100_7242

 

Saya sedang berada di Sidaunta yang menjadi gerbang Taman Nasional Lore Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang oleh situs Indonesia.Travel  dimasukkan dalam Kawasan Strategi Pariwisata Nasional / KSPN Indonesia 2013. Lore Lindu adalah sebuah Taman Nasional yang terbentang di Sulawesi Tengah, luasnya 217.991.18 hektar mencakup kawasan Donggala, Sigi, Tentena sampai Poso. Salah satu yang populer dari TN Lore Lindu dan sering dijadikan tempat wisata adalah Danau Lindu, yang juga salah satu entry point untuk menjelajah kawasan Taman Nasional. Untuk menuju Danau Lindu, bisa ditempuh kurang lebih setengah hari perjalanan dari Palu. 

Namun untuk mencapai Danau Lindu memang cukup berliku. Opsi pertama adalah dengan menggunakan jasa ojek motor untuk menembus Taman Nasional, sementara yang kedua bisa dengan trekking. Opsi pertama bisa ditempuh dalam waktu 1,5 atau 2 jam perjalanan, sementara opsi kedua bisa 5 – 6 jam perjalanan. Dan saya memilih opsi pertama, menggunakan jasa ojek motor, selain menyingkat waktu perjalanan saya juga ingin merasakan naik ojek motor yang katanya menantang maut ini.

Titik mula perjalanan ini di Sidaunta, pintu masuk menuju kawasan Taman Nasional dan titik pungkas perjalanan ini adalah di Tolado, sebuah desa di bibir danau Lindu. Menurut penduduk setempat, jaraknya adalah 17 kilometer, ditempuh paling cepat 1,5 jam. Segera saya serahkan keril 60 liter saya pada tukang ojek, keril saya diletakkan di depan, sementara saya di belakang. Mungkin total ada 200 kilogram beban yang harus ditahan motor si tukang ojek.

DSC_0087

DSC_0090

Jangan pernah mengira bahwa saya akan menunggang motor laki atau trail, yang saya tunggangi adalah motor bebek bermesin 110 cc. Saya terheran-heran, motor begini untuk menembus medan Lore Lindu? yang benar saja. Tapi rupanya para motorist disana memilih motor bebek karena praktis, gesit dan irit. Walaupun motor bebek ini sering disiksa dengan beban yang amat berat.

Jalur menuju Danau Lindu memang sangat menantang. Jalanan masih jalan tanah, lebar 2,5 meter, mengiris punggungan bukit. Jadi jika di sisi kiri adalah tebing/punggungan bukit, maka sisi kanan adalah jurang yang amat dalam, begitu juga sebaliknya. Jalur ini dilalui 2 arah, jadi motor-motor harus saling mengalah untuk memberikan jalan.

Terkadang jika musim hujan, jalanan menjadi sangat berlumpur. Mungkin roda-roda harus dirantai agar bisa melewati jalur ini, atau jika tidak ya tamat sudah. Jalur tidak bisa dilewati dan Tolado akan terisolasi dari dunia luar. Pekik klakson nyaring sepanjang jalan, bersaing dengan suara cicit burung di hutan. Klakson ini memang wajib dinyalakan sepanjang jalan, sebagai tanda akan ada motor yang lewat bagi mereka yang akan berpapasan.

100_7245

100_7252

Saya yang sudah terkencing-kencing karena nyeri membayangkan perjalanan yang meliuk-liuk di jalan tipis yang mengiris tebing ini hanya terheran-heran dengan pengendara motor yang masih santai saja sepanjang perjalanan. Mungkin alah bisa karena biasa, mereka sudah melahap tikungan demi tikungan jalanan di dalam Taman Nasional. Sesekali mereka berhenti saat saling berpapasan dengan mereka yang datang dari arah berlawanan, dari arah danau. Semacam kode etik, mereka yang berada di sisi tebing akan berhenti, mempersilakan mereka yang datang dari sisi jurang untuk lewat.

Tak jarang pengemudi motor pamer kemampuan berkendara. Dengan lihai mereka mengoper gigi dan bermain rem, atau sesekali tancap kecepatan cukup tinggi. Pengemudi motor yang saya tumpani terkadang menurunkan satu kaki ke tanah, macam pembalap motocross saat menikung. Para motorist ini benar-benar hebat, mereka bisa membawa beban sampai ratusan kilogram sambil santai meliuk-liuk melewati jalanan yang sangat sempit ini.

Bicara soal beban, motorist ini benar-benar bisa dipertanyakan kewarasannya. Saya berpapasan dengan motorist dari arah danau yang sedang membawa motor di jok belakang, kemudian juga bertemu dengan mereka yang membawa keranjang super besar berisi ikan hasil tangkapan di danau. Ketika saya tanya apa tidak berat membawa beban sebanyak itu? Tukang ojek saya hanya terkekeh.

“Sudah biasa itu mas, enteng, pernah ada yang bawa peti mati sama mayatnya karena harus dikuburkan di desa. Saya pernah bawa lemari kayu besar dari Sidaunta ke Tolado. Biasa saja.”

Bagi mereka mungkin biasa saja, tapi bagi saya? itu gila!

100_7261

100_7264

Saya berhenti di tengah perjalanan, ada semacam lahan kosong yang cukup luas untuk parkir 5 – 7 motor. Juga ada gubug sederhana dengan tempat duduk a la kadarnya. Pas di tengah perjalanan, mereka biasanya berhenti untuk sekedar menghisap rokok dan bercengkerama dengan sesama motorist Lore Lindu.

Mereka bercerita dulu sebelum motor menjamur sebagai alat angkutan, biasanya mereka menggunakan kuda beban untuk menempuh Sidaunta – Tolado. Tapi lambat laun kuda dirasa lambat dan orang-orang memilih menggunakan motor. Dengan motor perjalanan bisa dipercepat dan mampu membawa beban lebih banyak.

Tapi perjalanan bukan tanpa resiko. Resikonya besar dan sangat dipahami oleh mereka. Kata pengemudi saya saja bulan kemarin saja ada yang jatuh ke jurang, patah tulang. Bahkan mungkin ada yang sampai meninggal. Mungkin bagi saya mereka seperti menertawakan maut. Tapi bagi mereka mungkin menertawakan maut adalah cara untuk mengikis takut.

Saya kira motorist di Lore Lindu adalah motorist terhebat di Indonesia. Cara mereka melahap tikungan demi tikungan begitu tenang dan elegan. Dan catat, mereka hanya menggunakan motor bebek 110 cc tanpa ubahan mesin. Pantaslah malu para pengendara moge yang arogan di jalanan, harusnya mereka beradu skill dengan motorist Lore Lindu, bukan adu sombong karena moge yang harganya ratusan juta.

2 jam dibonceng motor menembus Lore Lindu rasanya adrenaline saya dipancang ke puncak tertinggi. Perjalanan usai ketika motor sudah meninggalkan hutan dan memasuki area persawahan. Tolado, tujuan pamungkas sudah dicapai. Sebuah desa yang merupakan area enclave di Taman Nasional Lore Lindu. Setelah pantat saya panas karena berpegal-pegal saya akhirnya menikmati semilir angin dan birunya Danau Lindu.

Tabik.

DSC_0197

Panduan menuju Lore Lindu:

Starting point Palu.

Angkutan Terminal Petobo Palu – Sidaunta (2 – 3 jam-an) : Sewa mobil, tarif tergantung negosiasi. 1 Mobil berkisar 300.000 – 400.000 rupiah.

Ojek Sidaunta – Paloo/Lango/Tolado : Tergantung barang dan negosiasi, kira-kira antara Rp 75.000 – 100.000 rupiah.

Akomodasi di Lore Lindu (makan, menginap di rumah penduduk setempat) : tentative tergantung kesepakatan.

Referensi :

Web Indonesia.Travel

Taman Nasional Lore Lindu

Disclaimer :

Perjalanan ini dilakukan tahun 2011.

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

8 KOMENTAR

  1. waj wis tekan ngendi ngendi arek siji iki.. sedep….

    motorist?? kenapa ga pakai judul Biker ajah? hehehe

    karena di kalangan pecinta motor jarang menemukan istilah motorist.. hehehe

    • alhamdulillah mas..mumpung masih muda..
      karena motorist itu kata yang baku mas, biker tidak baku. di bahasa inggris juga tidak ada kosakata biker, adanya motorist.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here