Garut samar sekali dengan kopi, nyaris tiada dengung. Sejak era Walanda, Garut lebih dikenal dengan hijaunya perkebunan teh di bukit-bukitnya yang aduhai. Kembali ke pertanyaan semula, ada tidak kopi Garut? Saya justru mendapatkan informasi Kopi Garut ini dari pramubakti di tempat saya berkantor sebelumnya. Dia memberitahu bahwa ada Kopi Ek Bouw kopi garut katanya.
Belakangan ini ketiadaan kopi asli Garut memang membuat beberapa perusahaan kopi lokal mengklaim produksinya sebagai Kopi Garut dan secara terbatas menitipkan jualannya di restoran-restoran dan toko-toko oleh-oleh yang banyak tersebar di Garut. Namun hanya Kopi Ek Bouw-lah yang oleh orang-orang Garut dianggap sebagai kopi asli Garut. Kopi ini adalah jawara lokal dan sudah turun temurun menjadi langganan orang-orang Garut.
Saya lantas menuju ke Pengkolan, pertigaan paling ramai di Garut. Pertigaan ini di masa Walanda adalah persimpangan paling ramai, tempat orang-orang yang hendak dan dari Bandung dan Tasikmalaya bertemu di Garut. Dan di Pengkolan ini pula berkembang simpul ekonomi yang pertama ada di Garut, toko-toko besar tempat menak Garut dan petinggi-petinggi Kolonial berbelanja.
Salah satu toko yang masih bertahan sejak era kolonial hingga sekarang adalah Toko Ek Bouw Jaya, toko ini konon katanya adalah awal mula Kopi Ek Bouw. Saya bertemu kakek-kakek gagah pemilik toko, sosoknya tinggi, rambutnya tipis putih, matanya awas pada pembeli dan senyumnya yang lebar tak pernah berhenti.
“Saya cari kopi Om, katanya di sini jual kopi bubuk?”
“Mari-mari dik, ini kopi-kopi yang ada di sini…Mau yang mana Dik?”” Katanya sambil menunjukkan beberapa tong besar bubuk kopi.
“Duh saya bingung Om, ini jenis kopinya yang seperti apa ya?” Tanya saya.
Saya diajaknya mengambil beberapa catatan dari mejanya dan menuju depan tong-tong besar wadah kopi.
Sanjaya, begitulah kakek gagah tersebut memperkenalkan diri. Dia adalah generasi ketiga toko ini. Generasi pertama yang merintis Ek Bouw adalah kakeknya, yang dahulu pertama kali datang ke Garut dari tanah Tiongkok di akhir awal abad ke 20.
Kakek dari Sanjaya awalnya tidak menjual kopi. Layaknya perantau Tiongkok yang datang ke Tanah Air, generasi pertama keluarga Sanjaya di Garut berjuang menyambung hidup dengan berdagang. Awalnya berdagang apa saja, lantas kemudian mulai menjual kopi yang rupanya disukai oleh orang-orang Garut. Lantas usaha ini diteruskan oleh generasi kedua dan terakhir diwariskan pada Sanjaya.
Tapi memang toko yang dikelola ini tidak mengkhususkan diri menjual kopi. Tokonya adalah toko kelontong yang menjual bahan kebutuhan sehari-hari, salah satu yang terbesar di Garut. Gempuran mini market atau toko grosir tetap membuat toko-nya bertahan dan tetap laris manis oleh pembeli. Kopi Ek Bouw di tokonya hanya menempati satu sudut kecil berupa tong-tong kopi, timbangan dari jaman kolonial yang masih berfungsi dengan baik dan jejeran plastik bungkus kopi.
“Mau yang mana? Ini ada banyak kopinya dek” Tanya Sanjaya.
Tentu saja di sini ada jenis Arabika atau Robusta. Masalahnta tong-tong kopi itu dinamai lain, seperti Spesial, Istimewa, Klasik, Ekonomi, bukan gamblang menyebutkan jenis kopinya, Arabika atau Robusta. Harganya berbeda, tergantung kualitasnya, paling murah Ekonomi seharga enam ribu rupiah per ons.
Melihat saya yang celingak-celinguk, sepertinya Sanjaya mengerti kebingungan saya.
“Kalau yang di tong tulisannya Istimewa ini jenis Arabika, itu Robusta..kalau kaleng yang lainnya itu campuran antara Arabika dan Robusta, takarannya berbeda-beda..Mau pesan yang mana?”
“Oh, ngerti saya kalau gitu minta Arabika dan Robusta saja..masing-masing 5 ons…”
Kopi ditakar, dimasukkan ke dalam plastik bening bercap Ek Bouw kemudian diberi sentuhan terakhir, label jenis kopi yang ditempelkan di plastik. Pengemasannya memang demikian, sederhana saja. Untuk menutupnya ujung plastik dipanaskan dengan mesin pemanas hingga plastik tertutup rapat. Saya tak sabar untuk segera menyesap kenikmatan kopi ini.
Sanjaya lantas mengajak saya berdiskusi soal kopi di depan meja kasirnya, meja yang menjadi singgasananya sehari-hari ketika dia mengurus toko, di situlah Sanjaya sehari-hari menjadi raja bagi tokonya.
Biji kopi untuk Kopi Ek Bouw entah darimana asalnya, Sanjaya tidak mau memberitahu. Yang jelas untuk proses roasting Sanjaya melakukannya sendiri. Ada gudang sendiri untuk mengolah kopi-kopi yang akan ia jual di toko-tokonya. Skalanya memang tak terlalu besar, karena Kopi Ek Bouw memang hanya kopi lokal di Garut.
Distribusi kopinya pun terbatas, katanya selain beberapa rumah makan yang rutin memesan kopinya, Sanjaya hanya memasarkan di tokonya. Untuk inovasi, Sanjaya membuat kemasan kaleng plastik yang lebih praktis, katanya itu untuk kepentingan distribusi di toko oleh-oleh. Walaupun model promosi dan distribusi yang sederhana tapi Kopi Ek Bouw tetap saja laris.
Pelanggannya turun temurun, Sanjaya bahkan rutin mengirim beberapa kilogram kopi tiap bulannya pada pelanggan setianya yang ada di luar kota. Rata-rata pembeli kopinya sudah setengah baya, bahkan uzur. Menurut Sanjaya merekalah pelanggan kopinya yang turun temurun, sejak generasi kedua atau babahnya. Mengenai saya, katanya baru saya saja anak muda yang mencari kopi Ek Bouw sampai diskusi panjang lebar soal kopi.
Kamu langka dan aneh kata Sanjaya pada saya, karena menurutnya saya lebih suka kopi hitam daripada kopi yang ada di kafe-kafe.
“Jarang yang beli kopi Ek Bouw itu anak muda rata-rata sudah aki-aki.” Kata Sanjaya sambil berkelakar. “Kopi ini ya ga laku kalau di kafe-kafe yang banyak anak mudanya. Mereka pasti lebih suka kopi yang campur-campur” Lanjut Sanjaya.
Mungkin maksud Sanjaya adalah aneka ragam Café Latte atau Capuccino yang banyak di jual di kedai kopi modern. Memang bagi Sanjaya, layaknya penikmat kopi tradisional, kopi sesungguhnya adalah kopi hitam, kopi tubruk dengan bubuk yang melimpah ruah dan menikmati ampas hingga tegukan terakhir.
Dan saya mungkin juga termasuk sedikit yang mengaminkan pola pikir penikmat kopi jaman dahulu. Menilai nikmatnya kopi dari kopi hitam, dibuat tubruk dengan air panas dan disesap dengan perasaan penuh gelora.
Setelah diskusi panjang lebar yang melebar kemana-mana saya belum mendapatkan jawaban apakah Kopi Ek Bouw adalah kopi dari Garut atau tidak. Kultur perkopian yang sekarang ini memang menghargai origin kopi itu sendiri. Karakter yang khas dan rasa yang unik membuat kopi-kopi ini spesial dan dihargai tinggi, maka kemudian muncul penghargaan dengan memberikan imbuhan nama tempat sebagai origin kopi. Dan dari nama tempat itulah karakter kopi yang kuat bisa ditemukan.
Sekali lagi saya bertanya pada Sanjaya. Dari manakah kopi-kopinya untuk Kopi Ek Bouw ini berasal, apakah dari perkebunan dari Garut ataukah dari perkebunannya sendiri.
Sanjaya malah menjawab dengan senyum lebarnya. “Itu rahasia perusahaan… “
Tapi tak apalah, yang penting Kopi Ek Bouw adalah kopi lokal Garut yang menurut saya enak. Perkara kopi ini bisa disebut Kopi Garut atau tidak itu tergantung interpretasi masing-masing, toh Sanjaya juga tak peduli, dia hanya berusaha untuk terus menyediakan kopi untuk para pelanggannya.
Ingatlah saat singgah ke Garut jangan lewatkan untuk mencari kopi bubuk termasyhur di Garut ini, mampir dan belilah Kopi Ek Bouw.
Tabik.
PS : Saya mencoba brewing Kopi Ek Bouw buatan Toko Ek Bouw Jaya ini dengan metode tubruk. Menurut lidah saya, pahitnya pekat sekali, asamnya sedikit di bawah rasa pahitnya. Ada semacam aroma gosong menyeruak, mungkin hasil penggorengan kopinya. Beberapa teman yang lambungnya sensitif dengan asam kopi merasa cocok dengan kopi ini, kata mereka cocok untuk yang berlambung sensitif. Kopi EK Bouw selama di Garut biasanya saya nikmati di pagi hari, sembali menyomot 1-2 buah gorengan panas.
Kopi Ek Bouw bisa dibeli di :
Toko Ek Bouw Jaya
Jalan Ahmad Yani 87A, Garut 44115
0262 – 233365
Kebayang aroma, rasa dan juga kualitas kopi Ek Bouw ini.. 🙂
sedaaaap koh!!
istriku pasti suka, dia pecinta kopi…
insya allah mas adi. 🙂
Belum semua kopi di tanah Jawa aku sesap. Sepertinya ini agak sedikit ‘unik’. Aku catet alamatnya, tapi kalo kamu pas ke sana atau masih ada stok, aku rela lho menebusnya. 🙂
siap mas..atau langsung pesan saja mas lewat nomor telepon yang tercantum..
sama kopi sidikalang enak mana mas?
siang mas heri…naaaah itu dia saya belum pernah mencoba Kopi Sidikalang. 🙁
wah..saya penggemar kopi hitam seperti kopi Ek Bouw ini..penasaran..rasanya gimana Mas? mantap yaa..:) Salam kenal, mampir2 yah
halo Eka…
rasanya sedap dan khas kopi hitam tradisional..
baik, segera mampir.. 🙂
salam
Jadi pengen nyoba kopinya..:) (dulu suamiku suka ngatain..ih..cewek2 kok ngopi..kopi hitam pula…eeh..lama2..kadang malah dia yg buatin kopi untuk istrinya..hihi..)
naaaah! cobain kak eka. dijamin maknyus! 🙂
[…] post Kopi Ek Bouw, Kopi Garut appeared first on […]
Saat ini sdh banyak dan menyebar diseluruh dataran tinggi kab.Garut perkebunan kopi jenis arabika dgn kwalitas dunia, (jika proses dari hulu s.d hilir dilakukan sesuai dgn standar , SOP, pengolahan kopi yg baik). Selamat menikmati…. 🙂
Ada rasa cappucino gak?
Tidak ada e Kak.
Gmn cara mmperolehnya utk penikmat kopi dari daerah yg jauh? Menyediakan Penjualan online gak?
Kopi Arabika Garut memang kualitas terbaik. gak kalah sama kopi sumatra