1536737_10202129184130040_2053559058_n
Sebelah kiri adalah Kasi PDI yang bareng-bareng turut memantau MPN. Sementara sebelah kanan adalah SMS teman saya yang masih di Bank Persepsi mengawasi input SSP ke MPN sampai katanya nanti jam 23.59 nanti.

31 Desember 2013. 22.33. KPP Pratama Garut. 

Saya menulis ini bukan ingin dikasihani, bukan juga ingin menyombongan diri menjadi pahlawan penerimaan negara, atau saya iri melihat riuh rendah rekan – rekan sejawat yang ramai merayakan pergantian tahun, saya menulis ini karena ada yang mengusik dan memang harus benar-benar dituliskan. Saat ini saya masih stand by di kantor dengan beberapa teman yang juga masih mematung di depan komputer, melihat pergerakan angka-angka penerimaan negara. 

Siang tadi, saya ditugaskan di Bank Persepsi, tugas saya adalah memantau input pembayaran pajak yang disetor di akhir tahun agar benar-benar masuk ke dalam MPN. Bank Persepsi penuh Bendaharawan Pemerintah yang tergopoh-gopoh melakukan pembayaran di saat akhir tahun, entah sepertinya memang sudah kebiasaan lama, alih-alih melakukan setoran pajak pada saat dilakukan pemotongan/pemungutan untuk pihak ketiga, bendaharawan lebih memilih menumpuk setoran di akhir tahun. Kebiasaan ini buruk dan perlu dievaluasi, kebiasaan ini merepotkan banyak pihak karena pembayaran pajak bagi satker harus melalui beberapa tangan, dari Satker, DPPKAD (Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah), BUD (Bendahara Umum Daerah), Bank Persepsi, KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) dan baru bisa dilihat di MPN oleh kantor kami setelah semua proses dilalui.

Ini melelahkan dan merepotkan banyak pihak, tapi hal ini juga perlu diantisipasi, sehingga kalau tidak salah beberapa hari lalu ada Surat Edaran untuk menempatkan beberapa petugas di Bank Persepsi untuk mengawasi proses input SP2D ini, sampai-sampai oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan diperkuat dengan surat untuk Bank Persepsi agar mereka tetap bertugas melakukan input SP2D sampai mendapatkan NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) dengan batas sampai jam 24.00 di tanggal 31 Desember. Untuk Bendaharawan Pemerintah memang perlakuannya sedikit khusus karena diperlukan SP2D untuk melakukan penyetoran pajak atas DIPA di tahun berjalan.

photo djpb
Petikan Surat DJPB

Atas surat itu juga, ada rekan saya yang bertugas di Bank Jabar malam ini, sendirian sampai jam 24.00 nanti. Penerimaan bagi teman-teman di KPP adalah harga mati, sesuatu yang harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Berbeda dengan saya tadi siang, shift pengawasan ini pun sedikit rumit, karena penyetoran pajak harus benar-benar dipastikan masuk di tanggal 31 Desember 2013, tinggal beberapa jam lagi.

Di ruangan saya, terdengar terompet yang sudah nyaring di sudut-sudut Kota Garut, di beberapa titik juga terlihat kerlip meriah kembang api, sementara saya masih memantau MPN (Modul Penerimaan Negara) untuk melihat pergerakan penerimaan pajak di tahun 2013. Sebenarnya kantor saya sudah dipastikan  tidak akan mencapai 100 %, bahkan untuk penerimaan pajak tingkat nasional saja mungkin tidak akan tercapai 100 %, petang tadi penerimaan pajak secara nasional masih pada kisaran angka 91-92 %.

Tidak tercapainya penerimaan ini sebenarnya sudah bisa diprediksi di awal tahun karena target yang diberikan terlampau tinggi, 40 % dari target tahun sebelumnya. Setiap bulan selalu mengevaluasi kinerja, mencoba membuka simpul-simpul penerimaan baru, mencoba menggali potensi pajak, kerja keras setahun benar-benar diperjuangkan sampai detik akhir pergantian tahun. Walaupun sudah tahu tidak akan tercapai, tapi teman-teman tidak menyerah dan terus berkomitmen menjaga penerimaan sampai akhir.

Sepenting apa sih penerimaan pajak? Memang itulah beban yang diemban instansi tempat saya bekerja. Dan sebagai lini terdepan, maka kantor sayalah yang diberi tanggung jawab atas pengelolaan penerimaan pajak dari Wajib Pajak. Setiap tahun akan diberikan target yang harus dipenuhi setiap tahun oleh tiap-tiap kantor dan menjadi ukuran kinerja untuk memperhitungkan prestasi sebuah kantor.  Pencapaian penerimaan ini adalah nyawa sebuah kantor yang kadang harus diperjuangkan sampai gulung koming. Tapi saya pikir ada semacam hal yang kurang adil apabila kemudian ukuran penerimaan pajak menjadi ukuran kinerja dan prestasi sebuah kantor.

photo bjb
Suasana Bank Persepsi saat saya bertugas tadi siang, penuh Bendaharawan Pemerintah dari Satker2 Pemerintah Daerah.

Penerimaan bukanlah harga mati dan tidak serta merta dilakukan untuk mengukur kinerja. Inilah yang jadi salah kaprah, kesalahan pola pikir secara sistemik mulai dari level terbawah sampai teratas. Hampir semua lini pola pikir yang berlaku adalah “yang penting penerimaan tercapai” dan lambat laun pola pikir ini menyesatkan. Penerimaan jadi ukuran reward dan punishment. Yang penerimaan tercapai akan mendapatkan bonus yang lebih daripada yang tidak tercapai tanpa melihat bagaimana kinerja secara keseluruhan roda organisasi di suatu kantor. Sebuah kantor yang penerimaannya buruk belum tentu kinerjanya bagus, begitu pula sebaliknya.

Fenomena ini pernah saya kuliti pada 2012 silam untuk skripsi saya, saya membuat penelitian pengaruh kinerja dengan penerimaan pajak selama 5 tahun berturut-turut dan hasilnya adalah kinerja kantor hanya menyumbang 21 % dari seluruh faktor yang mempengaruhi penerimaan, hanya seperlima lebih sedikit, faktor lainnya banyak, mulai dari perkembangan ekonomi sampai cakupan wilayah. Berarti pengaruh kinerja tidak terlalu signifikan bagi penerimaan sehingga penerimaan tidak bisa serta merta dijadikan ukuran untuk kinerja secara keseluruhan. Implementasi mudahnya adalah malam ini, apakah keseluruhan kantor kami dan pegawainya berkinerja buruk karena penerimaan tidak tercapai? Saya kira sangat tidak adil jika lalu kantor kami dibilang buruk, sementara masih  ada pegawai yang berkomitmen untuk terus bertugas seperti apa yang sudah ditetapkan.

Penerimaan pajak kadang terasa sebagai buah simalakama, tidak tercapai bak mendapat dosa dan coreng-moreng di muka, tercapai maka tahun depan mendapat kenaikan target di awang-awang bahkan terasa tidak masuk akal. Saya yang dibawah tidak mengerti bagaimana merumuskan target-target penerimaan ini, tiba-tiba sudah mendapatkan angka yang harus dicapai. Sementara pihak yang memberikan target mungkin tidak tahu bagaimana kondisi penerimaan dan dinamika perkembangannya di daerah, asal target sudah berupa angka maka itulah titah dari atas yang harus dicapai dan dilaksanakan.

Organisasi harus belajar lebih keras untuk bisa menghargai dengan layak mereka yang berada di lini terdepan. Beberapa menit sebelum ini, saya dan seorang kepala seksi bahkan sedang dalam perjalanan menuju Bank Persepsi untuk menengok bagaimana teman kami yang ditugaskan disana, tapi kami berdua batal kesana karena jalanan yang sudah ditutup untuk pesta tahun baru. Letak Bank Persepsi memang dekat sekali dengan alun-alun kota Garut sehingga wajar jika jalur kesana pun ditutup karena masuk dalam area pusat perayaan tahun baru. Di tengah kemeriahan pergantian tahun, ada teman saya yang masih bertugas, ah, bagaimana rasanya dia duduk tepekur di hadapan angka-angka sementara di luar sana gemuruh terompet mulai saut – menyaut.

Rupanya tidak hanya kantor saya, ada beberapa kantor yang ditugaskan serupa, berjaga demi penerimaan sampai detik akhir pergantian tahun. Bagaiamana mereka yang sudah berjuang sampai hampir tengah malam akan dihargai dengan semestinya? Uang lembur? Tidak ada uang lembur di kamus instansi kami, semua dianggap sukarela bahkan makanan untuk lembur pun kami harus beli sendiri dari kantong kami. Tak rela rasanya apabila mereka yang harus mengganjal mata sampai tengah malam namun gara-gara penerimaan tidak tercapai lalu dianggap gagal dan bekerja buruk.

Saya hanya bisa bilang dari kapasitas seorang pegawai di level terbawah yang selalu mendongak ke atas untuk memohon perubahan agar suatu saat ada perubahan pola pikir yang lebih adil untuk menyikapi penerimaan, ada metode pendekatan yang lebih adil untuk menilai secara objektif kinerja sebuah kantor. Angka penerimaan akan menjadi semu jika pola pikir “yang penting penerimaan tercapai”  masih terus dan akan terus dipakai sebagai pola pikir utama dalam bekerja.

Entah apa motif mereka yang bekerja sampai malam, termasuk saya? Entah mereka-mereka ini memang sudah sangat fanatik sampai taqlid dengan instansi atau memang sebenarnya mereka ini adalah orang-orang yang memang benar-benar memiliki rasa tanggung jawab yang tak berbatas dan tak mengharap balas. Semoga benar harapan saya bahwa instansi ini belum akan kehilangan orang-orang baik, berdedikasi dan berkomitmen.

Ah, malu rasanya sempat iri dengan beberapa teman karena untuk sekian kalinya saya tak bisa menikmati perayaan tahun baru, anggap saja ini adalah harga yang harus dibayar karena kurang bekerja dengan benar sepanjang tahun ini, maka akibatnya adalah sekali lagi saya tahun ini mendengarkan terompet tahun baru dengan rasa sendu dari depan layar monitor.

Selamat tahun baru, semoga tahun depan instansi ini akan melakukan perubahan yang lebih baik lagi.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

20 KOMENTAR

  1. Kalo sudah kayak gini yg hrs selalu kita ingat susahnya kita di bawah,kalo sudah di atas kita ingat kejadian kayak gini untuk kemudian memberi kebijakan dan peraturan yg lebih adil untuk semua

  2. di satu sisi ada yg nyut2an nunggu penerimaan sesuai target , di sisi lain ada yg ngabisin buget akhir tahun dengan atas nama jalan2 abidin. katanya kalau nggak abis nanti buget tahun depan bisa dipangkas….

  3. dah 3x dapet pergantian kepala kantor, dan baru kali ini merasa nyaman bekerja, karena kakap hanya berujar sederhana tapi mengena: “yang penting kita dah berusaha maksimal, soal penerimaan tuh nomer sekian”

    Garut hebat bisa 95% sementara kami posisi terakhir hanya di 88%, gimana bisa tercapai.. migas melalui DJA yg tahun 2012 lalu menyetor 102 M dan membuat Watampone duduk di peringkat 11 Nasional, tahun 2013 hanya dijatah DJA 30 M saja sementara target naik 40%..hahahaha.

    • betul gan, memang yang penting seharusnya usaha dulu…selama prosesnya bagus, pasti hasilnya maksimal..
      untungnya disini ada sisa DAK yang bisa dijadikan topangan, agak ngeri juga kalau tahun ini naik lagi karena sebenarnya RAPBD Garut tahun ini mengalami sedikit penurunan.

  4. Kahyangan sudah mencoba mengukur kinerja dgn metode bs , cuman sepertinya kok kurang mengena… Entah masih terlalu ribet atau emg blm siap nerapinnya… Kalo menurut saya kinerja itu yg paling bisa menilai secara nyata ya atasan langsung yang dibawa berjenjang ke atas. Seorang atasan harus tau kinerja bawahannya jgn digebyah uyah aja entah krn pengen gampang lalu antara yg satu dengan yang lain dinilai sama. Karena itu perlu seorang atasan itu orang yang amanah…. #justsaying

    • saya melihatnya karena selalu terburu-buru mas, sistem dan SDM belum siap tapi selalu terkesan dipaksakan ditambah dengan ukuran angka-angka yang terkesan kurang realistis..haha.
      betul, memang idealnya begitu. atasan nilai bawahan dan sebaliknya tentunya juga butuh orang-orang yang super amanah..

  5. Dan kita2 yg katanya barisan terdepan msh dianggap gak cinta tanah air.. Sampe2 perlu ada diklat bela negara yg budgetnya cukup buat bayar asuransi kesehatan untuk pegawai tersebut & keluarganya..

  6. Memang banyak yang harus dibenahi di birokrasi kita. Termasuk serapan anggaran yang grafiknya melangit di belakang. Semoga saja tulisan ini dibaca perumus kebijakan. Sehingga ada perbaikan yang riil yang diperjuangkan dan bisa segera kita terapkan.

    salut pak… moga terus produktif!

  7. Masih mempertanyakan misteri kenaikan target yang dramatis di sebagian besar KPP di seluruh Indonesia. Apa gara-gara tuntutan Anggota Dewan Yang Terhormat tentang Tax Ratio?.
    *mengusap layar monitor yang terhenti di 90%*

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here