Slide2

“I have been a witness, and these pictures are my testimony. The events I have recorded should not be forgotten and must not be repeated.” – James Nachtwey

Saya selalu percaya bahwa fotografi tidak hanya urusan kesenangan mengambil gambar. Jauh melampaui itu, fotografi adalah sebuah keagungan untuk merekam sejarah, mengabadikan momen-momen yang tak bakal tergerus zaman. Mungkin ingatan akan melupakan, manusia bisa saja ahistoris, tapi sebuah karya fotografi bisa mengingatkan hal-hal yang sudah dilupakan manusia.

Seperti halnya saya percaya bahwasanya fotografi terlalu agung jika hanya soal mengabadikan keindahan. Saya beranggapan bahwa fotografi seharusnya adalah tindakan terjujur untuk mendokumentasi sesuatu. Maka apapun itu dalam fotografi, memang seperti itu adanya. Kegetiran, tragedi sejarah dan hal-hal pahit lainnya juga merupakan hal yang seharusnya tidak boleh dihindari untuk diabadikan.

Mungkin seperti itulah jalan pikir seorang James Nachtwey, seorang brahmana dalam genre fotografi perang. Foto-fotonya adalah kegetiran yang kelam, kesedihan yang berlipat-lipat, luka yang begitu dalam dan mungkin tidak tersembuhkan. Tapi mungkin itulah jalan yang ingin ditempuh seorang James, jalan untuk mendokumentasikan sejarah dengan jujur tanpa polesan.

Profesinya telah mengantarkan James ke berbagai tempat paling berbahaya di seluruh dunia. Tempat-tempat di mana nyali, nyawa dan alam barzah seolah komoditi jual beli. Desing peluru, anyir darah, teriak kesakitan sampai kepedihan direkam dengan begitu berani dan sangat jujur. Walaupun mau tak mau hasil karya James akan penuh kontroversi dan perdebatan.

Saya paham, James ingin menyampaikan pesan. Sejarah getir harus didokumentasikan agar tidak terulang di masa depan, saya yakin James mengabadikan sesuatu yang pahit untuk kehidupan yang lebih manis di masa mendatang. Foto-foto James adalah pengingat manusia agar tidak melupakan masa lalu, agar senantiasa reflektif melihat masa lalu. Bagi saya, foto James yang tanpa pulasan sangat menghentak, mengiris sanubari dan menggugah nurani.

James mungkin sudah mengunjungi hampir semua tempat-tempat yang rawan di dunia, termasuk di Indonesia. Rekam lensa James mengabadikan Indonesia saat terselimut tragedi, tahun prahara, 1998. Kala itu Indonesia penuh huru-hara, kekacauan di mana-mana, tahun di mana kekerasan menjadi tuan dan kelembutan adalah mimpi panjang. Setiap hari adalah mimpi buruk dan setiap hirup napas adalah bau terbakar.

Slide4

Fragmen kunjungan James ke Indonesia sangat spesial. Tahun itu James mengabadikan detik-detik pergantian kepemimpinan, kegetiran huru – hara 1998 sampai potret kemiskinan negeri ini. Dalam koleksi fotonya terdapat kesedihan, haru gembira, sekaligus kengerian.

Tragedi 1998 memang mengerikan, tapi walau begitu James tetap mewartakan, bagi saya keping-keping foto ini adalah pegangan agar bangsa ini tidak menjadi ahistoris, tidak kemudian melupakan kejadian buruk di masa lalu. Maka foto-foto yang dihasilkan oleh James pun menggambarkan betapa mengerikannya tahun itu.

Pada sebuah wawancara, James menyebutkan bahwa pengalaman di Indonesia tahun 1998 itu telah demikian menyentuh dirinya. Sebagai seorang wartawan perang, James mungkin sering terjebak antara dilema dan terkadang cukup mengguncang hatinya. Sebuah fragmen dilematis di Indonesia yang  diceritakan oleh James dengan begitu pilu.

“Jika ada suatu ketika aku bisa membuat perbedaan, maka aku memilih untuk tidak menjadi jurnalis dan lebih menyelamatkan orang.

Aku telah berkali-kali melakukan intervensi dalam berbagai kerusuhan, demi menyelamatkan nyawa orang-orang.

Seperti yang aku alami di Indonesia, ketika ingin menyelamatkan seorang pria.

Kala itu orang-orang dari sebuah Masjid merasa tersinggung karena di sebuah Gereja Kristen terdapat alat bingo, mereka anggap itu alat perjudian, hal ini bertentangan dengan ajaran  mereka.

Jadi orang-orang itu mulai menyerbu dan berusaha membunuh penjaga gereja.

Ketika aku berhenti untuk bertanya apa yang sedang terjadi, sekonyong-konyong datang penjaga gereja yang berlari karena dikejar massa. Aku berusaha mencegah agar orang-orang tidak membunuh si penjaga gereja.

Tiga kali mereka berhenti. Pertama, ketika seorang pria hendak memotong leher si penjaga. Di titik itu aku berlutut dan memohon agar jangan membunuhnya.

Akhirnya dia benar-benar tidak melakukannya, meletakkan pisaunya dan membiarkan si penjaga berdiri.

Tapi kemudian tiba-tiba massa berbalik ke arahku dan sangat marah.

Mereka berdiri di hadapanku, mendorongku, sementara mereka mendorongku, mereka membunuh si penjaga itu.

Waktu itu aku berpikir, mungkin mereka akan memukul atau menghabisiku juga.

Lantas aku kembali mengambil kamera dan memotret si penjaga, dan tampaknya massa merasa tidak terganggu, meraka tampak mengizinkan aku mengambil foto kejadian itu.

Tapi mereka tidak mengizinkanku menghentikan apa yang mereka lakukan”1)

Suasana dilematis itulah yang mungkin selalu menghantui James. Dokumentasi fragmen kejadian yang begitu cepat tersebut akhirnya menjadi sangat terkenal. Foto-foto kejadian itu di bulan Mei 1998 itu kemudian mendapatkan penghargaan dari World Press Photo. 2)

Slide3James memang hanya sebentar di Indonesia. Namun kumpulan foto-fotonya sangat menghentak dan menyentuh. Rekaman – rekaman foto James memberikan gambaran beragam emosi manusia kala itu. Ada ketakutan, ada kesedihan, ada kepasrahan, ada juga kegembiraan.

Salah satu yang cukup menggugah adalah foto di mana pekik reformasi dikumandangkan, penanda tumbangnya sebuah era kezaliman menuju era baru yang terang benderang. Foto James sederhana saja, dia memotret kumpulan mahasiswa yang bersorak atas beralihnya pucuk kekusaan. Tapi foto itu kemudian bercerita lebih, ada tangis haru kebebasan dari sebuah rezim, ada ledak bahagia atas kemenangan dari sebuah perjuangan, ada tawa lepas bahagia atas sebuah pembaruan.

Bagi James, sebuah kebenaran tak perlu dihiasi secara berlebihan, biarlah apa adanya. Ketakutan yang terekam adalah wujud emosi manusia dan itu sulit dijelaskan dengan kata. Tapi mungkin dengan foto James bisa menjelaskan ketakutan-ketakutan itu. Pada intinya James ingin berpesan dari fotonya untuk menyadarkan realitas yang sesungguhnya sedang terjadi.

Pada akhirnya kumpulan foto-foto James di Indonesia 1998 cukup menggambarkan gejolak Indonesia kala itu. Dokumentasi ini sangat berharga, fragmen foto James adalah karya sejarah bagi bangsa Indonesia. Setidaknya James mengingatkan kita agar tidak menjadi bangsa yang ahistoris, agar kita tidak mengulang tragedi getir 1998. Foto-foto James setidaknya menjadi hal pengingat untuk menolak lupa.

Tabik.

Slide1PS :

Kutipan :

1. Kutipan Wawancara James Nachtwey dengan Esquire.

2. Fragmen lengkap kejadian tersebut bisa diakses di situs World Press Photo, namun cerita di balik fotonya sedikit berbeda dengan penuturan James. (Disturbing Picture)

Sumber :

1. A picture of the people in Indonesia rejoicing at the resignation of Suharto, 1998.

2. James Nachtwey. A beggar washed his children in a polluted canal. Indonesia. 1998

3. Montreal Photocourse

4. SF Gate

5. A homeless couple in Jakarta, Indonesia, sleeps on the railroad tracks

6. Pieter Hemstra

7. Snowman John

8. Indonesia, 1998 – A homeless child slept off a drug high on the streets  of Jakarta.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

7 KOMENTAR

  1. Kata para fotografer senior jaman saya liputan news dulu, kehadiran James Natchwey di suatu lokasi sumber berita itu identik dengan chaos. Jadi semacam early warning, dimana ada Natchwey, di situ akan ada kekacauan, dan tentu ini sangat news worthy. Para pewarta foto (dan reporter TV macam saya) makin excited kalau terlihat batang hidung Natchwey di lokasi. Sependek karir saya sebagai jurnalis, hanya sekali ketemu Natchwey di lokasi liputan, tepatnya di lokasi pemulangan jenazah sekaligus pemakaman pelaku bom Bali di desa Tenggulun, Jawa Timur. Dan memang, chaos terjadi hari itu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here