi bisa tenang hanya kami yg menyusuri goa

  14. Setiap lihat foto pindul yang penuh sesak selalu miris.
    Kadang mikir, apa ga ada kerjasama antar oprator yg ada untuk membatasi kuota perharinya?
    Tulisan ini menjawab pertanyaan itu.
    Setiap oprator bisa saling kerjasama, duduk bersama.
    Semoga perda segera selesai, oprator makin bijak mengatur wisata goa pindul dan traveler juga mkin bijak dalam berwisata.

    Tulisa yg bagus mas. Salam kenal

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here