Ada 1 tempat di Indonesia yang menorehkan kenangan dalam bagi saya, itulah Bromo. Saya jatuh cinta sejak pertama kali kesana, saya ingat waktu itu masih ingusan, lulus SMA, sok-sok ingin mendapat pengakuan sebagai seorang yang meninggalkan fase remaja. Saya nekat angkat ransel ke Bromo, hanya bekal seadanya dan doa dari orang tua.
Darah muda tak dapat dilawan, walaupun waktu itu hanya bersweater tipis dan gigi gemeletuk menahan dingin, akhirnya saya tiba juga di Bromo. Dengan senyum pongah bak saya sudah menaklukkan dunia seisinya. Waktu itu saya baru lulus SMA.
Demi cinta yang tak pernah hilang pada Bromo, saya kembali lagi kesana. Mengingat bagaimana dulu ketika badan masih kurus kering dan sekarang saya sudah berselimut lemak sekujur badan. Ternyata Bromo tak pernah berubah, masih Bromo yang dulu. Bromo yang meninggalkan cinta pertama.
Saya masih menikmati lapisan awan dan kabut tipis bak kapas melayang-layang di atas perbukitan Tengger. Saya juga masih menikmati biru langit yang tiada dua. Bromo masih cantik seperti ketika bertahun-tahun lalu saya kesana.
Hanya ada satu pembedanya, Bromo sekarang bak gadis cantik pujaan banyak lelaki. Pesonanya mengundang banyak orang untuk mampir. Bahkan sampai-sampai Kemenparekraf menobatkan Bromo sebagai salah satu KSPN. Situs web resmi wisata Indonesia, Indonesia.Travel memberikan review 1 halaman khusus untuk Bromo.
Bromo adalah soal semburat jingga mentari perlahan muncul dari balik barisan bukit dan memukau banyak orang. Tapi Bromo juga perihal bagaimana orang-orang Tengger menjadikan Bromo sebagai tempat paling terhormat di hati mereka.
Tapi Bromo juga pengajar tentang arti teguh. Bagaimana saya sudah hampir menyerah kepayahan. Urat-urat betis sudah enggan diajak menapak ratusan tangga berbatu, perut sudah kepayahan dan keringat sudah bak banjir bandang di Jakarta. Tapi ini Bromo, hati sudah teguh untuk ke puncak, mengecap nostalgi usia muda kala itu.
Saya sampai di puncak, lega, gembira, suka meluap. Saya sapukan pandangan sejauh mata memandang. Biru Bromo masih elok, awan putih masih melenggok bak penari jangger yang lemah gemulai dan bau belerang dari kawah adalah parfum pelengkap yang membuat perjalanan sewangi minyak kasturi.
Satu dua bidikan lensa saya lakukan, Bromo, kecantikan abadi harus diabadikan. Sebagai sebuah tempat, Bromo adalah tempat yang tak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun. Bromo adalah tempat pembuka kisah saya menjadi seorang petualang, Bromo pula yang pertama kali mengajarkan pada saya apa itu arti keindahan.
Pada Bromo kuberlabuh, dan pada Bromo aku berjanji untuk kembali lagi. Suatu hari nanti.
Tabik.
Postingan ini diikutkan dalam kompetisi blog Indonesia.Travel
semoga menang 🙂
terima kasih kembali Ka Feb. 🙂
wah, kapan kapan kalau ke bromo mampir ke rumahku yak!
di probolinggo pintu gerbang menuju bromo sekitar 45 km sebelum bromo.. disana aku dibesarkan…..
ayok mas! lha saya juga naiknya dari Probolinggo. 😀
IHIIIIIYY!! Sebentar lagi daku ke sana! syalalalala~
heh!
Typically I wouldn’t go through article for websites, but I want to point out that this specific write-up pretty required everyone to take a peek with and do so! The producing preference has been stunned me. Thanks a lot, pleasant write-up.
🙂