BrYu51nCAAQRzDc
Foto oleh Titis Prastowo tadi pagi. Salah satu sahabat yang pertama mengucap Selamat Ulang Tahun

Selamat dua puluh tujuh untuk diri sendiri.

Saya mengucap ulang tahun untuk diri sendiri terakhir, biasanya ibu saya, adik dan kekasih yang pertama kali berucap, baru sahabat-sahabat saya yang mengucap. Barulah di malam-malam seperti ini, saya mengucap untuk diri sendiri sambil mencatat harap di umur baru.

Dua puluh tujuh tahun katanya umur keramat, sahabat saya Nuran, si jurnalis gonzo menulis soal umur dua puluh tujuh setidaknya dua kali. Kiranya 3 tahunan lalu Nuran menulis soal keramatnya dua puluh tujuh, pertama dalam catatan di facebook, Kehilangan Hal Yang Sepertinya Wajar. Nuran mengurai bahwa tokoh-tokoh besar mencapai karyanya di usia dua puluh tujuh.

Selang sebulan kemudian, Nuran menulis lagi soal dua puluh tujuh, kali ini dalam catatan di blog-nya bertajuk 24. Nuran menajamkan lagi soal dua puluh tujuh. Dalam catatannya Nuran mengutip dari Rizal Shidiq, seorang penulis juga “Kita yang bisa bertahan hidup melewati umur 27, hanya sekedar menunda kekalahan”.

Kenapa pula soal dua puluh tajuh saya harus repot-repot bercerita tentang Nuran? Karena dari tulisan si Foi – Fun tadilah saya mulai menemukan jalan dalam hidup. Saya kala itu hanya diam-diam setuju seusai membaca tulisan Nuran tentang dua puluh tujuh. Saya mulai sadar bahwa jika dalam usia dua puluh tujuh saya tidak menghasilkan apa-apa, maka saya adalah orang yang kalah, hanyalah robot yang menerima gaji setiap bulan.

Saya selalu mengagumi Nuran, walaupun Nuran selalu menjawabnya “taek”. Dari tulisan-tulisan Nuran saya belajar untuk kembali hidup, kembali bercermin tentang apa yang sudah saya lakukan dalam hidup dan menerka-nerka apa yang akan saya lakukan di masa depan. Saya tahu mungkin Nuran mungkin akan menganggap tulisan ini canda semata, tapi bagi saya, tulisan Nuran adalah inspirasi yang sangat berarti.

Dua puluh tujuh saya belum mencapai apa-apa, tapi setidaknya perlahan saya sudah menemukan jalan dan menemukan di sudut mana karya saya harus ditempatkan. Saya belum mencapai apa yang disebut oleh Nuran sebagai sebuah puncak di usia dua puluh tujuh. Masih jauh, di dua puluh tujuh saya masih mendaki jalan terjal mencapai puncak.

Di usia dua puluh tujuh saya justru kembali dari nol lagi. Belajar memulai apa-apa dari awal-awal lagi. Banyak orang yang menyayangkan karena di tempat sebelumnya saya sudah di posisi yang menyenangkan. Tapi saya justru khawatir, saya lena akan keberhasilan dan tak mau belajar lagi. Maka di dua puluh tujuh saya merombak hidup saya dari nol, kembali ke awal dan menantang Jakarta sekali lagi, seperti sembilan tahun silam.

Berkat Nuran beberapa tahun lalu saya mulai memetakan bagaimana jalan hidup saya. Di dua puluh tujuh ini setidaknya saya ada tiga jalan hidup sebagai alternatif masa depan. Apakah perlu saya ceritakan? Jika mimpi perlu dituliskan, maka mungkin memang harus saya ceritakan.

Opsi pertama adalah saya memulai lagi karir dari nol dan mencapai puncak lagi. Opsi kedua saya mengejar cita-cita studi ke luar negeri bersama keluarga saya kelak, yang ini adalah mimpi saya dari dulu. Sementara yang terakhir, saya akan kembali ke Magelang, berkeluarga di kampung, menemani ibunda dan bercocok tanam di sawah kepunyaan keluarga. Soal mana yang akan tercapai duluan, saya pasrahkan pada Tuhan.

Saya bersyukur, Tuhan begitu baik memberi umur sampai dua puluh tujuh. Dan perlahan-lahan menunjukkan jalan, saya harus bagaimana seperti apa. Toh bagaimanapun hidup ini hanya terdiri dari dua hal, pertaruhan dan pilihan. Kehendakmu-lah yang kelak menentukan masa depanmu. Apa yang terjadi di masa depan adalah apa yang kamu kerjakan hari ini.

Penulis seperti seperti Nuran yang menulis hampir setiap hari mungkin akan lupa tulisannya tempo hari. Tapi saya pembacanya, tidak akan melupakannya. Diam-diam tulisan Nuran adalah lidah api yang menyala-nyala, membakar api semangat dan mendorong saya untuk terus belajar.

Tapi walau sudah ditombak dengan kata-kata dari Nuran, di dua puluh tujuh saya masih belum jadi apa-apa, hanya satu dari tiga puluh dua ribu. Hanya satu penulis tak ambisius diantara banyak penulis-penulis yang terus menggelontorkan karya. Hanya seorang manusia naif yang baru memulai hidup di Jakarta untuk kedua kali. Dibandingkan dengan teman-teman sebaya yang sudah mulai menorehkan tinta emas, saya bukanlah apa-apa. Saya hanya pengagum mereka.

Saya sendiri malah di dua puluh tujuh baru belajar menghafal script yang harus saya ucapkan di depan gagang telepon. Harus sama persis kata-katanya, tidak boleh berubah. Padahal dari Nuran juga saya tahu istilah Club of 27, di mana pesohor-pesohor dunia mencapai puncak di usia 27, walau ironisnya mereka meninggalkan dunia pada umur puncaknya.

Di dua puluh tujuh selain tiga jalan hidup yang saya petakan tadi, harap saya hanya tidak menjadi orang yang menyedihkan. Orang yang hanya setiap pagi berangkat mengukur jalan dan pulang berjam-jam terpekur dalam tidur panjang. Orang yang maunya diperintah dan diam karena secara berkala digelontor gaji berkala.

Di dua puluh tujuh saya dalam dekap harap mencoba meraba, mencoba berusaha sebisanya, berikutnya biarlah semesta yang mengurus, biarlah kemudian semesta menentukan saya seperti apa. Bukankah hidup katanya harus seperti air, mengalir atau sebaliknya hidup itu seperti ikan salmon yang maunya selalu melawan arus.

Dua puluh tujuh saya mungkin sama saja seperti dua puluh lima, dua puluh enam yang silam lewat. Pagi tadi dipenuhi ucapan selamat dari rekan sejawat lantas malam dirayakan dengan syukuran kecil-kecilan. Sama, seragam dan tak ada yang berbeda.

Tidak ada istimewa di Dua Puluh Tujuh, saya belum menjadi apa-apa, saya belum mencapai dan memberi warna apa-apa, hanya setitik debu dari dunia yang begitu besar. Tapi berkat Nuran beberapa tahun silam, saya tahu dua puluh tujuh saya tak akan menjadi membosankan dan menyedihkan, terima kasih.

Setidaknya di dua puluh tujuh, saya bisa berbuat sesuatu yang berarti, walau tidak besar.ย  Walau kecil tapi mungkin sedikit berarti untuk orang lain. Karena ada sesuatu yang ingin saya capai untuk orang lain, saya berusaha keras berbuat kebaikan sekecil apapun. Di dua puluh tujuh saya benar-benar baru mengerti, bahwa jika kita mengerjakan sesuatu untuk orang lain, maka orang lain pun akan memberikan sesuatu yang tak terduga untuk saya sendiri. Ini mungkin yang namanya karma baik? Entahlah.

Pada akhirnya di dua puluh tujuh saya merayakan dari jalanan macet dan berakhir di hujan deras yang mengguyur Bintaro.

Saya masih manusia yang tak tahu apa-apa dan butuh belajar banyak untuk mengerti arti hidup itu seperti apa. Tak ada pencapaian yang saya rayakan, tak ada juga etape hidup yang saya sesalkan. Hanya berusaha menikmati hidup dengan penuh syukur.

Dalam dua puluh tujuh semoga jalan untuk saya masih panjang, sehingga bisa terus berjalan sampai tujuan. Di dua puluh tujuh ada tangan sahabat-sahabat yang terus menjadi dorongan untuk tidak pernah lelah, tidak pernah mau berhenti untuk menatap ke depan.

Selamat ulang tahun untuk diri sendiri, selamat dua puluh tujuh. Dalam lirih saya selalu berharap, semoga saya tidak lantas menyerah untuk terus menjadi diri sendiri.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

14 KOMENTAR

  1. Aku kepala tiga dan sangat menikmati. Tak banyak perubahan di usia ini, kecuali badan yang menggendut ๐Ÿ™‚ Selamat menantikannya 3 tahun lagi, agar tahu bagaimana nikmatnya… dan selamat 27!

  2. Selamat Ulang Tahun Farchan! Selamat datang kembali di Jakarta. Apapun jalannya nanti, semoga terus bisa tertawa besar2 seperti di foto dengan deretan toples kerupuk sebagai latar belakang di atas.

  3. Buat saya, angka 27 itu batas awal seorang lelaki melewati tahapan memasuki masa โ€œterancam menikahโ€ ๐Ÿ™‚ Kedewasaan seorang lelaki sudah disyahkan di usia ini. Ayo ditunggu segera undangannya ๐Ÿ™‚

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here