554084_4991244657837_921887797_n

Saya mencoba Nasi Punel ini adalah ketika perjalanan dari Surabaya ke Jember, kami berombongan dengan mobil yang disopiri Lukman. Di tengah perjalanan, Lukman yang mungkin sudah hafal mati jalanan Jawa Timur mengajak berhenti sejenak di Bangil, sebuah kecamatan kecil di Pasuruan. Selain melepas lelah setelah beberapa jam berkendara dari Surabaya juga untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Lukman bilang, ada kuliner nasi enak di Bangil, namanya Nasi Punel.

Nasi Punel konon asal katanya adalah Pulen, yang dibolak-balik susunan hurufnya. Tampilannya sekilas mengingatkan saya pada Nasi Bug yang ada di sebelah stasiun Malang. Atau mungkin memang olahan nasi di daerah Jawa Timur memang serupa?

Kami serombongan menuju Warung Nasi Hj. Lin, lokasinya ada di seberang kantor Telkom Bangil. Katanya warung Hj. Lin ini yang paling populer di Bangil, banyak yang transit mampir. Bangil sendiri memang dikenal sebagai salah satu kota transit bagi mereka yang hendak berplesir ke ujung timur Jawa Timur. Warungnya kecil saja, ruangannya memanjang ke belakang tapi ramainya minta ampun.

404432_4991238777690_2051950436_n

531588_4991238417681_183072417_n

Saya mencoba memesan satu porsi, pengunjung dipersilakan memilih sendiri lauknya. Ada banyak pilihan yang tersedia, mulai dari jerohan, kikil. tahu pedas, bothok sampai ikan asin. Tapi ada yang tidak boleh terlewat dari Nasi Punel adalah taburan Serundeng-nya. Serundeng di Nasi Punel memiliki aroma agak pedas, berbeda dengan Serundeng Jawa Tengah yang cenderung manis, atau Serundeng di Pasundan yang biasanya digoreng kering dan asin.

Nasi di Nasi Punel memang pulen, seperti asal katanya, pun wangi. Entah nasi dari jenis beras apa yang digunakan untuk membuatnya. Saya memilih seporsi Nasi Punel dengan tahu, kikil, jerohan dan botok, ditambah taburan serundeng dan sambel. Jadilah seporsi Nasi Punel full kolesterol, tapi tak apalah dan segelas teh manis hangat turut menjadi teman makan.

Suapan pertama, rasa hangat nasi menggelegak di rongga mulut. Daging yang bumbu manisnya meresap sampai ke dalam kemudian menyusul, sedikit alot sehingga harus sigap mengerat dagingnya. Taburan serundengnya ringan menghias rasa dan kemudian menyusup di sela-sela gigi. Kemudian saya menyicip bothoknya, parutan kelapanya halus sekali, campurannya pas. Saya sendiri yang tidak terlalu menyukai Bothok akhirnya lahap menyikat satu bungkus kecil.

Aslinya Nasi Punel beralas daun pisang, tapi di Hj. Lin, alas daun pisang diganti dengan kertas minyak. Tak masalah, mungkin karena daun pisang sudah susah dicari sehingga lebih mudah menggantinya dengan kertas minyak. Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan seporsi Nasi Punel. Perut kenyang, harga murah dan lidah menggelora. Memang pas untuk menyantap Nasi Punel sebagai teman singgah di perjalanan.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

11 KOMENTAR

  1. gleeekkk baca ginian pagi2 dan masih di atas kasur bikin ngilerrrr…
    saya sekali mampir ke bangil dan makan nasi punel tp lupa di warung mana krn dibonceng temen, ada daun pisangnya loh. lebih mantap lagi klo makannya pakai tangan hehe

  2. Betul mas… Saya yang tinggal bertetangga dengan kota Bangil, namun asli Ponorogo juga cinta banget ama nasi punel ini.

    Di Bangil ada banyak yang jual nasi punel ini, namun kalo mau yang disajikan ala original dengan daun pisang dan lengkap dengan sambel cobek cuma ada di Warung Nasi Punel Ibu Hj. Dahlia …

    Cek aja ini:

    Nasi Punel Ibu Hj, Dahlia Bangil

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here