Screenshot from 2014-08-03 21:06:42

Ada terlalu banyak teorema tentang Pulang dalam sebuah perjalanan. Sebagian menganggap Pulang adalah sebenar-benarnya titik akhir perjalanan, ada lain yang berkata bahwa Pulang adalah titik henti sejenak sebelum kemudian kembali melangkah. Entahlah, kata Pulang memang terlalu agung untuk diterjemahkan dalam satu, dua atau tiga penjelasan, melampaui itu Pulang adalah segala hal yang selalu dirindukan.

Pulang adalah saat di mana saya kembali ke remah-remah masa kecil, remah di mana segala kenangan – kenangan bertumpuk dan terkumpul untuk diputar kembali saat dewasa. Satu lain lagi mungkin pulang adalah menuju tempat mengadu saat lelah, saat penat, saat terpuruk. Sebagian fragmen pulang menyediakan segala hal untuk bangkit kembali yang berujud dalam nasehat-nasehat bijak ibunda, senyum tulus nenek atau tawa ceria-ceria adik-adik yang lepas dari segala problematika dunia.

Maka dari mosaik-mosaik yang bercerita, sebuah kepulangan adalah sesuatu yang agung. Kepulangan adalah perjalanan menuju tempat yang tak akan pernah terlepas dari diri, tak pernah dilupakan oleh hati. Kepulangan ini agung dan selalu memberikan nuansa yang berbeda, di seluruh dunia. Di Bangladesh sana ratusan ribu orang akan memenuhi stasiun dan menumpangi kereta sampai ke atap-atapnya, sampai ke bordes lokomotif, menantang maut, menertawakan marabahaya. Di Negeri Tirai Bambu, sebagian dari yang penduduknya milyaran akan pulang ke kampung halaman yang jauh, berdesak-desakan di stasiun, berjuang mencari ruang di gerbong panjang dan menempuh jarak yang tak terperi, jarak separuh negeri tak ragu ditempuh. Kisah-kisah manusia-manusia dari negara-negara itu hanya semata kisah untuk Pulang.

Sementara di sini kita lihat pulang adalah bagian dari sebuah ritus tahunan. Pulang bararti weker hari raya sudah tiba. Dalam sebuah alur, Pulang mencitrakan alur manusia bergerak dari satu titik besar yang terpecah menjadi titik-titik kecil dan lantas menyebar ke segala arah, dengan apapun yang bisa membawanya. Demi alur titik besar titik kecil itu, setahun sekali bandar-bandar udara penuh sesak, stasiun-stasiun menjadi lautan manusia, terminal menjadi tempat pertemuan akbar, pelabuhan ramai, manusia adalah gelombang lain di pelabuhan.

Lain hal, pada bagian lainnya, jalanan banjir roda, kapal-kapal besar tercerai berai menuju pulau-pulau kecil, lepas dari pelabuhan-pelabuhan besar, kereta api hilir mudik bolak-balik mengangkut penumpang. Semua, segala yang bisa mengangkut manusia akan bergerak atau mungkin jika kehabisan akal mungkin manusia bahkan akan rela merangkak sejauh mungkin demi sebuah kepulangan.

Kekuatan apa yang mampu membuat orang-orang tahan berpuluh jam di jalanan, mampu membeli tiket yang naik berkali lipat begitu tinggi, ikhlas meniti jalan ratusan kilometer demi sebuah kepulangan. Hal-hal ini tidak mampu dijelaskan secara logis, hal-hal seperti ini adanya di luar nalar, letaknya di hati, di sanalah seorang manusia akan mampu menemukan alasan di balik sebuah kepulangan.

Manusia selalu didorong oleh sesuatu yang tidak terlihat, itu kodrati. Termasuk kepulangan, apakah pulang hanya demi sifat fisik semata? Demi menuju sebuah tempat atau demi bertemu seseorang? Tidak. Pulang mengajarkan bahwa manusia berjuang untuk sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu itu yang bernama kenangan. Demi apa mereka Pulang? Demi sedikit kenangan yang tak pernah hilang. Manusia adalah pengumpul kenangan paling bijak, oleh manusia kenangan seburuk apapun akan didamaikan, kemudian dijadikan pelajaran untuk masa depan kelak. Maka untuk itulah sebagian dari mereka pulang, kembali menjahit ulang kenangan-kenangan, sebagian menertawakan yang lalu  bersama orang-orang yang ada di kenangan. Sebagian yang lain bersimpuh tunduk dengan sosok-sosok yang mengisi kenangan masing-masing.

Ada cinta dalam sebuah kenangan, cinta ini yang lalu memberikan kekuatan tak terbendung untuk seorang manusia. Setegar apapun lirih dalam hatinya manusia akan memanggil-manggil untuk pulang, sekeras batu apapun hati manusia butuh pulang barang sebentar. Maka ketika hati yang terpanggil untuk pulang sudah sampai tujuan, tumpah ruahlah ia, tangis yang menetes satu demi satu adalah rasa cinta dan dorongan kekuatan manusia itu sendiri.

Kepulangan yang agung adalah sesuatu yang indah, yang sekali waktu akan dilakukan. Sebuah kepulangan bisa saja dimaknai sederhana, tetapi manusia tidak mau menyederhanakan kepulangan. Kepulangan menjadi rumit dengan kenangan, cinta dan segala macam yang ingin ditemui di tempat pulang. Maka hati masing-masing punya pemaknaan masing-masing dan itulah yang menjadikan kepulangan adalah sesuatu yang agung, pulang adalah keagungan itu sendiri.

Tabik.

PS : Foto oleh Geoffrey Arduini.  Metafile-nya disini. Diambil dari situs penyedia stock foto gratisan, Unsplash.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

33 KOMENTAR

  1. tahun ini merasakan mudik yg cukup epic… semakin jauh dari rumah dan tidak sesering tahun kmrn (bisa pulang sebulan sekali). euporia mudik begitu terasa jelang h-1, gini tho rasanya mudik beneran…

  2. Saya selalu salut dengan ketabahan saudara-saudara setanah air yang pulang (dalam artian mudik), siap menghadapi belasan bahkan puluhan jam perjalanan demi bertemu dengan keluarga. Saya sendiri tak pernah kemana-mana. jalan pulang yang saya lalui tak sesulit para mudikers itu 🙂

  3. […] #Mudik #Pulang #Kangen. Silahkan kunjungi karya lainnya di: Farchan Noor Rachman – Kepulangan Yang Agung Danan Wahyu Sumirat – Mudik, Rindu Rumah Olyvia Bendon – Merangkai Serpihan Kenangan di […]

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here