Mungkin ada film yang memang harus dinikmati saat perut terisi penuh dan film ini salah satunya. Jangan seperti saya yang masuk dalam kondisi kelaparan, walhasil sepanjang film hanya bisa meringis menyaksikan potongan-potongan frame olahan kuliner minang yang bertebaran dari awal sampai akhir. Untuk saya yang jarang sekali menikmati film domestik, Tabula Rasa boleh dibilang menjadi salah satu film domestik untuk tahun ini.

Bukan karena kekasih saya keturunan Minang juga ketika memutuskan menikmati film ini. Saya menanti sesuatu yang lain dalam film ini, seperti yang sudah diulas di beberapa media. Soal mengangkat kuliner saja film ini sudah menjadi beda dengan film Indonesia kebanyakan, belum lagi soal cast yang tidak bertaburan bintang film ternama sampai inti kisah yang diangkat yang sangatlah unik dan berbeda.

Pada awalnya saya mengira bahwa film ini akan biasa-biasa saja, seperti film-film Indonesia kebanyakan, setidaknya itu yang saya tangkap di bagian awal. Sudut pengambilan gambar yang tidak terlalu istimewa, alur cerita yang terasa lambat dan nada kesedihan yang melabur beberapa menit awal film ini seolah mengajak pemirsa untuk turut menebak bahwa film ini akan berujung menye-menye.

Alur ceritanya secara garis besar begini, Hans putra dari Serui, Papua, merantau ke Jakarta demi impian menjadi pemain bola. Impian itu gagal karena Hans patah kaki dan klubnya tak mau bertanggung jawab. Hans ingin bunuh diri di tengah keputusasaannya, tapi nasib berkata lain, Hans bertemu dan ditolong oleh Mak, seorang pemilik rumah makan Padang Takana Juo. Pada akhirnya setelah berbagai konflik, Hans akhirnya menjadi juru masak di rumah makan Mak, kisah yang unik di mana seorang Papua menjadi juru masak rumah makan Padang.

Di luar kisah yang unik saya pribadi memandang bahwa film ini adalah oase di dunia perfilman Indonesia, bahkan mungkin jika dilihat secara makro film ini bisa jadi obat penyejuk di tengah Indonesia yang sedang panas. Ada beberapa fragmen yang menampilkan betapa manusiawinya manusia Indonesia, gambaran manusia Indonesia tanpa dibuat-buat dan menampilkan bagaimana sesungguhnya keragaman Indonesia ini dengan jujur.

Bagi saya film ini juga mampu merangkum bagaimana 2 manusia dari suku yang berbeda mampu melebur dan menjalin hubungan personal dengan begitu dekat. Benturan dari 2 budaya yang begitu berbeda jauh mampu dijalin dengan apik, berjalan mengalir sepanjang film dari awal sampai akhir

Pada fragmen ketika Mak mengajak Natsir, seorang pegawai di rumah makan Padangnya untuk menolong Hans di jembatan penyemberangan, kita dihadapkan pada kondisi bagaimana orang-orang Indonesia memandang orang lain sekarang ini. Natsir yang mudah curiga pada orang lain, menganggap Hans justru orang jahat dan fragmen orang-orang yang lalu lalang begitu saja tanpa peduli ada orang yang menggelepar butuh pertolongan.

Potongan cerita di awal membuat saya merasa bangsa Indonesia sudah ditampar-tampar, bukankah demikian kondisi di Indonesia sekarang, orang-orang cenderung termakan stereotip dan memandang penuh prasangka orang yang belum dikenal atau mereka yang berbeda kulit warna. Pun dengan kenyataan bahwa orang Indonesia mulai tidak peduli dan enggan menolong orang yang sedang susah.

Tapi penonton kemudian diajak bertemu sosok Mak, sosok keibuan Mak yang begitu halus dan tulus menolong Hans. Tanpa terjebak prasangka, Mak meminta Natsir menolong Hans dan memberinya makan yang layak. Dalam satu fragmen kita diberikan satu jalinan cerita di mana kita dihadapkan pada ironi manusia Indonesia sekarang tapi juga disadarkan bahwasanya orang Indonesia masihlah orang yang sangat tulus membantu orang lain, memberi bantuan pada orang lain yang bahkan tak dikenal tanpa pamrih. Ini seperti apa yang dikatakan Mak pada Natsir, bahwa menolong orang lain adalah kewajiban setiap manusia.

Pada jalinan cerita berikutnya ditampilkan bagaimana 2 sifat kesukuan yang berlainan berbenturan.  Bagaimana harga diri Hans yang begitu tinggi, dimana dia tidak mau makan gratis tanpa membayar, menganggap pertolongan Mak harus dibayar. Tapi di sisi lain penonton akan dibawa melihat Hans membela Mak habis-habisan yang dihianati oleh Parmanto, mantan juru masaknya. Saya melihat memang demikianlah saudara-saudara kita dari Papua, memiliki harga diri tinggi sekaligus halus budi.

Di sisi sebaliknya film ini membawa penonton melihat bagaimana prinsip hidup orang Minang yang memegang teguh nilai-nilai adat sukunya, adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Dus, sepanjang film ada banyak pelajaran tentang nilai-nilai filosofis adat Minang yang disajikan, mulai dari prinsip hidup orang Minang dalam menolong orang lain, dalam bermuamalah dengan orang lain sampai ketika mengolah masakan Minang yang menjadi salah satu kebanggaan orang Minang, mengikuti tradisi sampai hal terkecil.

Ada juga sisipan kekhasan 2 budaya yang tak lupa diselipkan. Papeda dan ikan kuah kuning, gambaran Hans dengan budaya khas kuliner Papua-nya, Hans mengenalkan Papeda kepada Mak yang tampak kebingungan saat menyantap Papeda. Sementara pada sebuah kesempatan, Mak menjelaskan pada Hans tentang tradisi merantau orang-orang Minang. Bagaimana orang-orang Minang meninggalkan tanah kelahiran dengan modal tekad kuat demi membangun hidup baru di nagari orang. Pada fragmen ini saya merasa 2 budaya yang berbeda telah dipertemukan dengan begitu manusiawi.

Kekakuan-kekakuan budaya juga bisa direkam dengan sangat natural. Selayaknya pertemuan budaya baru pasti akan ada shock culture, kekikukan Mak, Natsir dan Parmanto saat bertemu Hans terlihat jelas. Bahkan kekakuan budaya ini sampai menimbulkan konflik antar mereka sendiri sehingga Parmanto yang tidak terima akan kedatangan Hans sampai memutus ikatan kerjasama di antara 3 perantau dari tanah minang ini.

Sementara Hans pun mengalami kekagetan budaya ketika harus bertemu dengan orang-orang Minang bahkan sampai tinggal serumah dan menjadi bagian dari  mereka. Terlihat bagaimana Hans reaktif sekali apabila bersilat lidah dengan Mak, memang orang Minang terkenal sebagai orang-orang yang cerdik pandai bersilat lidah sehingga Hans yang kaget dengan kebiasaan tersebut menganggap orang Minang sebagai penipu.

Saya juga mencatat detail-detail dalam film ini diperhatikan dengan begitu baik. Sistem pengelolaan rumah makan minang yang berbasis bagi hasil ditampilkan, sebuah sistem pengelolaan rumah makan minang yang sebenarnya di mana setiap persona yang mengelola rumah makan padang tidak digaji namun mendapat bagi hasil dalam kurun waktu tertentu.

Selain itu juga flm ini mampu menyajikan proses memasak masakan minang yang terkenal rumit dan lama. Walaupun memang tidak diambil secara lengkap namun setidaknya mampu menggambarkan betapa rumit dan lamanya dalam mengolah sebuah kuliner minang dari nol sampai selesai.

Pemaknaan sebuah film memang tergantung subjektifitas penontonnya. Di luar soal kuliner saya merasa film Tabula Rasa ini adalah film tentang Indonesia yang sesungguhnya. Apabila dipandamg dari perspektif kebangsaan saya merasa nilai-nilai ke-Indonesia-an yang ditampilkan, film ini memunculkan dan mengingatkan kembali bagaimana  bersikap sebagai bangsa Indonesia yang sesungguhnya.

Ending film ini mengajarkan benar bahwa nilai-nilai kebangsaan harus diletakkan dalam porsi dan kedudukan yang tepat. Bingkai ending film ini bercerita tentang bagaimana Parmanto yang sempat memusuhi Hans akhirnya justru membantu Hans memasak semalam suntuk. Pada baris cerita ini pesan yang ditangkap bahwasanya ada rekonsiliasi, ada ungkapan maaf, ada upaya untuk melupakan luka dan dendam di masa lalu untuk tujuan bersama di masa yang akan datang.

Bagian ending juga memberi pesan agar melupakan perbedaan, melebur batas-batas asal-usul untuk tujuan yang harus dicapai, untuk tujuan yang memang benar-benar diperjuangkan. Pesannya mungkin terkesan klise tapi fragmen kebangsaan dalam film Tabula Rasa tidak ditampilkan dalam adegan heroik nan kolosal, justru ditampilkan dalam kehidupan  sehari-hari yang mengalir begitu saja.

Ini menarik karena bukankah nasionalisme yang demikian adalah nasionalisme yang romantis, yang muncul dari benak rakyat, dari kenyataan hidup sehari-hari tanpa perlu ditambahi slogan-slogan maha menggugah. Nasionalisme yang tumbuh dari sikap hidup dan pergaulan, bukan dari doktrinasi di bangku sekolah, nasionalisme macam inilah yang justru kuat dan dimiliki dengan sungguh oleh orang-orang Indonesia.

Di bagian akhir film ada sedikit refleksi satir yang relevan dengan kondisi Indonesia akhir-akhir ini. Saya mengutip kata-kata Parmanto pada Hans, bahwasanya dalam sebuah biduk tak boleh ada satu nahkoda. Betapa film ini mampu meramu dan mengkritisinya tanpa membuatnya janggal. Hal-hal bersifat kritis terhadap situasi dimasukkan dan dilaburkan ke dalam cerita secara halus menjadi bagian cerita.

Akhirnya film ini memang memberikan banyak makna bagi para penontonnya. Seperti tajuknya, Tabula Rasa yang ternyata adalah ungkapan latin yang berarti kertas kosong. Makna filosofis Tabula Rasa adalah kehidupan manusia nanti akan diisi pengetahuan seiring pengalaman dan persepsi inderawinya terhadap dunia. Maka film ini pun demikian, bagaikan kertas kosong dan akan digurat pengalaman oleh para penontonnya masing-masing. Penonton-lah yang akan mengisi cerita dan makna tentang apa yang disampaikan film ini.

Dan saya menangkap persepsi kebangsaan dari film ini, buat saya ini film tak melulu soal kuliner atau budaya. Ini adalah film besar dengan muatan kebangsaan yang dahsyat. Melampaui itu tim produksi memang cerdas merangkum persepsi kebangsaan dalam balutan kuliner. Dan saya tergiring dengan memandangnya dengan persepsi kebangsaan.

Pada akhirnya saya memang tidak lantas menjadi kenyang setelah menonton film ini, kenyang secara fisik maksudnya, tapi secara hati dan pikiran film ini mengenyangkan dan memberi asupan nutrisi yang bergizi tinggi. Saya berimajinasi dalam film ini seolah Rohana Kudus dan Silas Papare bertukar makanan. Rohana Kudus menyantap Papeda yang nikmat dan Silas Papare menyantap rendang yang tiada tanding.

Tiada sesal menonton film ini, film yang hebat dan menggugah. Maka jika sempat, tontonlah dan resapi nilai-nilai dalam filmnya sesuai persepsi masing-masing.

Tabik.

Foto-foto oleh Lifelike Pictures.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

6 KOMENTAR

  1. Pengen tahu nih, berdasarkan pandangan subjektif lu, emang film Indonesia yang sesungguhnya adalah karena menampilan bagaimana bangsa Indonesia harus bersikap? Emang film bukan Indonesia yang sesungguhnya kayak apa? Pengen tahu karena lu bilang lu bukan penggemar film Indonesia 🙂

    • yak!
      setiap film pasti punya ciri khas negaranya masing-masing, seperti heroisme dari film-film US, artistiknya orang-orang Perancis atau sinis bahkan sarkasnya film-film Ingris. 🙂
      mungkin film Indonesia yang baik adalah yang menggambarkan betapa sederhananya pola pikir orang Indonesia. seperti mungkin Jakarta Maghrib, Nagabonar, Emak Ingin Naik Haji.
      ini subjektif saya mun..

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here