photo_1600
Muslim di Bangalore, India

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(Al Maidah : 8)

Terkadang secara acak saya membaca ayat-ayat Al-Quran dan tarjamahnya, kemudian membaca penjelasannya. Dan ketika saya terantuk pada ayat ini hanya beberapa menit yang lalu, mendadak pula saya seperti terdorong untuk membuat sebuah tulisan tentang ayat ini.

Bagi saya ayat ini sesungguhnya reflektif dan menjadi sebuah teguran abadi bagi mereka yang bersikap tidak adil. Sesungguhnya kalam Allah ini sangat relevan sekarang, bagaimana Allah sudah mengingatkan agar bersikap adil sejak Al-Quran diturunkan sebagai wahyu dan seharusnya itulah yang dijadikan pegangan.

Tapi apakah ayat Al-Quran sudah menjadi pegangan yang sebenar-benarnya? Apakah sesungguhnya kita sebagai manusia sudah bersikap adil?

Entah kenapa setelah saya membaca ayat tersebut, memahami maknanya saya merasa malu, saya merasa masih jauh dari kata “adil” yang digariskan oleh Allah. Bagaimana saya pribadi masih tersandera rasa benci dan curiga sehingga terkadang saya enggan bersikap “adil”. Dan sebagai muslim saya semakin merasa risau, betapa sekarang justru sebagian umat muslim sangat jauh dari kata “adil”.

Kata orang saya harus berbaik sangka, akan tetapi justru lantas fenomena-fenomena yang terjadi justru membuat hati ini lirih berbisik, miris. Apa seperti ini muslim yang sesungguhnya bersikap, bertindak dan bermuamalah?

Mari bercermin. Mari sekali lagi kita berkaca sebagai muslim.

photo_1600(1)
Muslim di Paris, seusai shalat Jumat.

Logika mayoritas memang racun yang mematikan. Logika mayoritas ini pula yang membuat sikap adil lambat laun menjadi luntur perlahan-lahan, seperti baju berwarna yang terkena pemutih, luntur setahap demi setahap.

Padahal logika mayoritas dalam Islam sudah dituntunkan Rasulullah SAW salah satunya dengan Piagam Madinah. Bagaimana seorang Rasulullah SAW menjamin kehidupan masyarakat di bawah kekuasaan Islam, dimana umat Islam yang saat itu dibedakan menjadi 2 golongan kemudian disatukan. Selanjutnya Rasulullah SAW juga menjamin hak-hak umat Yahudi yang berada di Madinah tetap terlaksana. Piagam Madinah sendiri tak lepas dari unsur keadilan yang ada dalam Islam, seperti yang sudah ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.”

(Al – Mumtahanah : 8)

1280px-Img06285-XiAnMoslemRestaurantM+R
Restoran Muslim di Xian, Tiongkok.

Memang mayoritas identik dengan memimpin, tapi tak lantas seharusnya kepemimpinan itu berarti bertindak semaunya karena punya kuasa. Rasulullah SAW dalam sebuah fragmen hidupnya bahkan menyuapi seorang pengemis Yahudi yang setiap hari memaki Beliau, apakah Rasulullah SAW lantas membenci pengemis tersebut? Tidak, Beliau terus menyuapi pengemis Yahudi tersebut setiap pagi sampai akhir hayatnya. Sampai akhirnya si pengemis Yahudi diberi tahu bahwa yang menyuapinya setiap pagi adalah Rasulullah SAW yang setiap hari pula ia caci maki dan masuklah si pengemis Yahudi dalam Islam.

Mungkin secara sederhana pula, Rasulullah SAW mengajarkan bagaimana sesungguhnya adil itu seperti apa, adil yang dimaksudkan seperti ayat yang saya kutipkan di atas. Dari kisah tadi setidaknya kita bisa melihat dan berpikir dari suri tauladan yang sudah Rasulullah SAW berikan.

Fragmen cerita di atas menggambarkan bagaimana sebagai pemimpin Rasulullah SAW bersikap adil tidak hanya terhadap umatnya saja dan bagaimana sebagai seorang pemimpin Rasulullah SAW  memperhatikan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali, tidak sebatas hanya golongannya saja. Bukankah Rasulullah SAW adalah sebaik-baiknya contoh pemimpin?

Tapi sekarang kita lihat saja sekarang bagaimana sebagian umat muslim makin mudah menyalahkan suatu kaum atas kegagalan umat muslim sendiri. Sayangnya sebagian umat muslim tadi justru terlalu angkuh untuk mengakui kelemahan sendiri lantas memperbaiki diri. Sebagian umat muslim itu sekarang justru terlalu mudah melakukan pembenaran alih-alih memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas iman atau memperbaiki hubungan sesama muslim.

Bagaimana hendak maju jika hanya mampunya melempar kesalahan pada kaum lain tanpa mau memperbaiki diri? Jangankan memperbaiki diri, logika mayoritas telah membutakan mata dan membuat pembenaran-pembenaran atas segala tindakan, mayoritas adalah segalanya. Bahwasanya selama menjadi mayoritas, semuanya benar. Hal inilah yang justru membuat sebagian umat Islam bertindak makin seenaknya terhadap yang berbeda.

photo_1600(2)
Muslim di Rusia, selepas shalat ied.

Sekarang ini mudah saja melihat sebagian dari umat muslim mengkafirkan orang lain, mudah saja mencap orang lain kafir. Tapi tunggu dulu apa umat muslim yang mengkafirkan orang lain itu sudah mencoba mencegah mereka dari kekafiran? Apa mereka sudah berusaha berdakwah untuk mengajak yang dicap kafir itu ke jalan yang lurus? Atau mereka bisanya hanya men-cap kafir?

Sementara untuk mengkafirkan orang lain saja tidak sembarangan, ada kriteria-kriteria tertentu agar dicap kafir. Atau memang sekarang kriteria menjadi kafir menjadi semakin longgar, jadi siapapun bisa mencap orang lain kafir?

Dakwah pun banyak dilakukan dengan pilih-pilih. Ada kesan eksklusif beberapa golongan untuk berdakwah, mereka hanya berdakwah di golongan mereka sendiri dan menganggap yang bukan golongannya imannya selevel lebih rendah, padahal yang menilai iman hanyalah Allah Ta’ala. Lebih parahnya ada ayat yang diperjualbelikan untuk golongannya sendiri.

Kadangkala ada standar ganda, tak mau ditindas tapi kita mudah permisif melihat umat muslim sendirinya menindas yang lain, merasa mayoritas? Maka apa inilah yang disebut mayoritas?

Tidak demikian, di masa perang Rasulullah SAW mengajarkan agar melindungi umat yang lain yang tidak bersalah, yang tidak turut berperang, anak-anak, wanita, orang tua, menjamin hidupnya di bawah kekuasaan Islam. Satu hal kemudian yang termasuk keputusan paling penting adalah tentara muslim dilarang merusak tempat ibadah umat lain. Dalam kekuasaan Islam, Rasulullah SAW tetap menjamin hak-hak untuk menunaikan agama siapapun itu.

1280px-Afghan_men_praying_in_Kunar-2009
Etnis Pashtun menunaikan shalat di Kunar, Afghanistan

Apakah adil berarti menjamin orang lain yang tidak segolongan untuk tetap menjalankan hak-haknya? Bisa jadi demikian.

Tapi kita bisa mudah saja melihat perusakan tempat ibadah, tekanan terhadap umat lain untuk tidak melakukan hak-haknya yang paling dasar. Sementara kita di masa damai, bukan masa perang. Di masa perang saja Rasulullah SAW menegaskan aturan untuk melindungi yang berbeda, mencontohkan untuk generasi berikutnya. Tapi sekarang sebagai umat-Nya justru kita ingkar.  Apa kita sebagai muslim tidak sebaikny berkaca sekali lagi?

Silakan bilang saya liberal atau apalah. Hanya saja saya melihat jika berpegang bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin, maka seharusnya semua akan terasa damai dalam nilai-nilai keislaman, jika Rahmatan Lil Alamin maka semua akan merasakan kedamaian dan keadilan dalam lindungan Islam. Saya berpegang bahwa seharusnya jika memang meyakini bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin maka tindakan-tindakan yang dilakukan pun seharusnya mencerminkan bagaimana Islam itu seperti apa.

Logika mayoritas membuat kita lupa melihat lebih luas karena terbiasa dididik untuk tunduk pada satu sudut pandang secara mutlak dari satu sisi tanpa mau menengok ke sudut pandang yang lain.

Saya masih belum lupa kisah-kisah bagaimana di Mesir dulu umat Muslim bergandeng tangan melindungi sebuah gereja dari serbuan dan kehancuran. Ada kisah juga seorang Nahdhiyin di negeri sendiri yang menjadi martir, insya allah syuhada ketika melindungi sebuah gereja dari ledakan bom.

Di negeri ini saya mengalami sendiri bagaimana umat Kristen berjaga-jaga di jalanan untuk menjamin umat muslim menjalankan ibadah hari raya-nya dengan tenang. Lantas ketika natal, giliran pemuda muslim yang menjaga gereja-gereja mereka, menjamin mereka melakukan ritus peribadatan dalam damai.

Bagaimana baru beberapa waktu lalu di Gaza sebuah gereja membuka pintu lebar-lebar untuk umat muslim dalam perlindungan. Ada kisah di negeri sendiri, di mana pada 2010 lalu saat erupsi Merapi, saya bertugas di posko pengungsian Merapi di Pastoran Muntilan, lokasinya ada di dalam kompleks Pastoran. Sementara di seberangnya ada posko pengungsian milik Muhammadiyah, bertempat di Panti Asuhan Muhammadiyah. Bolak- balik mondar-mandir antara dua posko itu saya melihat bagaimana mereka tanpa membedakan asal usul pengungsi melayani siapapun pengungsi yang datang, melindungi siapapun yang mencari tempat pengungsian.

1280px-Barbier_in_Kaxgar
Muslim Uyghur di Kashgar, Tiongkok.

Kebutaan untuk belajar membuat seorang muslim sekarang berjalan seperti kuda dipakaikan kacamata, ikut saja siapa tuannya. Mudah saja termakan fitnah atau turut menebar fitnah tanpa disadari.

Sebagian dari umat muslim sekarang mudah memakai nama Islam sebagai legitimasi, seolah menjadi wakil Islam, wakil Allah. Padahal wakil Islam yang mana? Umat yang mana? Satu-dua-tiga ayat dijadikan pembenaran, nilai-nilai Islam dijual bebas demi kepentingan segelintir orang. Ini ironis karena sesungguhnya Islam terlalu agung jika hanya dijadikan pembenaran satu-dua hal.

Lantas apa jika dengan nama Islam semua tindakan dibenarkan? Jika lewat logika mayoritas tentu saja iya. Padahal jika berpikir lebih jernih tidak semua yang atas nama Islam dibenarkan. Apakah kebrutalan atas nama Islam juga dibenarkan? Apa legitimasi kekerasan atau menghilangkan hak orang lain atas nama Islam lantas menjadi kebenaran? Tidak, justru ini ironis. Islam adalah agama yang tegas untuk melindungi hak dan nyawa orang lain, bahkan nyawa semua makhluk tak hanya nyawa manusia semata.

Dari berbagai kejadian yang saya baca atau saya alami sendiri, saya belajar bahwa Adil juga berarti membiarkan nilai-nilai kemanusiaan berjalan dalam kerangka keislaman seseorang.

Hanya sekarang kita semakin saja mudah berprasangka. Logika mayoritas lebih mudah membuat seseorang menjadi penindas. Padahal pemimpin itu bisa jadi dua hal, pelindung atau penindas? Seharusnya kita akan merasa lebih damai jika dipimpin oleh seorang pelindung bukan pemimpin yang mengumbar amarah sebagai penindas.

Ini bukan dalam artian kita lemah terhadap umat lain, justru perlindungan terhadap mereka yang berbeda akan menujukkan keagungan Islam, kebesaran sikap seorang muslim. Bukan legitimasi yang beredar sekarang, legitimasi atas pembantaian dan kekerasan. Sikap damai dan rahmatan lil alamin-lah yang akan membuat nama Islam kembali gilang-gemilang. Toleransi juga dalam artian kita bersikap adil, menjamin hak-hak orang lain, toleransi yang berpegang dalam Islam dalam batas-batas nilai Islam.

Sekarang sayangnya toleransi di-peyorasi-kan, seolah semua yang bertoleransi itu meninggalkan Islam. Sementara di sisi lain Islam adalah agama yang sungguh-sungguh toleran, bagaimana justru sikap toleransi begitu ditinggakan, dituliskan di kalam suci Al-Quran. Sampai pada tataran perbuatan kita bisa melihat bagaimana nilai-nilai toleransi diatur dengan jelas.

Tidak semua yang toleran itu meninggalkan Islam, bisa jadi yang toleran justru sedang mengamalkan Islam. Tapi karena enggan bertanya, atau terlalu angkuh bertanya kita tak mau bertanya toleransi macam apa? Jika toleransinya adalah sesuai dengan kaidah keislaman, apakah turut dicap dengan toleransi yang kebablasan dan meninggalkan Islam? Seharusnya tidak. Toleransi memiliki kadarnya masing-masing.

Malay_Muslims_in_Songkhla
Kehidupan Muslim di Songkhla, Thailand.

Jika Islam adalah agama yang damai, mengapa justru umat muslim sekarang jauh dari nilai-nilai kedamaian? Mengapa justru amarah dan sinisme golongan yang dikedepankan? Jika Allah SWT adalah Sang Maha Adil mengapa begitu mudah seseorang menjadi hakim bagi nasib orang lain?

Logika mayoritas justru mengubah kita menjadi seperti penjajah, yang ironisnya dulu kita tentang dan perangi bersama. Logika mayoritas mengubah yang merasa berkuasa seolah menjadi penjajah baru. Maka hentikan segala kebodohan, jadilah umat Islam yang mampu melihat jauh ke depan dan melihat seluas-luasnya lalu belajar lagi tentang bagaimana bersikap menjadi mayoritas dalam Islam.

Padahal logika mayoritas juga mencakup bagaimana bersikap adil, bagaimana nilai-nilai kemanusiaan harus disertakan. Semakin kuat, semakin besar justru tanggung jawab sebagai pelindung dan kewajiban untuk memberi perlindungan itu semakin besar.

Soal keadilan, Allah sudah menuliskan dalam lanjutan ayat yang di awal saya kutipkan. Dalam ayat lanjutan tersebut tertulis janji keadilan dari Allah SWT kepada semua manusia. Sementara  ayat yang saya kutip di atas tadi sudah keras menohok untuk mengedepankan sikap adil. Maka sebagai penutup tulisan ini, saya hanya ingin agar selalu mengedepankan untuk bersikap adil yang manusiawi sebagai manusia, menjadi muslim yang adil dan biarkan penghakiman yang sejati itu menjadi milik Allah karena janji Allah sudah sangat jelas dan pasti. ‘

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.” (Al-Maidah 9-10)

Tabik

Post Scriptum :

  • Saya bukan seorang ustadz atau ulama ketika menuliskan ini, kapasitas saya masih – masih sangat jauh dari ustadz, apalagi ulama. Hanya saya ingat dengan pesan seorang guru ngaji saya, bahwasanya berdakwah seharusnya dilakukan oleh umat muslim siapapun itu, seperti sabda Rasulullah SAW. “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”.
  • Jika ada yang salah atau keliru dalam tulisan ini, silakan dikoreksi langsung baik melalui email atau kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.

Referensi :

Al – Manhaj – Piagam Madinah

Foto :

1. Muslim di Bangalore, India. Stok foto dari Salamstock, karya Abubaker.

2. Muslim di Paris, seusai shalat Jumat. Stok foto dari Salamstock, karya Sharkmz

3. Restoran Muslim di Xian. Stok Foto dari Wikipedia Commons.

4. Muslim di Rusia, selepas shalat ied. Stok foto dari Salamstock, karya Sharkmz

5. Etnis Pashtun menunaikan shalat di Kunar, Afghanistan. Stok Foto dari Wikipedia Commons.

6. Muslim Uyghur di Kashgar, Tiongkok. Stok Foto dari Wikipedia Commons.

7. Kehidupan Muslim di Songkhla, Thailand. Stik foto dari Wikipedia Commons.

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

15 KOMENTAR

  1. Tulisannya asik, enak dibaca dan ga terkesan menggurui… 🙂

    Saya kurang lebih setuju dengan banyak pernyataan di tulisan ini.
    Mungkin sebenarnya mudah saja, bukan bagaimana harus bersikap adil atau tidak adil…-karena kalau terus memikirkannya, setiap kita adil pada orang lain, mungkin orang yang lain tersebut malah berpikir sebaliknya-….
    melainkan ingatkan diri apakah sudah berbuat kebaikan atau belum. Karena menurut saya, setiap tindakan kita pasti ada sebab dan akibatnya,baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

  2. karena agama adalah sebuah peta yang didalamnya terdapat begitu banyak petunjuk untuk mencapai tujuan. jika seseorang sudah memiliki peta tapi masih tersesat, maka tidak logis menyalahkan petanya. sebaliknya justru orang tersebut yang malas atau salah membaca peta, atau malah memang tidak percaya dengan peta tsb.
    Saya dapatkan logika ini dari seorang teman muallaf yang kini selalu saya gunakan untuk menjawab orang2 yang menyalahkan agama atas tindakan buruk seseorang / suatu kaum.
    Btw, tulisane apik dab. ijin share..

  3. Ahh, ini yang selalu ingin saya teriakkan dari dulu, tapi gak pernah terwujud. Thank you untuk nulis ini, karena apa yang saya rasakan ketika mengamati umat Muslim sekarang sama seperti yang kamu alami, Farchan.

    Saya ingat betul betapa beberapa teman saya meneriakkan dukungan bagi wanita muslim di Eropa untuk tetap dapat mengenakan jilbab di tengah usulan pembatasan dari banyak pihak. Teman-teman saya tersebut berkilah seharusnya pemerintah negara-negara di Eropa tersebut menjunjung tinggi HAM dan hak tiap orang untuk menjalankan kebebasan agama.

    Tapi ketika hak-hak kaum minoritas di negeri sendiri terusik, tak satupun dari mereka yang memperjuangkannya, bahkan satu patah katapun tidak terucap. Ironis.

    Kebetulan kemarin saya membaca surah Al-Isra’ ayat 53. Di situ saya jadi teringat betapa mudahnya beberapa teman saya men-share berita yang tidak jelas kebenarannya yang isinya lebih dekat kepada fitnah. Padahal di ayat itu jelas disebutkan bahwa bahkan kepada orang-orang yang menentang kebenaran pun kita harus berkata baik.

    Sungguh, Islam telah dikorupsi oleh segelintir orang yang ingin mencapai tujuannya. Sayangnya, tidak sedikit orang yang begitu mudahnya termakan isu, hanya karena sentimen yang digunakan adalah sentimen agama.

    Saya sangat mengapresiasi tulisanmu ini. Farchan.

    • salam bama..
      terima kasih komentarnya. 🙂
      betul sekali seperti komentar bama, bahwasanya umat Islam sekarang banyak melupakan hal-hal yang seharusnya dibela benar, tapi ribut ketika suatu hal yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan mudah.
      umat Islam sekarang memang masih harus banyak belajar banyak..

  4. Saya ingin mengomentari tentang kisah di atas yang berbunyi berikut: “Rasulullah SAW dalam sebuah fragmen hidupnya bahkan menyuapi seorang pengemis Yahudi yang setiap hari memaki Beliau, apakah Rasulullah SAW lantas membenci pengemis tersebut? Tidak, Beliau terus menyuapi pengemis Yahudi tersebut setiap pagi sampai akhir hayatnya. Sampai akhirnya si pengemis Yahudi diberi tahu bahwa yang menyuapinya setiap pagi adalah Rasulullah SAW yang setiap hari pula ia caci maki dan masuklah si pengemis Yahudi dalam Islam.”

    Kisah ini bukanlah kisah yang shahih (autentik) ditinjau dari sumber cerita. Tidak ada satupun kitab hadits yang memuat ini, tidak juga bukubukun yang lain, kecuali dari sebaran di berbagai blog dan forum internet belakangan ini. Dalam bahasa sekarang, khabar itu adalah hoax. Ini sejauh yang saya ketahui, jika mempunyai referensi yang otoritatif, bolehlah berkongsi dengan saya.

  5. Pastoran dan panti asuhan Muhammadiyah di muntilan? Tetangga SMU saya dulu dong.. Hahahah..

    #numpang lewat bib, nice post..

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here