kereta2

Deru – deru mesin motor beraneka rupa sudah menyambutku di depan pintu rumah. Padahal aku baru saja membuka pintu. Di belakangku, di balik pintu ada istriku yang melepasku berangkat, sesaat sebelumnya dia mencium tanganku, beberapa detik setelahnya aku kecup keningnya dan kupeluk lama. Lalu kubuka pintu rumah dan melangkahkan kaki keluar itu rasanya seperti maju perang. Kupikir ulang, memang sudah sepantasnya di rumah terasa hangat dan bahagia, tetapi di jalanan kurasakan sengsara yang menguras jiwa.

Rumahku kecil, di pinggir kota, tapi kantor besarku ada di tengah kota sana. Berpuluh kilometer jauhnya. Untuk sekedar ke kantor pun aku harus bertarung dengan mentari, siapa yang duluan bangun. Ayam berkokok pun kalah rasanya dengan ritme bangun pagiku. Kata orang-orang tua dulu kalau bangun siang maka rezeki akan dipatok ayam, tapi aku yang bangun pagiku sudah mendahului ayam pun tak merasakan rezeki datang. Entahlah, mungkin ayam sekarang lebih suka bangun siang.

Aku menuju stasiun, dengan ribuan orang lain yang sama-sama hendak mengejar jarak ke ibukota. Stasiun adalah harapan bagi banyak orang, stasiun adalah simbol menyerahnya orang-orang pinggir ibukota dengan sistem transportasi ibukota, mereka yang lelah menggantang hidupnya di jalanan beralih rupa memilih roda-roda besi. Ya, walaupun kurasa kereta di stasiun ini buruknya setengah mati, sinyal yang sering mati, kereta bekas negeri Jepang dan para penumpang yang berdiri berdesakan di gerbong sampai setengah mati.

Tapi kadang stasiun adalah simbol keangkuhan. Tak ada yang hendak protes kondisi stasiun atau kereta yang lewat, orang-orang pinggiran ibukota sudah dipaksa berpasrah diri dengan kondisi yang suram ini. Pilihannya cuma dua, mau naik atau tidak. Pilihan sulit, bahkan bagiku yang sudah bermasa-masa bergulat dengan hingar bingar ibukota.

Woy antri pak antri! Jangan berebut!” Teriak pria legam berbaju biru tua, si petugas keamanan stasiun. Penumpang yang membeli tiket menganggapnya sepi, teriakannya bak jarum di dalam jerami, tak dihiraukan, tak jua dicari.

Stasiun pagi hari adalah ruang besar pertunjukan Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Loket stasiun adalah Colloseum bagi mereka yang saling sikut, saling serobot, saling menyingkirkan satu dan yang lainnya demi selembar tiket kereta. Aku terjebak di dalamnya, bingung antara saling sikut, mempertahankan posisi sampai bingung merogoh selembar uang yang ditukar selembar tiket.

Kemanusiaan di peron kereta makin tak bersisa. Satu dengan yang lain makin sibuk terpekur di hadapan smartphone-nya. Hendak kusapa satu-dua-tiga manusia tapi tampaknya mereka lebih suka saling sapa dengan siapa yang entah di mana, yang terpapar di layar monitor kecil empat sampai lima inchi.

 “Pengumuman, kereta jurusan kota mengalami keterlambatan di stasiun Serpong, sistem sinyal mengalami gangguan, mohon penumpang agar bersabar”

Wah, mati!” batinku, jika telat lagi maka raporku akan merah, semerah muka istriku yang murka karena gajiku dipotong lagi.

Sementara gerutu massal memenuhi peron, hampir tak ada suara lain kecuali gerutuan, sumpah serapah dan keluhan yang tak usai. Lima, sepuluh, lima belas menit kereta yang dinanti tak kunjung datang. Kuhitung ulang, penghuni peron sudah berlipat seperti deret angka yang bejubel setiap menit. Kiamat kecil pasti akan datang ketika kereta masuk stasiun. Aku hanya diam dalam cemas dengan banyak pikiran yang menggugat.

Kiranya peron – peron sudah penuh sesak penuh. Aku khawatir sedikit senggolan, ratusan manusia di pinggir peron bisa tumpah ke rel, lantas terlindas kereta yang lewat, lalu mati semua. Duh, aku mulai meracau. Keenggananku menunggu lebih lama ternyata membuatku melamun kemana-mana. Kereta tak kunjung tiba sementara manusia-manusia lintas kota sudah lelah mengiba.

Mendadak dari kejauhan sorot lampu kereta terlihat, disambung dengung klakson dari masinis. Hore, penumpang bersorak, kucatat sendiri ada dua puluh menit kereta terlambat. Aku tinggal punya waktu sisa lima belas menit menuju kantor. Sialan, entah kenapa kereta selalu telat saat aku butuh. Aku tadi sekejap sudah mengumpat di linimasa, dan mungkin bukan aku saja yang mengumpat, tapi, tapi, sudahlah. Mungkin bos-bos kereta api memang punya hobi mempermainkan penumpang. Suara roda dan rel kereta makin kencang, lalu berderit ketika tuas rem ditarik masinis dan kereta melambat. Segera manusia-manusia peron berlari – lari mendekati pintu, bahkan sejak kereta belum berhenti.

Woy sabar woy! Jangan dorong-dorong woy!!” 

Kiamat kecil kataku. Ratusan mungkin sampe ribuan orang saling dorong untuk masuk pintu. Petugas keamanan yang sudah hilang akal hanya mondar-mandir kebingungan, teriakan mereka, suitan peluit mereka tak dihiraukan para penumpang yang sudah kehilangan kesabaran, semua serentak ingin masuk gerbong. Penumpang yang sudah di gerbong makin terdesak, penumpang yang di luar semua ingin ke dalam. Runyam? Aku? Sudah terjepit di dalam gerbong, terdesak tak bisa bergerak.

Kamu tahu ikan asap? Tahu cara pembuatannya? Ikan dijajar berderet rapat-rapat, kemudian dipanasi di atas tungku sampai gosong. Beginilah aku di dalam gerbong, sudah seperti ikan asap, kepanasan sampai beruap, habis cairan tubuhku. Sudah bukan sauna lagi, ini pabrik ikan asap. Jika sauna hanya membuat tubuhmu berkeringat ingat, maka pabrik ikan asap menghabisi cairan tubuhmu sampai tak bersisa.

Aku heran, gerbong ini bagus sebenarnya, tapi bekas. Entah pemerintah negeri ini lebih suka yang bekas, padahal punya pabrik gerbong kereta di sebelah timur, herannya kenapa lebih memilih yang bekas. Maka tak heran, rakyatnya pun bermental barang bekas.

Gerbong itu arena pamer kepalsuan dan orang-orang yang bermuka dua. Mereka tiba-tiba pintar berpura-pura saat di dalam gerbong. Pura-pura tidur, pura-pura tidak tahu ada orang lain, pura-pura tidak melihat sekitar, pura-pura bodoh tiba-tiba. Banyak yang berdasi rapi tapi tak punya empati, banyak yang berdandan a la eksekutif muda tapi rupanya serigala.

Aku tak tahan lagi, memegang tas erat dan berdempetan membuatku tak nyaman. Gerbong juga arena bagi para jalang pecinta bokong perempuan. Dengan muka tanpa dosa, para lelaki mesum itu menggesek-gesekkan kemaluannya pada bagian belakang perempuan yang terjebak di depannya. Si perempuan aku lihat salah tingkah, mukanya penuh malu dan geram, tapi tak kuasa berbuat apa-apa. Sementara aku pun hanya menjadi orang yang pura-pura tak melihatnya, diam saja lantas kulemparkan pandangan ke arah yang lain. Aku pun menjadi orang yang penuh kepura-puraan, tak ada bedanya.

Gerbong juga arena pamer kekayaan, tapi terlihat juga jurang pemisah antara si berpunya dan si papa. Merek-merek tas dan baju ternama bertebaran, tapi kadang bau asam kuli rendahan pun hadir di tipis angin pendingin ruangan. Dalam ruang bernama gerbong aku melihat dua sisi mata uang.

Woy, Ati-ati pak! “Umpatku, “Makanya minggir pak!” Teriak pria cepak berseragam biru tak kalah lantang.

Pria cepak tersebut seolah raja di gerbong. Tak peduli gerbong penuh sesak, dia akan berjalan menembus kerumunan, seperti Musa membelah Sungai Nil. Atas nama keamanan dia bisa menyingkirkan kerumunan orang di gerbong, lalu berjalan dari ujung – ujung. Parade kekuasaan dan kepentingan, seolah menjalankan fungsi negara menjaga gerbong agar aman, padahal menghadapi copet pun dia tak kuasa, tapi matanya seperti tuan tanah di desa, seperti punya apa saja.

Gerbong-gerbong terus berlari mengikuti loko, getarnya membuatku bergejolak ke kanan dan kiri. Aku sudah lelah, pasrah, tanganku panas, kakiku lemas. Bangsat memang hari ini, kereta datang terlambat dan nasibku bagaikan ikan asap. Semburan pendingin udara tak kuasa membendung luapan orang-orang yang penuh sesak.Rasanya aku ingin menyerah walau sebenarnya tujuanku sudah amat dekat, tinggal sepersekian detik saja. Maka kunikmati sisa perjalanan dengan mata terpejam.

Dadaku mendadak seperti, luapan udara bergegas masuk ke paru-paru, mataku silau, pintu dibuka dan rupanya lima belas menit perjalanan sudah pungkas. Aku sudah sampai stasiun terakhir, stasiun Kota, stasiun tua yang katanya pusat dari perjalanan kereta di Kota. Aku didesak penumpang di belakangku untuk turun, aku bergegas, pintu keluar dan stasiun tampak seperti sarang semut yang mendadak ditinggal penghuninya mencari makan.

Aku sedikit bersyukur perjalanan sudah usai, kantorku hanya di luar stasiun lalu belok kiri, berjalan kaki tak sampai enam ratus langkah. Aku menebar keluh pada diri sendiri, lima belas menit yang kulalui setiap hari rasanya panjang, rasanya seperti perjalanan berjam-jam. Neraka memang, tapi mungkin lama-lama tubuh manusia punya adaptasi dengan neraka. Rasanya neraka bagaikan hal biasa bagi orang-orang ibukota. Maka ketika mendapat kelegaan sejenak, pantas orang-orang ibukota mendadak norak. Mereka tak biasa mendapat rasa lega, bahkan sedetikpun dalam hidup mereka.

Inilah lima belas menit perjalanan setiap pagi. Dan aku lupa, aku harus masuk neraka lagi, lima belas menit lagi nanti sore, ketika pulang kerja. Ah, ibukota.

Tabik.

Sumber gambar. 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

20 KOMENTAR

  1. Mau dikata apa lagi Mas, saya juga bingung.. HP saya pernah raib disituasi itu.. Dorongan bikin orang yg hendak keluar tersungkur, diinjak, dianggap tangga oleh yg lainnya.. aah Ibukota..

  2. Cerpen yang menarik Kang. Kalau istilah saya, malaikat yang berbaur dengan para setan di neraka lambat laun bisa berubah jadi malaikat berjubah setan. Semoga Ibukota tidak malah sesak dengan jenis-jenis malaikat seperti itu.

  3. Antara salut dengan gaya tutur tulisan yang benar-benar mengikutsertakan saya ke dalam peron-peron sesak, sekaligus miris membayangkan betapa ‘lega’ menjadi kata yang paling dirindukan kaum Jakarta.

    :((

  4. Saya berangkat naik KRL dari bekasi ke kantor gak cuma 15 menit mas, kalo berangkat bisa 45 menit dan pulangnya bisa 90 menit, karena kereta sering ditahan jika ada kereta jarak jauh lewat. Belum lagi kalo ada gangguan sinyal, atau gangguan listrik. Hidup di Jakarta emang keras *facepalm*

  5. wis lah chan, enak ning Garut tinimbang jkt, penghasilan sama penderitaan jauh beda
    seperti pepatah kuno “ibu kota lebih kejam dari ibu tiri”
    kalau boleh memilih lebih baik saya dimutasikannun jauuuuhh ke mgl/jogja meskipun penghasilan naik…..loh.. ^^

  6. “Banyak yang berdasi rapi tapi tak punya empati, banyak yang berdandan ala eksekutif muda tapi rupanya serigala”, kalimat itu pantas disandarkan dengan mayoritas masyarakat Jakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here